A.
Dimensi Advokasi Hukum
Advokasi hukum pada prinsipnya
tidak berdimensi tunggal, yakni dimensi abstraksi dan positifikasi nilai dan
norma yang harus dipedomani ke dalam rangkaian kalimat hukum semata. Namun
advokasi hukum memiliki spektrum yang lebih luas ketimbang aspek substansi atau
isi hukum (content of law), yakni
mencakup dimensi struktur hukum (structure of law) dan dimensi budaya hukum (legal culture).
Mengingat advokasi merupakan kegiatan atau
usaha untuk memperbaiki/merubah kebijakan publik sesuai dengan kehendak mereka
yang mendesakkan terjadinya perbaikan atau perubahan tersebut, maka menjadi
penting untuk memahami apa sesungguhnya kebijakan publik itu. Salah satu
kerangka analisis yang berguna untuk memahami kebijakan publik adalah dengan
melihat sebuah kebijakan itu sebagai suatu system hukum. Secara teoritis, sistem
hukum mengacu pada tiga hal:
1.
Isi hukum (content
of law) yakni uraian atau penjabaran dari suatu kebijakan yang tertuang
dalam bentuk Undang-Undang, Perpu, PP, Perpres, Perda dan seterusnya;
2.
Struktur hukum (structure
of law) yang merupakan seperangkat kelembagaan dan pelaksana isi hokum yang
berlaku. Dalam pengertian ini tercakup lembaga-lembaga hukum (pengadilan,
penjara, birokrasi, partai politik, dll) dan para aparat pelaksananya (hakim,
jaksa, pengacara, polisi, pejabat pemerintah, dll)
3.
Budaya hukum, yaitu persepsi, pemahaman, sikap
penerimaan, praktek-praktek pelaksanaan, penafsiran terhdap dua unsure di atas,
yaitu isi dan tata laksanan hukum.
Oleh karena itu idealnya suatu kegiatan atau program
advokasi hukum harus mencakup sasaran perubahan ketiga-tiganya. Dengan
demikian, suatu kegiatan advokasi hukm yang baik adalah yang secara sengaja dan
sistematis didesain untuk mendesakkan terjadinya perubahan, baik dalam isi,
tata-laksana maupun budaya hukum yang berlaku. Perubahan itu tidak harus selalu
terjadi dalam waktu yang bersamaan, namun bisa saja bertahap atau berjenjang
dari satu aspek hukum tersebut yang dianggap merupakan titik-tolak paling
menentukan. Untuk melakukan advokasi pada tiga aspek
hukum di atas, perlu dilakukan pendekatan yang berbeda mengingat ketiga aspek
hukum tersebut dihasilkan oleh proses-proses yang memiliki kekhasan tersendiri.
Oleh karena itu, menurut Roem, kegiatan advokasi harus mempertimbangkan dan
menempuh proses-proses yang disesuaikan sebagai berikut:
1.
Proses-proses legislasi dan juridiksi, yakni kegiatan pengajuan usul, konsep, penyusunan academic draft hingga
praktek litigasi untuk melakukan judicial
review, class action, legal standing untuk meninjau ulang isi hukum
sekaligus membentuk preseden yang dapat mempengaruhi keputusan-keputusan hukum
selanjutnya.
2.
Proses-proses politik dan birokrasi, yakni suatu upaya atau kegiatan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana
peraturan melalui berbagai strategi, mulai dari lobi, negoisasi, mediasi, tawar
menawar, kolaborasi dan sebagainya.
3.
Proses-proses sosialisasi dan mobilisasi, yakni suatu kegiatan untuk membentuk pendapat umum dan pengertian yang
lebih luas melalui kampanye, siaran pers, unjuk rasa, boikot, pengorganisasian
basis, pendidikan politik, diskusi publik, seminar, pelatihan dan sebagainya.
Untuk membentuk opini publik yang baik, dalam pengertian mampu menggerakkan
sekaligus menyentuh perasaan terdalam khalayak ramai, keahlian dan ketrampilan
untuk mengolah, mengemas isu melalui berbagai teknik, sentuhan artistik sangat
dibutuhkan.
A.
Prinsip-Prinsip Advokasi
Hukum
1. Bahwa dalam advokasi kita harus menentukan
target yang jelas. Maksudnya kita harus menentukan kebijakan publik macam apa
yang akan kita ubah.
2. kita juga harus menentukan prioritas
mengingat tidak semua kebijakan bisa diubah dalam waktu yang cepat. Karena itu,
kita harus menentukan prioritas mana dari masalah dan kebijakan yang akan
diubah.
3. Realistis. Artinya bahwa kita tidak mungkin
dapat mengubah seluruh kebijakan publik. Oleh karena itu kita harus menentukan
pada sisi-sisi yang mana kebijakan itu harus dirubah. Misalnya pada bagian
pelaksanaan kebijakan,pengawasan kebijakan atau yang lainnya.
4.
Batas waktu yang jelas. Alokasi waktu yang jelas akan menuntun kita dalam
melakukan tahap-tahap kegiatan advokasi, kapan dimulai dan kapan akan selesai.
5.
Dukungan logistik. Dukungan sumber daya manusia dan dana sangat dibutuhkan
dalam melakukan kegiatan advokasi.
6. Analisa ancaman dan peluang.
B.
Jenis-Jenis Advokasi
Hukum
1.
Advokasi Litigasi
Litigasi dapat diartikan sebagai
keseluruhan proses yang mengalihkan suatu kasus atau permasalahan ke
pengadilan. Hasil akhir suatu sengketa di pengadilan, tidak ditentukan oleh
para pihak yang berposisi sebagai penggugat dan tergugat, tetapi diputuskan
oleh hakim melalui penerapan hukum serta menentukan sedapat mungkin bentuk
penghukuman, seperti penjatuhan perintah pembayaran ganti rugi dan kewajiban
memulihkan keadaan seperti semula sebelum terjadi sengketa.
Berdasakan
konsepsi yang demikian ini, banyak orang masih menganggap bahwa advokasi
merupakan kerja-kerja pembelaan hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara
dan hanya merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan praktek beracara di
pengadilan. Pandangan ini kemudian melahirkan pengertian yang sempit terhadap
apa yang disebut sebagai advokasi. Seolah-olah, advokasi merupakan urusan
sekaligus monopoli dari organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum
semata. Pandangan semacam itu bukan selamanya keliru, tapi juga tidak
sepenuhnya benar. Mungkin pengertian advokasi menjadi sempit karena pengaruh
yang cukup kuat dari padanan kata advokasi itu dalam bahasa Belanda, yakni advocaat yang tak lain
memang berarti pengacara hukum atau pembela. Namun kalau kita mau mengacu pada
kata advocate dalam
pengertian bahasa Inggris, maka pengertian advokasi akan menjadi lebih luas.
Misalnya saja dalam kamus bahasa Inggris yang disusun oleh Prof. Wojowasito,
Alm., Guru Besar IKIP Malang (kini Universitas Negeri Malang) yang diterbitkan
sejak tahun 1980, kata advocate
dalam bahasa Inggris dapat bermakna macam-macam. Advocate bisa berarti
menganjurkan, memajukan (to
promote), menyokong atau memelopori. Dengan kata lain, advokasi
juga bisa diartikan melakukan ‘perubahan’ secara terorganisir dan
sistematis.
2.
Advokasi Non Litigasi
Di samping melalui Litigasi, juga dikenal Alternatif
penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan yang lazim disebut Non Litigasi.
Alternatif penyelesaian sengketa Non Litigasi adalah suatu pranata penyelesaian
sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian
secara litigasi di Pengadilan Negeri. Dewasa ini cara penyelesaian sengketa
melalui peradlan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun
teoritisi hokum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang
terlampau padat (overloaded), lamban
dan buang waktu (waste of time), biaya
mahal (very expensif) dan kurng
tanggap (unresponsive) terhadap
kepentingan umum, atau dianggap terlalu formalistis (formalistic) dan terlampau teknis (technically).
Dalam pasal (1) angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999, disebutkan bahwa masyarakat dimungkinkan memakai alternatif lain dalam
melakukan penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan
cara konsultsi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
a.
Konsultasi
Dalam Black’s Law Dictionary dijelaskan bahwa
konsultasi merupakan tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak
tertentu yang disebut dengan klien, dengan pihak lain yang merupakan konsultan,
yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan
kebutuhan klien tersebut. Konsultan hanyalah memberikan pendapat hukum,
sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai
penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak meskipun
ada kalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan
bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang
bersengketa tersebut.
b. Negosiasi dan
Perdamaian
Menurut Pasal
6 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian
Sengketa, pada dasarya para pihakberhak untuk menyelsaikan sendiri sengket yang
timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya
dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui para pihak. Negosiasi mirip
dengan perdamaian yang diatur dalam pasal 1851 s/d 1864 KUH Perdata, di mana
perdamaian itu adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara
yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan mana
harus dibuat secara tertulis dengan ancaman tidak sah. Namun ada beberapa hal
yang membedakan, yaitu:
Pada negosiasi diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari,
dan Penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan
langsung oleh dan diantara para pihak yang bersengketa. pertemuan langsung oleh
dan diantara para pihak yang bersengketa.
Perbedaan lain adalah bahwa negosiasi merupakan salah
satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar
pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan
pengadilan dilakukan maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan, baik di
dalam maupun di luar pengadilan.
c. Mediasi
Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) Undang Undang Nomor 39 tahun
1999, atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan
melalui bantuan “seorang atu lebih penasehat ahli” maupun melalui seorang
mediator. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis
adalah pinal dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik.
Kesepakatan tertulis wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib
dilakasanakan dalam waktu lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
Mediator
dapat dibedakan:
- mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak
- mediator yang ditujuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak.
d. Konsiliasi dan perdamaian
Seperti pranata alternatif penyelesaian sengketa yang telah diuraikan di atas,
konsiliasipun tidak dirumuskan secara jelas dalam Undang
Undang nomor 30 tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai
perdamaian di luar pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakan proses legitasi,
melainkan juga dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berjalan, baik di
dalam maupun di luar pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau
sengketa dimana telah diperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.8)
e. Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase
Pasal 52 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 menyatakan bahwa para pihak dalam
suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari Lembaga
Arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Ketentuan ini
pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari pengertian tentang Lembaga Arbitrase
yang di berikan dalam Pasal 1 angka 8 Undang Undang nomor 30 tahun 1999:
“Lembaga
Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk
memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat
memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam
hal belum timbul sengketa.”
Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding)
oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada
lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang
berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran
terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak
dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.
f. Arbitrase
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa
sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase
diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg),
karena semula Arbitrase ini diatur dalam Pasal 615 s/d 651 Reglement of de Rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut
sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang nomor 30
tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok
Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal
3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar
pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui artibrase tetap dipebolehkan,
akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah
memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.
Menurut pasal 1
angka 1 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar Pengadilan Umum yang didasarkan pada Perjanjian
Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada
dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk,
yaitu:
1. Klausula arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjain tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa (Factum de compromitendo)
atau
2.
Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para
pihak setelah timbul sengketa (Akta
Kompromis).
Objek
perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan
melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa
lainnya) menurut pasal 5 ayat 1 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 hanyalah
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan
dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri
dan hak milik intelektual. Sementara itu ayat 5 (2) nya memberikan perumusan
negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui
arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat
diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan
belas Pasal 1851 s/d 1854.
Dalam
penjelasan umum Undang Undang nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa
keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata
peradilan. Keunggulan
itu adalah:
1. dijamin kerahasiaan
sengketa para pihak
2.
dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal
prosedural dan administratif
3.
para pihak dapat memilih arbiter yang menurut pengalaman
serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan
adil
4.
para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk
menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5.
putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para
pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung
dapat dilaksanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar