Peluang Usaha

clicksor

sitti

Anda Pengunjung ke

Senin, 21 Desember 2015

RUANG LINGKUP ADVOKASI HUKUM



A. Dimensi Advokasi Hukum
      Advokasi hukum pada prinsipnya tidak berdimensi tunggal, yakni dimensi abstraksi dan positifikasi nilai dan norma yang harus dipedomani ke dalam rangkaian kalimat hukum semata. Namun advokasi hukum memiliki spektrum yang lebih luas ketimbang aspek substansi atau isi hukum (content of law), yakni mencakup dimensi  struktur hukum (structure of law)  dan dimensi budaya hukum (legal culture).         
       Mengingat advokasi merupakan kegiatan atau usaha untuk memperbaiki/merubah kebijakan publik sesuai dengan kehendak mereka yang mendesakkan terjadinya perbaikan atau perubahan tersebut, maka menjadi penting untuk memahami apa sesungguhnya kebijakan publik itu. Salah satu kerangka analisis yang berguna untuk memahami kebijakan publik adalah dengan melihat sebuah kebijakan itu sebagai suatu system hukum. Secara teoritis, sistem hukum mengacu pada tiga hal:
1.      Isi hukum (content of law) yakni uraian atau penjabaran dari suatu kebijakan yang tertuang dalam bentuk Undang-Undang, Perpu, PP, Perpres, Perda dan seterusnya;
2.      Struktur hukum (structure of law) yang merupakan seperangkat kelembagaan dan pelaksana isi hokum yang berlaku. Dalam pengertian ini tercakup lembaga-lembaga hukum (pengadilan, penjara, birokrasi, partai politik, dll) dan para aparat pelaksananya (hakim, jaksa, pengacara, polisi, pejabat pemerintah, dll)
3.      Budaya hukum, yaitu persepsi, pemahaman, sikap penerimaan, praktek-praktek pelaksanaan, penafsiran terhdap dua unsure di atas, yaitu isi dan tata laksanan hukum.
Oleh karena itu idealnya suatu kegiatan atau program advokasi hukum harus mencakup sasaran perubahan ketiga-tiganya. Dengan demikian, suatu kegiatan advokasi hukm yang baik adalah yang secara sengaja dan sistematis didesain untuk mendesakkan terjadinya perubahan, baik dalam isi, tata-laksana maupun budaya hukum yang berlaku. Perubahan itu tidak harus selalu terjadi dalam waktu yang bersamaan, namun bisa saja bertahap atau berjenjang dari satu aspek hukum tersebut yang dianggap merupakan titik-tolak paling menentukan.    Untuk melakukan advokasi pada tiga aspek hukum di atas, perlu dilakukan pendekatan yang berbeda mengingat ketiga aspek hukum tersebut dihasilkan oleh proses-proses yang memiliki kekhasan tersendiri. Oleh karena itu, menurut Roem, kegiatan advokasi harus mempertimbangkan dan menempuh proses-proses yang disesuaikan sebagai berikut:
1.      Proses-proses legislasi dan juridiksi, yakni kegiatan pengajuan usul, konsep, penyusunan academic draft hingga praktek litigasi untuk melakukan judicial review, class action, legal standing untuk meninjau ulang isi hukum sekaligus membentuk preseden yang dapat mempengaruhi keputusan-keputusan hukum selanjutnya.
2.      Proses-proses politik dan birokrasi, yakni suatu upaya atau kegiatan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana peraturan melalui berbagai strategi, mulai dari lobi, negoisasi, mediasi, tawar menawar, kolaborasi dan sebagainya.
3.      Proses-proses sosialisasi dan mobilisasi, yakni suatu kegiatan untuk membentuk pendapat umum dan pengertian yang lebih luas melalui kampanye, siaran pers, unjuk rasa, boikot, pengorganisasian basis, pendidikan politik, diskusi publik, seminar, pelatihan dan sebagainya. Untuk membentuk opini publik yang baik, dalam pengertian mampu menggerakkan sekaligus menyentuh perasaan terdalam khalayak ramai, keahlian dan ketrampilan untuk mengolah, mengemas isu melalui berbagai teknik, sentuhan artistik sangat dibutuhkan.
A.    Prinsip-Prinsip Advokasi Hukum
1.      Bahwa dalam advokasi kita harus menentukan target yang jelas. Maksudnya kita harus menentukan kebijakan publik macam apa yang akan kita ubah.
2.      kita juga harus menentukan prioritas mengingat tidak semua kebijakan bisa diubah dalam waktu yang cepat. Karena itu, kita harus menentukan prioritas mana dari masalah dan kebijakan yang akan diubah.
3.      Realistis. Artinya bahwa kita tidak mungkin dapat mengubah seluruh kebijakan publik. Oleh karena itu kita harus menentukan pada sisi-sisi yang mana kebijakan itu harus dirubah. Misalnya pada bagian pelaksanaan kebijakan,pengawasan kebijakan atau yang lainnya.
4.      Batas waktu yang jelas. Alokasi waktu yang jelas akan menuntun kita dalam melakukan tahap-tahap kegiatan advokasi, kapan dimulai dan kapan akan selesai.
5.      Dukungan logistik. Dukungan sumber daya manusia dan dana sangat dibutuhkan dalam melakukan kegiatan advokasi.
6.      Analisa ancaman dan peluang.

B.     Jenis-Jenis Advokasi Hukum
1.      Advokasi Litigasi
      Litigasi dapat diartikan sebagai keseluruhan proses yang mengalihkan suatu kasus atau permasalahan ke pengadilan. Hasil akhir suatu sengketa di pengadilan, tidak ditentukan oleh para pihak yang berposisi sebagai penggugat dan tergugat, tetapi diputuskan oleh hakim melalui penerapan hukum serta menentukan sedapat mungkin bentuk penghukuman, seperti penjatuhan perintah pembayaran ganti rugi dan kewajiban memulihkan keadaan seperti semula sebelum terjadi sengketa.
      Berdasakan konsepsi yang demikian ini, banyak  orang masih menganggap bahwa advokasi merupakan kerja-kerja pembelaan hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan praktek beracara di pengadilan. Pandangan ini kemudian melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa yang disebut sebagai advokasi. Seolah-olah, advokasi merupakan urusan sekaligus monopoli dari organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum semata. Pandangan semacam itu bukan selamanya keliru, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Mungkin pengertian advokasi menjadi sempit karena pengaruh yang cukup kuat dari padanan kata advokasi itu dalam bahasa Belanda, yakni advocaat yang tak lain memang berarti pengacara hukum atau pembela. Namun kalau kita mau mengacu pada kata advocate dalam pengertian bahasa Inggris, maka pengertian advokasi akan menjadi lebih luas. Misalnya saja dalam kamus bahasa Inggris yang disusun oleh Prof. Wojowasito, Alm., Guru Besar IKIP Malang (kini Universitas Negeri Malang) yang diterbitkan sejak tahun 1980, kata advocate dalam bahasa Inggris dapat bermakna macam-macam. Advocate bisa berarti menganjurkan, memajukan (to promote), menyokong atau memelopori. Dengan kata lain, advokasi juga bisa diartikan melakukan ‘perubahan’ secara terorganisir dan sistematis.      

2.      Advokasi Non Litigasi
Di samping melalui Litigasi, juga dikenal Alternatif penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan yang lazim disebut Non Litigasi. Alternatif penyelesaian sengketa Non Litigasi adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradlan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hokum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensif) dan kurng tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum, atau dianggap terlalu formalistis (formalistic) dan terlampau teknis (technically).
Dalam pasal (1) angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, disebutkan bahwa masyarakat dimungkinkan memakai alternatif lain dalam melakukan penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara konsultsi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

a.      Konsultasi
                        Dalam Black’s Law Dictionary dijelaskan bahwa konsultasi merupakan tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan klien, dengan pihak lain yang merupakan konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan klien tersebut. Konsultan hanyalah memberikan pendapat hukum, sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak meskipun ada kalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.

b. Negosiasi dan Perdamaian
Menurut Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, pada dasarya para pihakberhak untuk menyelsaikan sendiri sengket yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui para pihak. Negosiasi mirip dengan perdamaian yang diatur dalam pasal 1851 s/d 1864 KUH Perdata, di mana perdamaian itu adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan mana harus dibuat secara tertulis dengan ancaman tidak sah. Namun ada beberapa hal yang membedakan, yaitu:
Pada negosiasi diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan Penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang bersengketa. pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang bersengketa.
   Perbedaan lain adalah bahwa negosiasi merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan pengadilan dilakukan maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

c. Mediasi
Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) Undang Undang Nomor 39 tahun 1999, atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan “seorang atu lebih penasehat ahli” maupun melalui seorang mediator. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah pinal dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan tertulis wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilakasanakan dalam waktu lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
Mediator dapat dibedakan:
  1. mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak
  2. mediator yang ditujuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak.

d. Konsiliasi dan perdamaian
          Seperti pranata alternatif penyelesaian sengketa yang telah diuraikan di atas, konsiliasipun tidak dirumuskan secara  jelas  dalam  Undang Undang  nomor 30 tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakan proses legitasi, melainkan juga dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berjalan, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa dimana telah diperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.8)

e. Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase
          Pasal 52 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 menyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari Lembaga Arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari pengertian tentang Lembaga Arbitrase yang di berikan dalam Pasal 1 angka 8 Undang Undang nomor 30 tahun 1999:
“Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”
Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya  pada  lembaga  arbitrase  tersebut). Setiap  pendapat  yang  berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.

f. Arbitrase
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam Pasal 615 s/d 651 Reglement of de Rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui artibrase tetap dipebolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.
Menurut pasal 1 angka 1 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar Pengadilan Umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya  arbitrase    dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1.      Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjain tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo) atau
2.      Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).

Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut pasal 5 ayat 1 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu ayat 5 (2) nya memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.

Dalam penjelasan umum Undang Undang nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah:
1.      dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
2.      dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif
3.      para pihak dapat memilih arbiter yang menurut pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil
4.      para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5.      putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar