A. Tahapan Advokasi Hukum
Menurut
Fiona Boyle et al., advokasi hukum tidak lain adalah seni tentang persuasi di
dalam konteks hukum, yakni suatu persuasi yang berakar kepada pemahaman suatu
kasus, dan pengetahuan yang cukup terhadap peraturan perundang-undangan, serta
kemampuan persuasif sebelum kasus tersebut diperiksa di dalam pengadilan atau
tribunal.
Berdasarkan rumusan yang demikian
ini kemampuan advokasi sangat erat dengan unsur pengetahuan dan pemahaman
terhadap hukum yang berlaku. Kemampuan
advokasi hukum lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan interview,
menyusun ilustrasi kasus (kronologi kasus), serta kemahiran di bidang penelitian
dan analisis kasus hukum. Kemampuan tersebut pada prinsipnya dapat memberikan
arah dan fokus advokasi yang efektif, yakni
menentukan apakah suatu kasus adalah kasus hukum atau bukan; bentuk
advokasi hukum yang dibutuhkan; serta strategi mana yang dianggap paling sesuai
untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Faktor lain yang tidak kalah
pentingnya di dalam proses advokasi adalah faktor persiapan yang sudah
dilakukan oleh pihak yang akan melakukan advokasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa
keberhasilan suatu advokasi sangat ditentukan oleh bagusnya persiapan yang
dilakukan sebelum advokasi dilakukan. Hal ini kiranya sangat sesuai dengan
ungkapan yang menyatakan bahwa persiapan yang memadai merupakan setengah
langkah dari keberhasilan. Adapun jenis persiapan yang perlu dilakukan di dalam
melakukan advokasi antara lain meliputi
identifikasi kasus, yakni usaha untuk mendapatkan ilustrasi tentang anatomi
kasus; menginventarisir bahan-bahan hukum; menganalisis alat-alat bukti;
menyusun atau mengkonstruksi advokasi hukum serta memprediksi berbagai kemungkinan
yang bakal terjadi terhadap jalannya kasus. Di samping itu persiapan penting
lainnya adalah mempersiapkan diri si pemberi advokasi bahwa dirinya benar-benar
yakin dan memiliki waktu dan kemampuan untuk menyelesaikan kasus yang tengah
dihadapainya, atau setidaknya dia memiliki referensi alternatif, manakala kasus
yang ditangani tersebut terhenti di tengah jalan, maka advokasi substitusi
sudah siap untuk menggantikannya.
Untuk lebih jelasnya berikut ini
akan diuraikan secara sederhana beberapa tahapan penting untuk dilakukan di
dalam melakukan advokasi, yaitu:
1. Identifikasi dan analisis
kasus;
2. pemberian pendapat hukum
(legal memorandum); dan
3. praktek pendampingan hukum.
Ad. 1. Tahap
Identifikasi dan Analisis Kasus
Bahwa langkah pertama yang harus dilakukan di dalam
proses advokasi hukum ialah melakukan identifikasi permasalahan atau kasus
hukum yang hendak ditangani. Asumsinya adalah semakin awal diketahui seluruh
aspek kasus hukum yang menjadi obyek advokasi, maka semakin fokus dan akurat advis
dan langkah hukum yang akan dilakukan.
Sebagaimana
diketahui, bahwa setiap kasus hukum tidak selalu berdimensi tunggal, akan
tetapi tidak jarang suatu kasus mencakup di dalamnya lebih dari satu dimensi
hukum, baik dimensi pidana, perdata bahkan juga dimensi hukum administrasi.
Sebagai contoh sederhana, kasus hukum kekerasan di dalam proses
belajar-mengajar --pemukulan peserta didik yang dilakukan oleh oknum pendidik
dengan dalih penegakan disiplin—- setidaknya ada tiga aspek hukum yang bisa
dikenakan dalam kasus ini, yaitu aspek pidana (penganiayaan); aspek perdata
(ganti rugi atas dasar pebuatan melawan hukum); serta aspek hukum administrasi
(pemberian skorsing, penghentian sementara tugas mengajar).
Akan tetapi tidak jarang pula suatu persoalan yang
dimintakan advokasi hukum justru sama sekali bukan termasuk bidang garapan
advokasi hukum melainkan garapan bidang institusi lainnya. Misalnya
permasalahan keinginan sejumlah PTK-PNF untuk
diangkat statusnya menjadi pegawai negeri sipil. Jelas yang demikian ini
bukan fokus advokasi hukum, melainkan bagian dari urusan biro kepegawaian. Oleh
karena masalah tersebut bukan ranah hukum, akan tetapi masuk ke dalam katagori
ranah administrasi.
Berdasarkan hal demikian ini,
langkah identifikasi aspek hukum suatu kasus adalah sangat penting di dalam
proses advokasi hukum. Proses identifikasi yang
akurat dan obyektif, akan menghasilkan langkah dan strategi yang tepat
di dalam proses advokasi hukum, yaitu:
(i)
Sejak dini sudah dapat dipastikan bahwa kasus tersebut perlu
dilakukan advokasi hukum ataukah tidak;
(ii)
Bahwa jika kasus tersebut adalah kasus hukum, maka aspek
hukum apakah yang perlu diprioritaskan
advokasi hukumnya;
(iii)
Jika kasus tersebut di luar bidang keahliannya perlukah
meminta
bantuan tenaga yang lebih expert;
(iv)
Ataukah tidak sebaiknya kasus tersebut disarankan untuk
ditangani oleh pihak yang lebih berkompeten,
dan seterusnya.
Selanjutnya langkah yang mesti
ditempuh pasca identifikasi aspek hukum
suatu kasus adalah fase analisis
kasus (case analysis . Bahwa tahap analisis
kasus ini dilakukan adalah untuk mengetahui secara obyektif duduk persoalan
atau fakta empiris dari suatu kasus dengan cara mengumpulkan informasi dan
berbagai alat bukti yang berkaitan dengan kasus tersebut.
Kemudian setelah itu dilakukan pula proses inventarisasi
peraturan hukum maupun jurisprudensi yang berhubungan dengan kasus yang perlu
diadvokasi tersebut. Bahkan perburuan informasi melalui literatur dan studi
kepustakaan adalah sesuatu yang niscaya di dalam menganalis suatu kasus,
karena ada kemungkinan kasus yang tengah
dihadapi ternyata pernah terjadi atau setidaknya mirip dengan kasus di tempat
lain. Seterusnya jika dirasa perlu, konsultasi dengan kaum intelektual hukum
yang ahli di bidangnya perlu dilakukan untuk memperoleh kejelasan suatu kasus.
Berdasarkan serangkaian investigasi
fakta dan norma hukum tersebut, maka kasus tersebut setidaknya telah
diketemukan jawabannya secara hipotetis atau secara apriori, yakni:
(i)
tentang kedudukan klien, posisinya kuat (pihak yang
benar) ataukah justru lemah (pihak yang salah);
(ii)
alat-alat bukti apakah yang mesti dihadirkan untuk
memperkuat posisi klien;
(iii)
strategi apakah yang perlu ditempuh di dalam proses
advokasi tersebut;
(iv)
prediksi mengenai probabilitas berhasil tidaknya advokasi
hukum itu, dan seterusnya.
Berdasarkan uraian di atas dapatlah
disimpulkan, bahwa langkah identifikasi masalah dan analisis kasus pada
dasarnya adalah ketrampilan hukum atau lebih tepatnya ketrampilandi bidang
penelitian hukum.
Ad. 2. Tahap Pemberian Pendapat Hukum (Legal Memorandum)
Pendapat hukum atau legal
memorandum sesungguhnya adalah salah satu jenis penulisan esai yang
berkenaan dengan isu hukum. Memo hukum ini biasanya ditulis bedasarkan hasil
kajian dan penelusuran hukum oleh mahasiswa hukum maupun advokat. Isi memo
hukum tersebut antara lain berkenaan dengan isu atau permasalahan hukum,
kesimpulan, diskusi penerapan hukum terhadap suatu peristiwa, catatan atau
kemungkinan implikasi hukum kasus tersebut, serta rekomendasi yang dihasilkan
berdasarkan diskusi.
Dalam kaitannya dengan tahapan advokasi sebelum ini,
yaitu tahap identifikasi dan analisis kasus, maka pendapat hukum atau memo
hukum ini tidak lain adalah catatan pihak pemberi layanan advokasi terhadap
kliennya mengenai posisi kasus, prediksi kasus, catatan-catatan kritis atas
kasus tersebut, serta rekomendasi yang disarankan untuk dilakukan oleh klien.
Bahwa pemberian pendapat hukum ini harus diberikan secara
obyektif dan tidak boleh ditutup-tutupi, termasuk konsekuensi atau dampak yang
akan terjadi manakala kasus tersebut terpaksa diselesaikan melalui mekanisme
advokasi hukum. Dengan demikian, diharapkan keputusan yang diambil klien
betul-betul obyektif, tidak emosional dan tidak obsesif atau wishful thinking.
Ad.
3. Tahap Pendampingan Hukum
Bahwa pada tahap ini, pihak penyedia layanan advokasi
hukum (LKBH) telah menyatakan kesediaanya untuk melakukan advokasi hukum
sebagaimana dikehendaki oleh pihak klien. Berkenaan
dengan implementasi advokasi hukum ini ada baiknya diperhatikan, hal-hal yang
perlu ditegaskan di dalam proses advokasi agar dapat berjalan efektif. Yaitu:
(1) Aspek
legitimasi proses advokasi hukum melalui pemberian surat kuasa;
(2) Aspek kontraktual yang berisi
kesepakatan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak;
(3) Aspek logistik atau yang
berkenaan dengan masalah finansial yang dibutuhkan selama proses advokasi
tersebut.
Dalam kaitan ini, ada baiknya sebagai
ilustrasi perbandingan, diketengahkan ketentuan, syarat, prosedur advokasi hukum yang dilakukan oleh
LKBH Universitas Muhammadiyah Malang
yang menjadi partner Direktorat PTK-PNF, yakni antara lain:
Bahwa advokasi hukum diberikan
kepada:
(1) Tenaga pendidik yang masih berstatus
PTK-PNF, yang dibuktikan dengan surat keputusan atau surat tugas PTK-PNF yang
diterbitkan oleh pejabat yang berwenang;
(2) Terdapat permasalahan hukum
atau permasalahan profesi yang terkait dengan pelaksanaan tugas sebagai
PTK-PNF; dan
(3) Layanan advokasi hukum tidak dikenai biaya
apapun.
Sementara itu prosedur advokasi hukum
diberikan kepada PTK-PNF dengan cara:
(1) PTK-PNF yang bersangkutan atas
inisiatif sendiri atau atas permintaan asosiasi mengajukan permohonan advokasi hukum, baik secara lisan maupun
secara tertulis;
(2)
LKBH segera melakukan verifikasi terhadap permohonan yang diajukan;
(3) Jawaban atau rekomendasi dari
LKBH diberikan secara tertulis paling lambat tujuh hari setelah permohonan
masuk.
Selanjutnya penanganan kasus melalui
advokasi hukum yang dilakukan LKBH, setidaknya harus memenuhi empat indicator,
yakni:
(1) Aspek
kemendesakan (urgensi);
(2) Aspek
tingkat ancaman;
(3) Aspek
hasil analisis kasus; dan
(4) Aspek
rekomendasi.
A. Strategi
Advokasi Hukum
Strategi yang digunakan di dalam
proses advokasi hukum tentunya sangat ditentukan oleh pendekatan yang dilakukan
di dalam keseluruhan proses advokasi. Strategi yang dipilih juga bergantung
kepada cara pandang terhadap advokasi itu sendiri, yakni berkaitan dengan
seberapa besar harapan yang akan diperoleh berupa konsesi, pemberian timbal
balik, maupun solusi yang mungkin bisa dicapai. Dengan kata lain strategi dapat
dimaknai sebagai taktik yang digunakan untuk mencapai hasil yang terbaik sesuai
dengan yang diharapkan.
Sesungguhnya di dalam literatur tidak dijumpai model
strategi advokasi hukum, oleh karena proses advokasi hukum tidak berkaitan
dengan teknik meyakinkan pihak lawan dengan bujukan, ancaman atau pun tawaran
berupa pemberian suatu konsesi tertentu. Advokasi hukum justru melakukan
persuasi kepada pihak lawan dengan menggunakan dalil-dalil hukum dan
fakta-fakta obyektif untuk memaksa lawan melakukan tindakan tertentu. Model
strategi yang dikenal dalam proses advokasi, justru dijumpai di dalam salah
satu varian advokasi hukum yaitu proses negoisasi. Jika strategi negoisasi itu
dianalogikan terhadap proses advokasi hukum, maka strategi advokasi hukum
dibedakan atas lima macam, yakni:
(2)
Strategi
Kompetitif;
(3)
Strategi
Kooperatif;
(4)
Strategi
Pemecahan Masalah (Problem Solving);
(5)
Strategi
Mengelak (avoiding);
(6)
Strategi
Akomodatif.
Ad. 1. Strategi Kompetitif
Strategi ini menggunakan pendekatan diameteral atau
saling berhadap-hadapan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Kedudukan
masing-masing pihak berada di antara posisi ekstrim yaitu menang atau kalah.
Tujuan yang hendak dicapai melalui
strategi kompetitif adalah untuk menghancurkan kepecayaan diri pihak lawan. Di
samping itu juga diharapkan memperoleh keuntungan sebanyak mungkin dari pihak
lawan yang kalah.
Kelebihan strategi adalah:
(i)
Sangat membantu penyelesaian kasus terutama kasus kecil
atau sederhana;
(ii)
Bersifat intimidatif, terutama dalam kondisi perimbangan
kekuatan yang timpang; dan
(iii)
Efektif digunakan pada awal advokasi hukum, ketika pihak
lawan belum mengetahui kekuatan atau kelemahan yang sesungguhnya.
Sedangkan kekurangan strategi ini
adalah:
(i)
Tidak kreatif untuk mencari solusi alternatif;
(ii)
Tidak realistis;
(iii)
Sulit untuk dilakukan dalam waktu yang agak lama;
(iv) Dapat
menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan.
Ad. 2. Strategi Kooperatif
Pendekatan kooperatif di sini
dimaksudkan untk memperoleh hasil yang terbaik dari masing-masing pihak. Para
pihak bertujuan untuk membuat kesepakatan yang saling menguntungkan satu sama
lain, dengan cara mengabaikan konflik, saling berusaha mempercayai, menawarkan
konsiliasi, kemauan untuk saling memberi, saling terbuka.
Adapun keuntungan strategi
kooperatif antara lain:
(i)
Kemustahilan terjadinya dead lock;
(ii)
Terjaganya hubungan baik para pihak;
(iii)
Minimnya ketegangan dan tingkat stress di antara para
pihak.
Sementara itu sisi kelemahannya pendekatan ini, ialah:
(i)
Para pihak dipersepsikan lemah tidak berdaya;
(ii) Membutuhkan informasi yang memadai tentang
pihak lain;
(iii) Berisiko
tinggi jika salah satu pihak beriktikad
tidak baik sedangkan kesepakatan belum selesai seluruhnya.
Ad. 3. Strategi Pemecahan
Masalah
Strategi ini berkonsentrasi untuk menemukan solusi
kreatif di dalam usahanya memberikan bagian atau interest kepada kedua belah
pihak. Tujuan utama strategi ini ialah menganggap suatu pemasalahan itu dapat
dipisahkan dari manusia – sebagaimana kata orang bijak, bahwa tidak ada
persoalan yang tidak ada jalan keluarnya-- tentunya melalui berbagai opsi yang dituangkan
dalam kesepakatan kontraktual.
Karakteristik strategi ini antara
lain:
(i)
Berusaha untuk memahami pihak lainnya secara emphati;
(ii)
Menghargai ikatan emosional di antara para pihak;
(iii) Fokus terhadap
masing-masing kepentingan pihak lain;
(iv)
Menekankan kepada komunikasi yang baik; dan
(v)
Melahirkan solusi
kreatif dan inovatif.
Sementara itu keunggulan strategi
ini ialah:
(i)
Tidak saling menjatuhkan, dead lock dapat dihindari;
(ii)
Fokus kepada permasalahan utama;
(iii)
Kreatif.
Sedangkan
kelemahan stategi ini, adalah:
(i)
Membutuhkan informasi lebih banyak ;
(ii)
Sulit dilakukan jika pihak lain tidak menghendaki
strategi ini;
(iii)
Tidak realistis, agaknya sulit ditemui proses advokasi
yang menghasilkan kepuasan di antara para pihak yang bertikai.
Ad. 4, Strategi Mengelak (Avoiding)
Strategi ini tujuan utamanya adalah
mencari-cari alasan untuk menolak berbagai bentuk kemajuan riil yang dicapai
dalam proses advokasi. Dalam praktek strategi sudah jarang dipakai, karena
strategi ini digunakan dalam keadaan terdesak, dan sifatnya hanya mengulur-ulur
waktu saja (buying time).
Adapun kelebihan strategi ini ialah:
(i)
Dapat meletakkan pihak lawan dalam posisi di bawah
tekanan (under pressure);
(ii)
Memaksa
pihak lawan untuk mengambil inisitif;
(iii)
Dapat menunda pelaksanaan kesepakatan melalui cara
mengulur waktu.
Sedangkan
keburukan strategi ini adalah:
(i)
Dapat memberikan keleluasan pihak lawan untuk
mengendalikan pihak yang mengelak;
(ii)
Adanya ancaman untuk diselesaikan lewat jalur pengadilan
dengan kekuatan sita dan eksekusinya;
(iii)
Bertentangan dengan hukum acara yang menganjurkan
penyelesaian kasus secara sederhana dan tidak berbelit-belit;
(iv)
Strategi ini tidak etis.
Ad. 5. Strategi Akomodatif
Strategi ini
sering dipadankan dengan strategi kooperatif yang dilakukan secara ekstrem.
Strategi akomodatif melibatkan kesepakatan terhadap penawaran pihak lawan
secara ekstrem. Yaitu kemungkinan
penerimaan tawaran pihak lawan tanpa persyaratan apapun. Karakteristik strategi
ini mungkin hanya digunakan oleh keompok advokasi hukum yang kurang
berpengalaman. Kelebihan strategi ini tida ada, sedangkan kelemahannya terletak
pada kegagalannya untuk meraih hasil yang baik, hampir-hampir tidak mungkin
diperoleh.
C.Mekanisme
Pelaksanaan Advokasi Hukum
1.
Pelaksanaan Advokasi
Litigasi
Litigasi adalah salah satu bentuk advokasi
hukum yang dilakukan melalui proses pengadilan, bahkan sebelum kasus atau satu
perkara di sidangkan ke pengadilan, pendampingan klien atas pemeriksaan atau
penyidikan di tingkat kepolisian, serta proses penuntutan di tingkat kejaksaan
dapat juga dikatagorikan sebagai bentuk litigasi.
Di dalam melaksanakan advokasi hukum dalam
bentuk litigasi ini jelas dibutuhkan keahlian dan ketrampilan serta pengetahuan
tentang prosedur hukum beracara mulai dari tingkat kepolisian, kejaksaan,
hingga tingkat pengadilan. Lazimnya proses advokasi hukum yang demikian ini
dilakukan oleh kelompok professional yang memiliki izin untuk itu, yang biasanya
dikenal dengan sebutan advokat atau penasehat hukum.
Lantas bagaimana dengan status LKBH yang nota bene
anggotanya atau personilnya tidak memiliki izin praktik dan pula tidak
mengantungi kartu advokat. Mungkinkah institusi LKBH ini diizinkan dan berhak
melakukan advokasi hukum dalam bentuk litigasi. Jawabannya secara tegas adalah
boleh dan sah secara hukum maupun konstitusi. Oleh karena di samping tidak ada
satu pun regulasi hukum acara yang mengharuskan setiap orang atau kelompok yang
beracara di pengadilan wajib didampingi oleh advokad, sebagaimana diaatur di
dalam ketentuan RV dan
dipraktekan pada zaman kolonial dahulu.
Selain itu pula sesungguhnya tidak ada satu pun aturan melarang individu atau
pun kelompok yang melakukan kerja advokasi hukum dalam bentuk litigasi, harus
berprofesi advokat. Hal yang
disebut terakhir ini dengan tegas dapat
disimak dari Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah bersifat final dan
berkekuatan mengikat terhadap Perkara Nomor: 006/PUU-II/2004 tentang Tidak Mengikatnya Pasal 31 UU No.18
Tahun 2003 tentang Advokat bagi Lembaga Bantuan Hukum di Lingkungan Perguruan
Tinggi.
Untuk mengetahui secara otentik
isi putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara Nomor: 006/PUU-II/2004 ada baiknya berikut ini di sadur bunyi putusan
tersebut, yakin:
(1)
Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan;
(2)
Menyatakan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003
tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945;
(3)
Menyatakan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003
tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
(4)
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita
Negara Republik Indonesia sebagaimana
mestinya.
Berdasarkan ilustrasi di atas, maka saat ini tidak ada lagi alasan untuk
khawatir, risau dan cemas bahwa litigasi yang dilakukan oleh LKBH akan diusir
dari ruang pengadilan. Justru kinilah saatnya untuk memanfaatkan momentum
terbukanya kembali akses untuk melakukan litigasi sebagai wujud era bangkitnya
LKBH dan sekaligus bentuk kepedulian dan pemihakan kepada kelompok yang kurang
beruntung atau miskin di dalam memperoleh akses keadilan.
Adapun langkah kongkret untuk
merealisasikan iktikad mulia ini, maka selain keharusan untuk konsolidasi
organisasi seluruh LKBH di tanah air. Langkah sosialisasi putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut harus senantiasa dipublikasikan, diinternalisasikan kepada
segenap pihak dan seluruh aparat hukum yang berprofesi sebagai polisi,jaksa, notaris,
hakim, advokat, akademisi hukum, para legal, dan sebagainya.
- Pelaksanaan Advokasi Non Litigasi
Sebagaimana diungkapkan terdahulu,
bahwa penyelesaian sengketa Non Litigasi adalah suatu pranata penyelesaian
sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian
secara litigasi di Pengadilan Negeri. Dengan sedikit perubahan dan penyesuaian
demi memenuhi kebutuhan dan kepentingan obyek advokasi hukum, bentuk-bentuk
advokasi non litigasi yang akan dibahas mekanisme pelaksanaannya antara lain
adalah:
- Sosialisasi;
- Konsultasi;
- Negosiasi;
- Mediasi.
Ad. 1. Sosialisasi
Sosialisasi adalah salah satu bagian advokasi hukum
yang dilakukan dengan cara mempublikasikan dan memasyarakatkan norma, kode
etik, serta regulasi yang mengatur segala hal-ikhwal PTK-PNF terutama sekali
yang berkaitan dengan hak dan kewajiban, status dan peran K-PNF. Tujuan kegiatan sosialisasi adalah
untuk menyadarkan kepada PTK-PNF bahwa konsekuensi atas status yang diembannya
menimbulkan sejumlah hak dan kewajiban yang melekat kepadanya. Selain itu
sosialisasi juga bertujuan untuk menyerap aspirasi dan harapan serta kebutuhan
obyektif anggota PTK-PNF, yang pada saatnya nanti akan diperjuangkan menjadi
sebuah kebijakan public.
Pelaksanaan sosialisasi ini dapat dilaksanakan dengan
cara dan frekuensi yang beragam, seperti melalui media elektronik (TV, radio,
internet, dll), media cetak (koran, majalah, jurnal, leaflet, booklet dll),
penyuluhan dan tatap muka secara langsung denga audiens obyek advokasi dan
lain-lain. Begitu pula dengan frekuensi dan durasi sosialisasi bisa
sangat bervariasi, yaitu bisa dilakukan setiap dwi mingguan, bulanan maupun
pelaksanaannya dikaitkan dengan momen-momen hari –hari besar nasional.
Sosialisasi dalam pemaknaan yang
lain, sesungguhnya proses penyampaian pesan dari komunikan kepada audiens. Oleh
karena itu hal-hal yang perlu
dipertimbangkan di dalam memilih media dan bentuk sosialisasi adalah informasi tentang audiens atau obyek
sosialisasi. Ketersedian informasi secara memadai tentang profil audiens, setidaknya ikut memudahkan
proses pemilihan media dan bentuk sosialisasi yang lebih valid dan memiliki
hasil yang efektif. Di samping itu faktor yang tak kalah pentingnya untuk
berhasilnya proses penyampaian pesan tersebut adalah kemampuan dukungan
logistik, baik berupa finansial maupun ketersediaan sumber daya manusia yang memang
mendukung untuk kegiatan sosialisasi tersebut.
Ad. 2. Konsultasi
Memperoleh advis hukum atau nasihat hukum boleh jadi
merupakan tujuan utama seseorang (klien) mendatangi dan berkonsultasi kepada
seorang penasehat hukum. Biasanya
seseorang yang tengah menghadapi suatu problem hukum, konsultasi adalah
tindakan yang dipilih untuk memperoleh informasi mengenai status atau posisi
hukumnya, serta berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya. Misalnya dalam kasus perdata, seorang klien
ingin mengetahui tentang peluangnya untuk menang itu lebih besar, ataukah
sebaliknya. Berkenaan dengan kasus
pidana, keingintahuan seorang klien adalah seputar apakah ia bersalah ataukah
tidak, jika ia bersalah melakukan tindak pidana apakah bentuk pidananya dan berapa
lama. Tak jarang pula, seorang klien merasa sedih setelah berkonsultasi dengan
penasehat hukum, karena mengetahui posisi hukum nya lemah, dan begitu pula
sebaliknya seorang klien merasa berbung-bungan menakala diinformasikan
kepadanya bahwa ia berada pada posisi yang benar dan berpeluang untuk
memenangkan perkara.
Advis hukum yang akurat dan
komprehensif biasanya tidak diberikan
dalam waktu yang seketika itu juga, namun terkadang membutuhkan waktu
berhari-hari oleh karena masih mencari referensi hukum maupun kelengkapan
informasi yang valid. Salah satu upaya memperoleh informasi yang akurat tentang
posisi kasus sekaligus peluang seorang klien di dalam suatu kasus, pada
dasarnya sangat dipengaruhi oleh proses konsultasi yang dilakukan oleh si
penasehat hukum dengan seorang klien. Dengan kata lain advis hukum yang
diberikan sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh proses konsultasi yang
dilakukan. Semakin baik dan efektif proses konsultasi itu, maka semakin akurat
pula advis hukum yang diberikan.
Konsultasi itu sendiri pada
hakekatnya adalah berbentuk interview atau kegiatan tanya jawab, dialog antara
penasihat hukum dengan seorang klien. Oleh karena itu ketrampilan atau teknik
interview sebaiknya dimiliki oleh seorang penasihat hukum untuk mengeksplorasi informasi
dari klien yang diberikan secara jujur, tidak mengada-ada atau keterangan
palsu, terbuka, dan tidak ada rasa khawatir.
Selain kemampuan berkomunikasi dengan klien, faktor lain yang perlu
diperhatikan dalam proses konsultasi, adalah faktor pemilihan waktu serta
tempat dilakukannya konsultasi. Tidak selalu konsultasi dilakukan pada jam-jam
kerja, atau ditempat kerja, konsultasi dapat juga dilakukan di tempat-tempat
lain semisal di lobi hotel, di rumah makan atau di tempat lainnya yang mendukung seseorang untuk
berkomunikasi secara terbuka.
Selanjutnya aspek penampilan atau
performance atau citra diri si pemberi advis hukum, sebaiknya mampu menimbulkan
rasa percaya diri seorang klien, bahwa infomasi yang disampaikannya tidak akan
dikonsumsi oleh pihak yang tidak berhak dan juga keyakinan bahwa si penasehat
hukum adalah orang yang tepat untuk membantu persoalan yang tengah dihadapinya.
Selain itu sikap ramah, bahasa tubuh yang menyenangkan misalnya dengan jabatan
tangan, sedikit humoris setidaknya perlu dilakukan oleh penasehat hukum, di
samping berpakaian yang rapi, setidaknya ikut mempengaruhi proses konsultasi
secara terbuka dan efektif.
Ad. 3. Negosiasi dan Negosiasi Hukum
Agak sulit
untuk mendefinisikan konsep negosiasi itu, secara akurat. Kebanyakan oang
berbicara dan melakukan negosiasi dan memperoleh hasil yang memuaskan atau
mengecewakan dari negosiasi itu, namun mengenai makna persisnya negosiasi itu,
mereka menjawab silahka lakukan saja. Sebagian
orang mengatakan bahwa negoisasi adalah sebuah seni bukan suatu ilmu.
Tetapi apa persisnya konsep negosiasi itu sendiri, berikut ini salah satu
definisi yang dicoba berikan oleh Menkel-Meadow, yakni: “negosiasi adalah
perangkat utama untuk memperoleh apa yang anda harapkan dari pihak lain. Sarana
komunikasi digunakan untuk mencapai kesepakatan di antara dua pihak yang
memiliki kepentingan berbeda, pihak yang satu ingin berbagi sebaliknya pihak
lainnya justru menolaknya”. Sementara itu pengertian sederhananya menurut Chambers English Dictionary, negosiasi
adalah perbuatan atau perundingan yang dimaksudkan untuk mencapai hasil
kesepakatan yang saling menguntungkan (mutual
agreement). Berdasarkan rumusan ini, apabila seseorang berbicara dengan
orang lain dan bermaksud mencapai kesepahaman, maka itulah negosiasi.
Adapun karakteistik yang melekat
pada pranata negosiasi, setidaknya ada tujuh macam, yakni:
(i)
Negosiasi melibatkan dua pihak atau lebih yang memiliki
kepentingan yang sama namun berbeda dalam pelaksanaanya;
(ii) Masing-masing
pihak berangkat dengan opini atau sudut pandang yang berbeda terhadap suatu
obyek;
(iii)
Masing-masing pihak berpretensi bahwa negosiasi merupakan
cara terbaik untuk menyelesaikan perbedaan di antara mereka;
(iv)Masing-masing
pihak berpikir masih terdapat peluang untuk saling berubah posisi;
(v)
Andaikan masing-masing pihak tidak memperoleh
hasil maksimal, setidaknya mereka masih mempunyai harapan memperoleh hasil yang
memadai;
(vi) Setiap pihak
dapat saling mempengaruhi pihak lainnya;
(vii)
Proses negosiasi
melibatkan interaksi banyak orang. Negosiasi dilakukan melalui perantaraan
seseorang, melalui telpon, surat menyurat dan mungkin semua itu dilakukan
secara kombinasi. Oleh karena terkadang bersifat personal atau pribadi, maka
unsur emosional dan sikap menjadi faktor penting di dalam negosiasi.
Sementara itu mengenai negosiasi
di bidang hukum agaknya berbeda dengan jenis negosiasi yang biasa dikenal oleh
orang awam. Karakteristik
spesifik negosiasi hukum setidaknya
menyangkut tiga hal, yakni:
(i)
Penasehat hukum di dalam proses negosiasi berkedudukan
sebagai kuasa dari klien, jadi tidak berbicara atas dirinya sendiri;
(ii)
Melakukan
persiapan yang memadai, merupakan tahap yang penting di dalam proses negosiasi;
(iii)
Penasehat hukum
terikat oleh seperangkat aturan baik yang bersifat hukum atau undang-undang
serta ketentuan kode etik professional.
Dalam praktek negosiasi hukum, tidak
jarang penasehat hukum melibatkan diri sebagai pihak yang di dalam suatu kasus,
yakni menjadi bagian salah satu pihak yang bersengketa. Idealnya kondisi yang
demikian sebaiknya harus dihindari, demi menjaga obyektivitas penyelesaian
kasus hukum. Dalam konteks hukum, proses negosiasi yang menjadi tujuan utama
adalah untuk menyelesaikan masalah, bahkan sesungguhnya tujuan yang lebih utama
ketimbang penyelesaian sengketa tersebut adalah pencegahan munculnya sengketa
secara riil. Inilah karakter spesifik dua jenis
pekerjaan seorang penasehat hukum, yaitu menggugat dan tidak menggugat.
Selanjutnya yang perlu disadari adalah,
bahwa pengunaan pendekatan hukum di dalam negosiasi memiliki kendala, yaitu:
(i)
Penasehat
hukum harus yakin bahwa cara yang sudah ditempuh adalah sudah tepat dan benar. Oleh
karena itu penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman akan teori hukum di
balik penerapan hukum dalam praktek adalh mutlak dibutuhkan;
(ii)
Penasehat hukum harus menyadari bahwa peraturan
perundang-undangan atau hukum positif lah yang akan diterapkan di dalam
negosiasi. Hukum maupun hakim di pengadilan akan menghukumi sengketa yang
dinegosiasikan selalu dalam koridor hukum. Hal demikian tentu saja tidak
dijumpai dalam konteks negosiasi di luar hukum, artinya negosiasi tersebut
tetap dapat berjalan dan diselesaikan dengan norma-norma kesepakatan atau pun
norma sosial lainnya.
Ad.4.
Mediasi
Secara
teknis, mediasi dapat dijelaskan sebagai
suatu proses di mana pihak ketiga yang bersikap netral, atau kerap disebut
mediator, membantu menyelesaikan masalah terhadap dua atau lebih pihak yang
bersengketa, dengan memfasilitasi negosiasi di antara mereka.
Mediasi menjadi begitu menarik sebagai suatu alternatif
penyelesaian sengketa yang dapat bekerja secara efektif, manakala para pihak
masih beharap hubungan baik di antara keduanya masih teap terjaga. Hal
demikian jarang dijumpai manakala penyelesaian sengketa tersebut dibawa ke
pengadilan. Belum lagi pertimbangan pengeluaran uang, waktu dan tenaga yang
dicurahkan di dalam persidangan di pengadilan, maka mediasi sebagai instrumen
yang fleksibel meniadakan hal-hal yang demikian itu.
Menurut Michael Noone, terdapat sejumlah
karakteristik mediasi sebagai altenatif dari proses litigasi, yaitu:
(i)
assesible atau mudah dijangkau dan dilakukan oleh setiap
orang. Mediasi tidak mensyaratkan adanya posedur yang ketat;
(ii)
Sukarela (voluntary)
, artinya setiap orang yang mengambil
bagian di dalam mediasi dapat bersetuju untuk melakukan sesuatu, dan dapat pula
mengundurkan diri sewakatu-waktu;
(iii)
Bersifat rahasia (confindential),
oleh karena masing-masing pihak butuh keamanan untuk berbicara tentang segala sesuatu secara
terbuka, maka setiap proses tawar menawar di dalam mediasi besifat rahasia;
(iv)
Fasilitatif, artinya mediasi menggunakan pendekatan
pemecahan masalah secara kreatif yang akan ditawarkan oleh mediator. Oleh
karena itu mediator harus menjaga ketidakberpihakan dan senantiasa membantu
para pihak untuk mencapai kesepakatan.
Selanjutnya tentang kemahiran atau
ketrampilan yang dibutuhkan dan harus dikuasai oleh seorang mediator yang
efektif, meliputi antara lain:
(i)
Ketrampilan
negosiasi;
(ii)
Membangun
kepercayaan para pihak;
(iii)
Menjaga
netralitas;
(iv)
Menjaga
ketidakberpihakan;
(v)
Memfasilitasi
proses mediasi;
(vi)
Mengontrol para pihak dan jalannya mediasi;
(vii)
Bersikap
adaptif;
(viii) Menjadi pendengar yang
baik;
(ix)
Kemampuan mengajukan pertanyaan yang sesuai;
(x)
Memiliki
pengetahuan khusus.
Dalam praktek acapkali pelaksanaan mediasi oleh mediator tidak
berjalan dengan mulus oleh karena mediator melanggar etika mediasi, yaitu:
(a)
mediator mengalami conflict of interest;
(b) gagal menjaga kerahasiaan para pihak; dan
(c) bersikap tidak impartial
alias memihak salah satu pihak.
Sementara itu mengenai keuntungan
mediasi antara lain:
(i)
Mediasi menunjukkan keberhasilan di dalam penyelesaian
sengketa dengan
mencapai rata-rata
75%-95%;
(ii) Proses mediasi biasanya berjalan secara fair;
(iii) Dapat dijalankan secara
informal;
(iv) Bersifat kreatif;
(v) Proses mediasi bersifat
informative;
(vi) Bersifat
cepat dan tidak berbelit-belit;
(vii)
Dapat memuaskan semua pihak;
(viii) Biayanya murah;
(ix) Bersifat rahasia;
(x)
Dialog, diskusi di dalam mediasi tidak diselimuti
prasangka;
(xi)
Para pihak masuk dalam mediasi bersikap sukarela;
(xii)Para pihak
lebih bisa mengontrol jalannya mediasi;
(xiii)
Bersifat menyenangkan, karena tidak terikat tempat dan
waktu;
(xiv)
Dapat digunakan untuk beragam jenis sengketa.
Sementara
itu tentang kerugian menggunakan mediasi dalam proses penyelesaian sengketa,
yaitu:
(i)
kendati hasil kesepakatan melalui mediasi bersifat
mengikat, namun belum
mempunyai
kekuatan eksekutabel sebagaimana kekuatan putusan
pengadilan;
(ii)
Seluruh pihak harus bersetuju untuk melakukan mediasi;
(iii)
Dalam beberapa kasus mediasi tidak dapat berjalan efektif
ketika salah satu
pihak
melakukan keputusan untuk memindahkan asetnya ke luar negeri;
(iv)
akibat proses mediasi yang singkat, hasil yang diharapkan
terkadang tidak
sesuai dengan harapan;
(v) Membutuhkan waktu yang
tepat untuk membuat kesepakatan di dalam
proses mediasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar