Peluang Usaha

clicksor

sitti

Anda Pengunjung ke

Senin, 21 Desember 2015

STRATEGI DAN PELAKSANAAN ADVOKASI HUKUM BAGI PTK-PNF



A. Tahapan Advokasi Hukum
            Menurut Fiona Boyle et al., advokasi hukum tidak lain adalah seni tentang persuasi di dalam konteks hukum, yakni suatu persuasi yang berakar kepada pemahaman suatu kasus, dan pengetahuan yang cukup terhadap peraturan perundang-undangan, serta kemampuan persuasif sebelum kasus tersebut diperiksa di dalam pengadilan atau tribunal.
            Berdasarkan rumusan yang demikian ini kemampuan advokasi sangat erat dengan unsur pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum yang berlaku.  Kemampuan advokasi hukum lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan interview, menyusun ilustrasi kasus (kronologi kasus), serta kemahiran di bidang penelitian dan analisis kasus hukum. Kemampuan tersebut pada prinsipnya dapat memberikan arah dan fokus advokasi yang efektif, yakni  menentukan apakah suatu kasus adalah kasus hukum atau bukan; bentuk advokasi hukum yang dibutuhkan; serta strategi mana yang dianggap paling sesuai untuk mencapai hasil yang diinginkan. 
            Faktor lain yang tidak kalah pentingnya di dalam proses advokasi adalah faktor persiapan yang sudah dilakukan oleh pihak yang akan melakukan advokasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan suatu advokasi sangat ditentukan oleh bagusnya persiapan yang dilakukan sebelum advokasi dilakukan. Hal ini kiranya sangat sesuai dengan ungkapan yang menyatakan bahwa persiapan yang memadai merupakan setengah langkah dari keberhasilan. Adapun jenis persiapan yang perlu dilakukan di dalam melakukan advokasi   antara lain meliputi identifikasi kasus, yakni usaha untuk mendapatkan ilustrasi tentang anatomi kasus; menginventarisir bahan-bahan hukum; menganalisis alat-alat bukti; menyusun atau mengkonstruksi advokasi hukum serta memprediksi berbagai kemungkinan yang bakal terjadi terhadap jalannya kasus. Di samping itu persiapan penting lainnya adalah mempersiapkan diri si pemberi advokasi bahwa dirinya benar-benar yakin dan memiliki waktu dan kemampuan untuk menyelesaikan kasus yang tengah dihadapainya, atau setidaknya dia memiliki referensi alternatif, manakala kasus yang ditangani tersebut terhenti di tengah jalan, maka advokasi substitusi sudah siap untuk menggantikannya.
            Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan secara sederhana beberapa tahapan penting untuk dilakukan di dalam melakukan advokasi, yaitu:
1.      Identifikasi dan analisis kasus;
2.      pemberian pendapat hukum (legal memorandum); dan
3.       praktek pendampingan hukum.

Ad. 1.  Tahap Identifikasi dan Analisis Kasus
            Bahwa langkah pertama yang harus dilakukan di dalam proses advokasi hukum ialah melakukan identifikasi permasalahan atau kasus hukum yang hendak ditangani. Asumsinya adalah semakin awal diketahui seluruh aspek kasus hukum yang menjadi obyek advokasi, maka semakin fokus dan akurat advis dan langkah hukum  yang akan dilakukan.
             Sebagaimana diketahui, bahwa setiap kasus hukum tidak selalu berdimensi tunggal, akan tetapi tidak jarang suatu kasus mencakup di dalamnya lebih dari satu dimensi hukum, baik dimensi pidana, perdata bahkan juga dimensi hukum administrasi. Sebagai contoh sederhana, kasus hukum kekerasan di dalam proses belajar-mengajar --pemukulan peserta didik yang dilakukan oleh oknum pendidik dengan dalih penegakan disiplin—- setidaknya ada tiga aspek hukum yang bisa dikenakan dalam kasus ini, yaitu aspek pidana (penganiayaan); aspek perdata (ganti rugi atas dasar pebuatan melawan hukum); serta aspek hukum administrasi (pemberian skorsing, penghentian sementara tugas mengajar).
            Akan tetapi tidak jarang pula suatu persoalan yang dimintakan advokasi hukum justru sama sekali bukan termasuk bidang garapan advokasi hukum melainkan garapan bidang institusi lainnya. Misalnya permasalahan keinginan sejumlah PTK-PNF untuk  diangkat statusnya menjadi pegawai negeri sipil. Jelas yang demikian ini bukan fokus advokasi hukum, melainkan bagian dari urusan biro kepegawaian. Oleh karena masalah tersebut bukan ranah hukum, akan tetapi masuk ke dalam katagori ranah administrasi.
            Berdasarkan hal demikian ini, langkah identifikasi aspek hukum suatu kasus adalah sangat penting di dalam proses advokasi hukum. Proses identifikasi yang  akurat dan obyektif, akan menghasilkan langkah dan strategi yang tepat di dalam proses advokasi hukum, yaitu: 
(i)                 Sejak dini sudah dapat dipastikan bahwa kasus tersebut perlu
             dilakukan advokasi hukum ataukah tidak;
(ii)              Bahwa jika kasus tersebut adalah kasus hukum, maka aspek
             hukum apakah yang perlu diprioritaskan advokasi hukumnya;
(iii)            Jika kasus tersebut di luar bidang keahliannya perlukah meminta
             bantuan tenaga yang lebih expert;
(iv)            Ataukah tidak sebaiknya kasus tersebut disarankan untuk
             ditangani oleh pihak yang lebih berkompeten, dan seterusnya.
            Selanjutnya langkah yang mesti ditempuh pasca identifikasi aspek hukum  suatu kasus  adalah fase analisis kasus (case analysis . Bahwa tahap analisis kasus ini dilakukan adalah untuk mengetahui secara obyektif duduk persoalan atau fakta empiris dari suatu kasus dengan cara mengumpulkan informasi dan berbagai alat bukti yang berkaitan dengan kasus tersebut. 
            Kemudian setelah itu dilakukan pula proses inventarisasi peraturan hukum maupun jurisprudensi yang berhubungan dengan kasus yang perlu diadvokasi tersebut. Bahkan perburuan informasi melalui literatur dan studi kepustakaan adalah sesuatu yang niscaya di dalam menganalis suatu kasus, karena  ada kemungkinan kasus yang tengah dihadapi ternyata pernah terjadi atau setidaknya mirip dengan kasus di tempat lain. Seterusnya jika dirasa perlu, konsultasi dengan kaum intelektual hukum yang ahli di bidangnya perlu dilakukan untuk memperoleh kejelasan suatu kasus.
            Berdasarkan serangkaian investigasi fakta dan norma hukum tersebut, maka kasus tersebut setidaknya telah diketemukan jawabannya secara hipotetis atau secara apriori, yakni:
(i)                 tentang kedudukan klien, posisinya kuat (pihak yang benar) ataukah justru lemah (pihak yang salah);
(ii)              alat-alat bukti apakah yang mesti dihadirkan untuk memperkuat posisi klien;
(iii)            strategi apakah yang perlu ditempuh di dalam proses advokasi tersebut;
(iv)            prediksi mengenai probabilitas berhasil tidaknya advokasi hukum itu, dan seterusnya.
            Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan, bahwa langkah identifikasi masalah dan analisis kasus pada dasarnya adalah ketrampilan hukum atau lebih tepatnya ketrampilandi bidang penelitian hukum.

Ad. 2. Tahap Pemberian Pendapat Hukum (Legal Memorandum)
            Pendapat hukum atau legal memorandum sesungguhnya adalah salah satu jenis penulisan esai yang berkenaan dengan isu hukum. Memo hukum ini biasanya ditulis bedasarkan hasil kajian dan penelusuran hukum oleh mahasiswa hukum maupun advokat. Isi memo hukum tersebut antara lain berkenaan dengan isu atau permasalahan hukum, kesimpulan, diskusi penerapan hukum terhadap suatu peristiwa, catatan atau kemungkinan implikasi hukum kasus tersebut, serta rekomendasi yang dihasilkan berdasarkan diskusi.
            Dalam kaitannya dengan tahapan advokasi sebelum ini, yaitu tahap identifikasi dan analisis kasus, maka pendapat hukum atau memo hukum ini tidak lain adalah catatan pihak pemberi layanan advokasi terhadap kliennya mengenai posisi kasus, prediksi kasus, catatan-catatan kritis atas kasus tersebut, serta rekomendasi yang disarankan untuk dilakukan oleh klien.
            Bahwa pemberian pendapat hukum ini harus diberikan secara obyektif dan tidak boleh ditutup-tutupi, termasuk konsekuensi atau dampak yang akan terjadi manakala kasus tersebut terpaksa diselesaikan melalui mekanisme advokasi hukum. Dengan demikian, diharapkan keputusan yang diambil klien betul-betul obyektif, tidak emosional dan tidak obsesif atau wishful thinking.

Ad. 3. Tahap Pendampingan Hukum
            Bahwa pada tahap ini, pihak penyedia layanan advokasi hukum (LKBH) telah menyatakan kesediaanya untuk melakukan advokasi hukum sebagaimana dikehendaki oleh pihak klien. Berkenaan dengan implementasi advokasi hukum ini ada baiknya diperhatikan, hal-hal yang perlu ditegaskan di dalam proses advokasi agar dapat berjalan efektif. Yaitu:
(1) Aspek legitimasi proses advokasi hukum melalui pemberian surat kuasa;
(2) Aspek kontraktual yang berisi kesepakatan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak;
(3) Aspek logistik atau yang berkenaan dengan masalah finansial yang dibutuhkan selama proses advokasi tersebut.
            Dalam kaitan ini, ada baiknya sebagai ilustrasi perbandingan, diketengahkan ketentuan, syarat,  prosedur advokasi hukum yang dilakukan oleh LKBH  Universitas Muhammadiyah Malang yang menjadi partner Direktorat PTK-PNF, yakni antara lain:
            Bahwa advokasi hukum diberikan kepada:
 (1) Tenaga pendidik yang masih berstatus PTK-PNF, yang dibuktikan dengan surat keputusan atau surat tugas PTK-PNF yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang;
(2) Terdapat permasalahan hukum atau permasalahan profesi yang terkait dengan pelaksanaan tugas sebagai PTK-PNF; dan
(3)  Layanan advokasi hukum tidak dikenai biaya apapun.
            Sementara itu prosedur advokasi hukum diberikan kepada PTK-PNF dengan cara:
(1) PTK-PNF yang bersangkutan atas inisiatif sendiri atau atas permintaan asosiasi mengajukan permohonan  advokasi hukum, baik secara lisan maupun secara tertulis;
(2) LKBH segera melakukan verifikasi terhadap permohonan yang diajukan;
(3) Jawaban atau rekomendasi dari LKBH diberikan secara tertulis paling lambat tujuh hari setelah permohonan masuk.
            Selanjutnya penanganan kasus melalui advokasi hukum yang dilakukan LKBH, setidaknya harus memenuhi empat indicator, yakni:
(1) Aspek kemendesakan (urgensi);
(2) Aspek tingkat ancaman;
(3) Aspek hasil analisis kasus; dan
(4) Aspek rekomendasi.

A.  Strategi Advokasi Hukum
            Strategi yang digunakan di dalam proses advokasi hukum tentunya sangat ditentukan oleh pendekatan yang dilakukan di dalam keseluruhan proses advokasi. Strategi yang dipilih juga bergantung kepada cara pandang terhadap advokasi itu sendiri, yakni berkaitan dengan seberapa besar harapan yang akan diperoleh berupa konsesi, pemberian timbal balik, maupun solusi yang mungkin bisa dicapai. Dengan kata lain strategi dapat dimaknai sebagai taktik yang digunakan untuk mencapai hasil yang terbaik sesuai dengan yang diharapkan.
            Sesungguhnya di dalam literatur tidak dijumpai model strategi advokasi hukum, oleh karena proses advokasi hukum tidak berkaitan dengan teknik meyakinkan pihak lawan dengan bujukan, ancaman atau pun tawaran berupa pemberian suatu konsesi tertentu. Advokasi hukum justru melakukan persuasi kepada pihak lawan dengan menggunakan dalil-dalil hukum dan fakta-fakta obyektif untuk memaksa lawan melakukan tindakan tertentu. Model strategi yang dikenal dalam proses advokasi, justru dijumpai di dalam salah satu varian advokasi hukum yaitu proses negoisasi. Jika strategi negoisasi itu dianalogikan terhadap proses advokasi hukum, maka strategi advokasi hukum dibedakan atas lima macam, yakni:
(2)                                                                           Strategi Kompetitif;
(3)                                                                           Strategi Kooperatif;
(4)                                                                           Strategi Pemecahan Masalah  (Problem Solving);
(5)                                                                           Strategi Mengelak (avoiding);
(6)                                                                           Strategi Akomodatif.

Ad. 1. Strategi Kompetitif
            Strategi ini menggunakan pendekatan diameteral atau saling berhadap-hadapan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Kedudukan masing-masing pihak berada di antara posisi ekstrim yaitu menang atau kalah. Tujuan  yang hendak dicapai melalui strategi kompetitif adalah untuk menghancurkan kepecayaan diri pihak lawan. Di samping itu juga diharapkan memperoleh keuntungan sebanyak mungkin dari pihak lawan yang kalah.
            Kelebihan strategi adalah:
(i)           Sangat membantu penyelesaian kasus terutama kasus kecil atau sederhana;
(ii)        Bersifat intimidatif, terutama dalam kondisi perimbangan kekuatan yang timpang; dan
(iii)      Efektif digunakan pada awal advokasi hukum, ketika pihak lawan belum mengetahui kekuatan atau kelemahan yang sesungguhnya.
            Sedangkan kekurangan strategi ini adalah:
(i)                 Tidak kreatif untuk mencari solusi alternatif;
(ii)              Tidak realistis;
(iii)            Sulit untuk dilakukan dalam waktu yang agak lama;
(iv)      Dapat menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan.

Ad. 2. Strategi Kooperatif
            Pendekatan kooperatif di sini dimaksudkan untk memperoleh hasil yang terbaik dari masing-masing pihak. Para pihak bertujuan untuk membuat kesepakatan yang saling menguntungkan satu sama lain, dengan cara mengabaikan konflik, saling berusaha mempercayai, menawarkan konsiliasi, kemauan untuk saling memberi, saling terbuka.
            Adapun keuntungan strategi kooperatif antara lain:
(i)           Kemustahilan terjadinya dead lock;
(ii)        Terjaganya hubungan baik para pihak;
(iii)      Minimnya ketegangan dan tingkat stress di antara para pihak.
Sementara itu sisi kelemahannya pendekatan ini, ialah:
(i)           Para pihak dipersepsikan lemah tidak berdaya;
(ii)                Membutuhkan informasi yang memadai tentang pihak lain;
(iii)  Berisiko tinggi  jika salah satu pihak beriktikad tidak baik sedangkan kesepakatan belum selesai seluruhnya.

Ad. 3. Strategi Pemecahan Masalah
            Strategi ini berkonsentrasi untuk menemukan solusi kreatif di dalam usahanya memberikan bagian atau interest kepada kedua belah pihak. Tujuan utama strategi ini ialah menganggap suatu pemasalahan itu dapat dipisahkan dari manusia – sebagaimana kata orang bijak, bahwa tidak ada persoalan yang tidak ada jalan keluarnya--  tentunya melalui berbagai opsi yang dituangkan dalam kesepakatan kontraktual.
            Karakteristik strategi ini antara lain:
(i)           Berusaha untuk memahami pihak lainnya secara emphati;
(ii)        Menghargai ikatan emosional di antara para pihak;
(iii)      Fokus terhadap masing-masing kepentingan pihak lain;
(iv)      Menekankan kepada komunikasi yang baik; dan
(v)          Melahirkan solusi kreatif dan inovatif.
            Sementara itu keunggulan strategi ini ialah:
(i)           Tidak saling menjatuhkan, dead lock dapat dihindari;
(ii)        Fokus kepada permasalahan utama;
(iii)       Kreatif.
      Sedangkan kelemahan stategi ini, adalah:
(i)           Membutuhkan informasi lebih banyak ;
(ii)        Sulit dilakukan jika pihak lain tidak menghendaki strategi ini;
(iii)      Tidak realistis, agaknya sulit ditemui proses advokasi yang menghasilkan kepuasan di antara para pihak yang bertikai.

Ad. 4, Strategi Mengelak (Avoiding)
            Strategi ini tujuan utamanya adalah mencari-cari alasan untuk menolak berbagai bentuk kemajuan riil yang dicapai dalam proses advokasi. Dalam praktek strategi sudah jarang dipakai, karena strategi ini digunakan dalam keadaan terdesak, dan sifatnya hanya mengulur-ulur waktu saja (buying time).
             Adapun kelebihan strategi ini ialah:
(i)           Dapat meletakkan pihak lawan dalam posisi di bawah tekanan (under pressure);
(ii)        Memaksa pihak lawan untuk mengambil inisitif;
(iii)      Dapat menunda pelaksanaan kesepakatan melalui cara mengulur waktu.
      Sedangkan keburukan strategi ini adalah:
(i)           Dapat memberikan keleluasan pihak lawan untuk mengendalikan pihak yang mengelak;
(ii)        Adanya ancaman untuk diselesaikan lewat jalur pengadilan dengan kekuatan sita dan eksekusinya;
(iii)      Bertentangan dengan hukum acara yang menganjurkan penyelesaian kasus secara sederhana dan tidak berbelit-belit;
(iv)      Strategi ini tidak etis.

Ad. 5. Strategi Akomodatif
            Strategi ini sering dipadankan dengan strategi kooperatif yang dilakukan secara ekstrem. Strategi akomodatif melibatkan kesepakatan terhadap penawaran pihak lawan secara ekstrem.  Yaitu kemungkinan penerimaan tawaran pihak lawan tanpa persyaratan apapun. Karakteristik strategi ini mungkin hanya digunakan oleh keompok advokasi hukum yang kurang berpengalaman. Kelebihan strategi ini tida ada, sedangkan kelemahannya terletak pada kegagalannya untuk meraih hasil yang baik, hampir-hampir tidak mungkin diperoleh.

C.Mekanisme Pelaksanaan Advokasi Hukum
1.      Pelaksanaan Advokasi Litigasi
      Litigasi adalah salah satu bentuk advokasi hukum yang dilakukan melalui proses pengadilan, bahkan sebelum kasus atau satu perkara di sidangkan ke pengadilan, pendampingan klien atas pemeriksaan atau penyidikan di tingkat kepolisian, serta proses penuntutan di tingkat kejaksaan dapat juga dikatagorikan sebagai bentuk litigasi.
      Di dalam melaksanakan advokasi hukum dalam bentuk litigasi ini jelas dibutuhkan keahlian dan ketrampilan serta pengetahuan tentang prosedur hukum beracara mulai dari tingkat kepolisian, kejaksaan, hingga tingkat pengadilan. Lazimnya proses advokasi hukum yang demikian ini dilakukan oleh kelompok professional yang memiliki izin untuk itu, yang biasanya dikenal dengan sebutan advokat atau penasehat hukum.
               Lantas bagaimana dengan status LKBH yang nota bene anggotanya atau personilnya tidak memiliki izin praktik dan pula tidak mengantungi kartu advokat. Mungkinkah institusi LKBH ini diizinkan dan berhak melakukan advokasi hukum dalam bentuk litigasi. Jawabannya secara tegas adalah boleh dan sah secara hukum maupun konstitusi. Oleh karena di samping tidak ada satu pun regulasi hukum acara yang mengharuskan setiap orang atau kelompok yang beracara di pengadilan wajib didampingi oleh advokad, sebagaimana diaatur di dalam ketentuan RV dan dipraktekan  pada zaman kolonial dahulu. Selain itu pula sesungguhnya tidak ada satu pun aturan melarang individu atau pun kelompok yang melakukan kerja advokasi hukum dalam bentuk litigasi, harus berprofesi advokat.               Hal yang disebut  terakhir ini dengan tegas dapat disimak dari Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah bersifat final dan berkekuatan mengikat terhadap Perkara Nomor: 006/PUU-II/2004  tentang Tidak Mengikatnya Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat bagi Lembaga Bantuan Hukum di Lingkungan Perguruan Tinggi.
               Untuk mengetahui secara otentik isi putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara Nomor: 006/PUU-II/2004  ada baiknya berikut ini di sadur bunyi putusan tersebut, yakin:
(1)   Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan;
(2)   Menyatakan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
(3)   Menyatakan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
(4)   Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara  Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
               Berdasarkan ilustrasi di atas,  maka saat ini tidak ada lagi alasan untuk khawatir, risau dan cemas bahwa litigasi yang dilakukan oleh LKBH akan diusir dari ruang pengadilan. Justru kinilah saatnya untuk memanfaatkan momentum terbukanya kembali akses untuk melakukan litigasi sebagai wujud era bangkitnya LKBH dan sekaligus bentuk kepedulian dan pemihakan kepada kelompok yang kurang beruntung atau miskin di dalam memperoleh akses keadilan.
               Adapun langkah kongkret untuk merealisasikan iktikad mulia ini, maka selain keharusan untuk konsolidasi organisasi seluruh LKBH di tanah air. Langkah sosialisasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut harus senantiasa dipublikasikan, diinternalisasikan kepada segenap pihak dan seluruh aparat hukum yang berprofesi sebagai polisi,jaksa, notaris, hakim, advokat, akademisi hukum, para legal, dan sebagainya.

  1. Pelaksanaan Advokasi Non Litigasi
            Sebagaimana diungkapkan terdahulu, bahwa penyelesaian sengketa Non Litigasi adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Dengan sedikit perubahan dan penyesuaian demi memenuhi kebutuhan dan kepentingan obyek advokasi hukum, bentuk-bentuk advokasi non litigasi yang akan dibahas mekanisme pelaksanaannya antara lain adalah:
  1. Sosialisasi;
  2. Konsultasi;
  3. Negosiasi;
  4. Mediasi.

Ad. 1.  Sosialisasi
               Sosialisasi adalah salah satu bagian advokasi hukum yang dilakukan dengan cara mempublikasikan dan memasyarakatkan norma, kode etik, serta regulasi yang mengatur segala hal-ikhwal PTK-PNF terutama sekali yang berkaitan dengan hak dan kewajiban, status dan peran  K-PNF. Tujuan kegiatan sosialisasi adalah untuk menyadarkan kepada PTK-PNF bahwa konsekuensi atas status yang diembannya menimbulkan sejumlah hak dan kewajiban yang melekat kepadanya. Selain itu sosialisasi juga bertujuan untuk menyerap aspirasi dan harapan serta kebutuhan obyektif anggota PTK-PNF, yang pada saatnya nanti akan diperjuangkan menjadi sebuah kebijakan public.
               Pelaksanaan sosialisasi ini dapat dilaksanakan dengan cara dan frekuensi yang beragam, seperti melalui media elektronik (TV, radio, internet, dll), media cetak (koran, majalah, jurnal, leaflet, booklet dll), penyuluhan dan tatap muka secara langsung denga audiens obyek advokasi dan lain-lain. Begitu pula dengan frekuensi dan durasi sosialisasi bisa sangat bervariasi, yaitu bisa dilakukan setiap dwi mingguan, bulanan maupun pelaksanaannya dikaitkan dengan momen-momen hari –hari besar nasional.
               Sosialisasi dalam pemaknaan yang lain, sesungguhnya proses penyampaian pesan dari komunikan kepada audiens. Oleh karena itu hal-hal  yang perlu dipertimbangkan di dalam memilih media dan bentuk sosialisasi adalah  informasi tentang audiens atau obyek sosialisasi. Ketersedian informasi secara memadai tentang  profil audiens, setidaknya ikut memudahkan proses pemilihan media dan bentuk sosialisasi yang lebih valid dan memiliki hasil yang efektif. Di samping itu faktor yang tak kalah pentingnya untuk berhasilnya proses penyampaian pesan tersebut adalah kemampuan dukungan logistik, baik berupa finansial maupun ketersediaan sumber daya manusia yang memang mendukung untuk kegiatan sosialisasi tersebut.

Ad. 2. Konsultasi
               Memperoleh advis hukum atau nasihat hukum boleh jadi merupakan tujuan utama seseorang (klien) mendatangi dan berkonsultasi kepada seorang penasehat hukum.  Biasanya seseorang yang tengah menghadapi suatu problem hukum, konsultasi adalah tindakan yang dipilih untuk memperoleh informasi mengenai status atau posisi hukumnya, serta berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya.  Misalnya dalam kasus perdata, seorang klien ingin mengetahui tentang peluangnya untuk menang itu lebih besar, ataukah sebaliknya. Berkenaan  dengan kasus pidana, keingintahuan seorang klien adalah seputar apakah ia bersalah ataukah tidak, jika ia bersalah melakukan tindak pidana apakah bentuk pidananya dan berapa lama. Tak jarang pula, seorang klien merasa sedih setelah berkonsultasi dengan penasehat hukum, karena mengetahui posisi hukum nya lemah, dan begitu pula sebaliknya seorang klien merasa berbung-bungan menakala diinformasikan kepadanya bahwa ia berada pada posisi yang benar dan berpeluang untuk memenangkan perkara.
               Advis hukum yang akurat dan komprehensif biasanya tidak diberikan  dalam waktu yang seketika itu juga, namun terkadang membutuhkan waktu berhari-hari oleh karena masih mencari referensi hukum maupun kelengkapan informasi yang valid. Salah satu upaya memperoleh informasi yang akurat tentang posisi kasus sekaligus peluang seorang klien di dalam suatu kasus, pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh proses konsultasi yang dilakukan oleh si penasehat hukum dengan seorang klien. Dengan kata lain advis hukum yang diberikan sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh proses konsultasi yang dilakukan. Semakin baik dan efektif proses konsultasi itu, maka semakin akurat pula advis hukum yang diberikan.
               Konsultasi itu sendiri pada hakekatnya adalah berbentuk interview atau kegiatan tanya jawab, dialog antara penasihat hukum dengan seorang klien. Oleh karena itu ketrampilan atau teknik interview sebaiknya dimiliki oleh seorang penasihat hukum untuk mengeksplorasi informasi dari klien yang diberikan secara jujur, tidak mengada-ada atau keterangan palsu, terbuka, dan tidak ada rasa khawatir.  Selain kemampuan berkomunikasi dengan klien, faktor lain yang perlu diperhatikan dalam proses konsultasi, adalah faktor pemilihan waktu serta tempat dilakukannya konsultasi. Tidak selalu konsultasi dilakukan pada jam-jam kerja, atau ditempat kerja, konsultasi dapat juga dilakukan di tempat-tempat lain semisal di lobi hotel, di rumah makan atau di  tempat lainnya yang mendukung seseorang untuk berkomunikasi secara terbuka.
               Selanjutnya aspek penampilan atau performance atau citra diri si pemberi advis hukum, sebaiknya mampu menimbulkan rasa percaya diri seorang klien, bahwa infomasi yang disampaikannya tidak akan dikonsumsi oleh pihak yang tidak berhak dan juga keyakinan bahwa si penasehat hukum adalah orang yang tepat untuk membantu persoalan yang tengah dihadapinya. Selain itu sikap ramah, bahasa tubuh yang menyenangkan misalnya dengan jabatan tangan, sedikit humoris setidaknya perlu dilakukan oleh penasehat hukum, di samping berpakaian yang rapi, setidaknya ikut mempengaruhi proses konsultasi secara terbuka dan efektif.

Ad. 3. Negosiasi dan Negosiasi Hukum
               Agak sulit untuk mendefinisikan konsep negosiasi itu, secara akurat. Kebanyakan oang berbicara dan melakukan negosiasi dan memperoleh hasil yang memuaskan atau mengecewakan dari negosiasi itu, namun mengenai makna persisnya negosiasi itu, mereka menjawab silahka lakukan saja. Sebagian   orang mengatakan bahwa negoisasi adalah sebuah seni bukan suatu ilmu. Tetapi apa persisnya konsep negosiasi itu sendiri, berikut ini salah satu definisi yang dicoba berikan oleh Menkel-Meadow, yakni: “negosiasi adalah perangkat utama untuk memperoleh apa yang anda harapkan dari pihak lain. Sarana komunikasi digunakan untuk mencapai kesepakatan di antara dua pihak yang memiliki kepentingan berbeda, pihak yang satu ingin berbagi sebaliknya pihak lainnya justru menolaknya”. Sementara itu pengertian sederhananya menurut Chambers English Dictionary, negosiasi adalah perbuatan atau perundingan yang dimaksudkan untuk mencapai hasil kesepakatan yang saling menguntungkan (mutual agreement). Berdasarkan rumusan ini, apabila seseorang berbicara dengan orang lain dan bermaksud mencapai kesepahaman, maka itulah negosiasi.
               Adapun karakteistik yang melekat pada pranata negosiasi, setidaknya ada tujuh macam, yakni:
(i)           Negosiasi melibatkan dua pihak atau lebih yang memiliki kepentingan yang sama namun berbeda dalam pelaksanaanya;
(ii)     Masing-masing pihak berangkat dengan opini atau sudut pandang yang berbeda terhadap suatu obyek;
(iii)      Masing-masing pihak berpretensi bahwa negosiasi merupakan cara terbaik untuk menyelesaikan perbedaan di antara mereka;
(iv)Masing-masing pihak berpikir masih terdapat peluang untuk saling berubah posisi;
(v)     Andaikan masing-masing pihak tidak memperoleh hasil maksimal, setidaknya mereka masih mempunyai harapan memperoleh hasil yang memadai;
(vi) Setiap pihak dapat saling mempengaruhi pihak lainnya;
(vii)     Proses negosiasi melibatkan interaksi banyak orang. Negosiasi dilakukan melalui perantaraan seseorang, melalui telpon, surat menyurat dan mungkin semua itu dilakukan secara kombinasi. Oleh karena terkadang bersifat personal atau pribadi, maka unsur emosional dan sikap menjadi faktor penting di dalam negosiasi.
               Sementara itu mengenai negosiasi di bidang hukum agaknya berbeda dengan jenis negosiasi yang biasa dikenal oleh orang awam. Karakteristik spesifik negosiasi hukum  setidaknya menyangkut tiga hal, yakni:
(i)           Penasehat hukum di dalam proses negosiasi berkedudukan sebagai kuasa dari klien, jadi tidak berbicara atas dirinya sendiri;
(ii)         Melakukan persiapan yang memadai, merupakan tahap yang penting di  dalam proses negosiasi;
(iii)       Penasehat hukum terikat oleh seperangkat aturan baik yang bersifat hukum atau undang-undang serta ketentuan kode etik professional.     
         Dalam praktek negosiasi hukum, tidak jarang penasehat hukum melibatkan diri sebagai pihak yang di dalam suatu kasus, yakni menjadi bagian salah satu pihak yang bersengketa. Idealnya kondisi yang demikian sebaiknya harus dihindari, demi menjaga obyektivitas penyelesaian kasus hukum. Dalam konteks hukum, proses negosiasi yang menjadi tujuan utama adalah untuk menyelesaikan masalah, bahkan sesungguhnya tujuan yang lebih utama ketimbang penyelesaian sengketa tersebut adalah pencegahan munculnya sengketa secara riil. Inilah karakter spesifik dua jenis  pekerjaan seorang penasehat hukum, yaitu menggugat dan tidak menggugat.
         Selanjutnya yang perlu disadari adalah, bahwa pengunaan pendekatan hukum di dalam negosiasi memiliki kendala, yaitu:
(i)                 Penasehat hukum harus yakin bahwa cara yang sudah ditempuh adalah sudah tepat dan benar. Oleh karena itu penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman akan teori hukum di balik penerapan hukum dalam praktek adalh mutlak dibutuhkan;
(ii)              Penasehat hukum harus menyadari bahwa peraturan perundang-undangan atau hukum positif lah yang akan diterapkan di dalam negosiasi. Hukum maupun hakim di pengadilan akan menghukumi sengketa yang dinegosiasikan selalu dalam koridor hukum. Hal demikian tentu saja tidak dijumpai dalam konteks negosiasi di luar hukum, artinya negosiasi tersebut tetap dapat berjalan dan diselesaikan dengan norma-norma kesepakatan atau pun norma sosial lainnya.

         Ad.4. Mediasi
            Secara teknis, mediasi dapat dijelaskan  sebagai suatu proses di mana pihak ketiga yang bersikap netral, atau kerap disebut mediator, membantu menyelesaikan masalah terhadap dua atau lebih pihak yang bersengketa, dengan memfasilitasi negosiasi di antara mereka.
         Mediasi menjadi begitu menarik sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa yang dapat bekerja secara efektif, manakala para pihak masih beharap hubungan baik di antara keduanya masih teap terjaga. Hal demikian jarang dijumpai manakala penyelesaian sengketa tersebut dibawa ke pengadilan. Belum lagi pertimbangan pengeluaran uang, waktu dan tenaga yang dicurahkan di dalam persidangan di pengadilan, maka mediasi sebagai instrumen yang fleksibel meniadakan hal-hal yang demikian itu.
          Menurut Michael Noone, terdapat sejumlah karakteristik mediasi sebagai altenatif dari proses litigasi, yaitu:
(i)           assesible atau mudah dijangkau dan dilakukan oleh setiap orang. Mediasi tidak mensyaratkan adanya posedur yang ketat;
(ii)        Sukarela (voluntary) , artinya setiap orang  yang mengambil bagian di dalam mediasi dapat bersetuju untuk melakukan sesuatu, dan dapat pula mengundurkan diri sewakatu-waktu;
(iii)      Bersifat rahasia (confindential), oleh karena masing-masing pihak butuh keamanan untuk  berbicara tentang segala sesuatu secara terbuka, maka setiap proses tawar menawar di dalam mediasi besifat rahasia;
(iv)      Fasilitatif, artinya mediasi menggunakan pendekatan pemecahan masalah secara kreatif yang akan ditawarkan oleh mediator. Oleh karena itu mediator harus menjaga ketidakberpihakan dan senantiasa membantu para pihak untuk mencapai kesepakatan.
         Selanjutnya tentang kemahiran atau ketrampilan yang dibutuhkan dan harus dikuasai oleh seorang mediator yang efektif, meliputi antara lain:
(i)                 Ketrampilan negosiasi;
(ii)              Membangun kepercayaan para pihak;
(iii)            Menjaga netralitas;
(iv)            Menjaga ketidakberpihakan;
(v)               Memfasilitasi proses mediasi;
(vi)            Mengontrol para pihak dan jalannya mediasi;
(vii)          Bersikap adaptif;
(viii)       Menjadi pendengar yang baik;
(ix)             Kemampuan mengajukan pertanyaan yang sesuai;
(x)               Memiliki pengetahuan khusus.
         Dalam praktek acapkali pelaksanaan mediasi oleh mediator tidak berjalan dengan mulus oleh karena mediator melanggar etika mediasi, yaitu:
(a) mediator mengalami conflict of interest;
(b) gagal menjaga kerahasiaan para pihak; dan
(c) bersikap tidak impartial alias memihak salah satu pihak.
         Sementara itu mengenai keuntungan mediasi antara lain:
(i)       Mediasi menunjukkan keberhasilan di dalam penyelesaian sengketa dengan
       mencapai rata-rata 75%-95%;
(ii)     Proses mediasi biasanya berjalan secara fair;
(iii)  Dapat dijalankan secara informal;
(iv)  Bersifat kreatif;
(v)     Proses mediasi bersifat informative;
(vi)  Bersifat cepat dan tidak berbelit-belit;
(vii)                Dapat memuaskan semua pihak;
(viii)       Biayanya murah;
(ix)   Bersifat rahasia;
(x)     Dialog, diskusi di dalam mediasi tidak diselimuti prasangka;
(xi)   Para pihak masuk dalam mediasi bersikap sukarela;
(xii)Para pihak lebih bisa mengontrol jalannya mediasi;
(xiii)          Bersifat menyenangkan, karena tidak terikat tempat dan waktu;
(xiv)        Dapat digunakan untuk beragam jenis sengketa.

        Sementara itu tentang kerugian menggunakan mediasi dalam proses penyelesaian sengketa, yaitu:
(i)         kendati hasil kesepakatan melalui mediasi bersifat mengikat, namun belum
        mempunyai kekuatan eksekutabel sebagaimana kekuatan putusan
        pengadilan;
(ii)      Seluruh pihak harus bersetuju untuk melakukan mediasi;
(iii)    Dalam beberapa kasus mediasi tidak dapat berjalan efektif ketika salah satu
        pihak melakukan keputusan untuk memindahkan asetnya ke luar negeri;
(iv)    akibat proses mediasi yang singkat, hasil yang diharapkan terkadang tidak
        sesuai dengan harapan;
(v)       Membutuhkan waktu yang tepat untuk membuat kesepakatan di dalam
            proses mediasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar