Sejatinya manakala diinventarisir
aneka regulasi yang mengatur PTK-PNF, maka dijumpai sejumlah regulasi yang
dapat dikatagorikan sebagai dasar hukum
bagi pelaksanaan program Perlindungan PTK-PNF, mulai dari tingkat hukum yang
paling tinggi dan fundamental yakni konstitusi, hingga beberapa peraturan
derivasinya yang berbentuk undang-undang
hingga peraturan menteri. Bahkan dalam konteks referensi perlindungan hukum ini,
putusan Mahkamah Kostitusi RI termasuk pula di dalamnya. Untuk lebih jelasnya
landasan yuridis perlindungan hukum bai PTK-PNF antara lain sebagai berikut:
1. UUD Republik Indonesia
Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional;
3.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga
kerjaan;
4. Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;
5. Undang-Undang Nomr 26
Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Juncto Keppres RI Nomr 50
Tahun 1993 Tentang Komnas HAM;
6.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau
penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi/merendahkan martabat manusia;
7.
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor:
006/PUU-II/2004 tentang Tidak
Mengikatnya Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat bagi Lembaga Bantuan
Hukum di Lingkungan Perguruan Tinggi;
8. Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 1992 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2000 Tentang
Tenaga Kependidikan;
9. Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan;
10. Peraturan
Presiden RI nomor 07 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2005-2009 khususnya program bidang ketenaga pendidikan yaitu
peningkatan kesejahteraan dan perlindungan hukum dan profesi bagi pendidik dan
tenaga kependidikan.
- Urgensi Advokasi
Secara umum tujuan advokasi adalah
untuk mewujudkan berbagai hak dan kebutuhan fundamental suatu kelompok
masyarakat yang oleh karena keterbatasannya untuk memperoleh akses di bidang
sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, mengalami hambatan secara struktural
akibat tidak adanya kebijakan publik yang bepihak kepada mereka.
Sebagaimana telah diungkapkan terdahulu, bahwa salah satu
persoalan krusial yang dihadapi oleh PTK-PNF adalah belum terakomodasinya
kebutuhan akan jaminan pengakuan terhadap status dan hak profesi PTK-PNF di
dalam suatu regulasi yang secara khusus mengatur hal tersebut. Padahal
kedudukan PTK-PNF esensinya sejajar dengan koleganya yang bergerak di
bidang pendidikan formal, yakni guru dan
dosen. Yang disebut terakhir ini justru telah diakui eksistensinya secara
yuridis oleh UU Guru dan Dosen. Ketiadaan regulasi berupa UU PTK-PNF inilah
sesungguhnya bentuk empiris dari absennya
pemihakan dari Negara casu quo pemerintah terhadap profesi PTK-PNF.
Pengabaian negara casu quo pemerintah
terhadap peneguhan posisi profesi
PTK-PNF di dalam konfigurasi sistim pendidikan nasional, jelas merupakan
sasaran dan tujuan dari kegiatan advokasi.
Dalam konteks yang demikian ini,
praktek advokasi sebagai sebuah gerakan yang terorganisir menjadi sangat urgen.
Oleh karena advokasi pada satu sisi
merupakan tindakan yang secara sengaja dimaksudkan untuk mempengaruhi kebijakan
publik, yakni mendorong terwujudnya
pembentukan kebijakan publik yang berdimensi keadilan dan kemaslahatan bagi
banyak orang, termasuk di dalamnya PTK-PNF. Sebaliknya advokasi juga bertujuan
menihilkan bentuk-bentuk kebijakan yang diskriminatif dan menimbulkan berbagai
keburukan di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu di lain sisi, advokasi
juga melakukan upaya tranformasi
aspirasi anggota ke wilayah publik secara demokratis serta penguatan internal
berupa usaha penyadaran serta pengorganisasian anggota PTK-PNF di dalam
memperkuat posisi tawarnya di hadapan pihak-pihak lain yang berkepentingan
dengan PTK-PNF.
6.
Urgensi Advokasi Hukum
Bahwa
tak dapat dipungkiri, di dalam realitas keseharian aktulisasi profesi PTK-PNF
di dalam berinteraksi dengan pihak lainnya, semisal peserta didik, pengelola
lembaga pendidikan, maupun dengan pihak masyarakat, bahkan dengan pihak aparat
hukum acap kali menemui sejumlah persoalan yang berdimensi hukum.
Persoalan-persoalan berdimensi hukum itu antara lain berupa perbuatan melawan
hukum, bisa juga perbuatan wanprestasi, bahkan juga perbuatan pidana berupa
tindakan tidak menyenangkan hingga bentuk ancaman riil yang dilakukan oleh
pihak lain terhadap anggota PTK-PNF.
Upaya penyelesaian persoalan hukum
yang demikian ini, tentu saja tidak mungkin mengharapkan individu maupun
komunitas PTK-PNF untuk menyelesaikannya secara mandiri tanpa bantuan hukum
dari institusi yang ahli di bidang itu. Sehubungan dengan realitas yang
demikian ini, maka advokasi hukum yang sejauh ini dipahami sebagai sebuah
kegiatan atau kerja-kerja pembelaan hukum, baik litigasi maupun non litigasi
yang dilakukan oleh kaum professional hukum dan
juga lembaga bantuan hukum tak pelak lagi menjadi urgen. Lebih jauh
adanya jaminan advokasi hukum yang ditujukan kepada profesi PTK-PNF secara
psikologis akan menciptakan ketenangan dan rasa aman di dalam menjalankan
profesinya di dalam proses transformasi pengetahuan dan ketrampilan tersebut.
7. Relevansi Perlindungan Hukum , Advokasi dan
Advokasi Hukum
Bahwa
perlindungan hukum berupa jaminan hak-hak tenaga PTK-PNF yang sudah tertuang
dipelbagai peraturan perundang-undangan, tentu saja tidak serta merta dapat
terimplementasikan dengan sendirinya. Namun sesungguhnya masih diperlukan
beragam kegiatan dan desakan dari berbagai pihak terhadap aparatur hukum agar
dengan secara sukarela maupun dengan terpaksa dapat mengimplementasikan
peraturan-peraturan tersebut. Di samping itu faktor pengetahuan dan pemahaman
terhadap beragam peraturan perundang-undangan oleh PTK-PNF menjadi sangat
relevan dan urgen. Jelasnya faktor kesadaran dan pemahaman terhadap sejumlah
hak-hak dan kewajiban yang dimiliki PTK-PNF yang tercantum di dalam berbagai
regulasi tersebut dapat menjadi faktor determinan bagi penerapan regulasi
tersebut. Di sinilah letak relevansi advokasi dengan aspek perlindungan hukum,
yakni advokasi menjadi suatu mekanisme penyadaran terhadap anggota PTK-PNF akan
perlindungan hukum yang tersebar di berbagai peraturan peundang-undangan.
Sementara itu berkaitan dengan
sejumlah kebutuhan hukum yang secara obyektif diharapkan kelahirannya oleh
tenaga PTK-PNF, maka melalui kegiatan advokasi harapan tersebut dapat
terpositifkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, di kemudian
hari. Oleh karena salah satu esensi dari
advokasi adalah menyuarakan aspirasi anggota PTK-PNF agar menjadi perhatian
pembuat kebijakan publik.
Selanjutnya berkaitan dengan
adanya kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum terhadap jaminan hak-hak dan
kewajiban PTK-PNF (perlindungan hukum PTK-PNF) yang dilakukan oleh pihak-pihak di luar PTK-PNF
dapat diupayakan penyelesaiannya melalui mekanisme advokasi hukum yang
diselenggarakan oleh profesi hukum maupun lembaga bantuan hukum yang sengaja
dibentuk untuk memberi advokasi hukum kepada PTK-PNF.
8.
Peran
LBH Perguruan Tinggi Dan Non Perguruan Tingi Dalam Pelaksanaan Advokasi Hukum
Bagi PTK-PNF
Peran
strategis LBH Perguruan Tinggi Dan Non Perguruan Tinggi didalam mengupayakan
dan memperkuat terbukanya akses untuk memperoleh keadilan (acces to justice) tidak saja bergerak di wilayah bantuan hukum
yang bercorak tradisional dan individual, namun juga telah merambah wilyah
konstitusional dan struktural. Sejarah hukum di Indonesia setidaknya ikut
menjadi saksi tentang upaya BKBH Universitas Muhammadiyah Malang melakukan uji
materiil (judicial review) di
Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang
Advokat yang berisi ketentuan elitisme acces
to justice dan terpasungnya kiprah peran BKBH berbasis kampus. Bahwa Pasal
tersebut telah menciptakan eksklusifisme advokasi hukum baik di dalam dan di
luar pengadilan, yakni advokasi hukm hanya dapat dijalankan oleh kelompok
profesi advokat saja. Padahal di dalam ketentuan hukum acara yang saat ini
masih diberlakukan kepada warga Negara Indonesia, sesungguhnya tidak ada
satu pun pasal yang mewajibkan beracara di pengadilan harus di dampingi oleh
advokat. Begitu pula seterusnya, bahwa tidak satupun regulasi acara di pengadilan
yang melarang individu atau pun kelompok masyarakat yang tidak berprofesi
advokat untuk menjadi pendamping atau pembela di muka pengadilan.
Namun akhirnya Putusan Mahkamah Konstitusi menganulir ketentuan pasal 31
Undang-Undang Advokat karena secara konstitusional bertentangan dengan prinsip
Negara hukum dan prinsip justice for all.
Di samping itu Pasal 31 UU Advokat
tersebut, dianggap tidak sesuai dengan realitas obyektif penduduk Negara
Indonesia yang masih membutuhkan layanan hukum yang murah dan terjangkau.
Sementara itu rasio advokat dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia masih
sangat timpang. Menurut catatan Mahkamah Agung RI, saat ini jumlah advokat yang
terdaftar berjumlah sekitar 29.000 orang sedangkan jumlah penduduk Indonesia
saat ini diperkirakan bejumlah 230 juta jiwa.
Putusan Mahkamah Konstitsi tersebut tak pelak telah menggairahkan kembali aktifitas LBH berbasis kampus maupun
lembaga advokasi hukum yang di luar kampus di seluruh tanah air di dalam
melakukan advokasi hukum bagi kepentingan masyarakat yang kurang beruntung di
dalam memperoleh akses pelayanan hukum yang murah dan terjangkau.
Dalam
kaitannya dengan keberadaan PTK-PNF, peran LKBH menjadi sangat signifikan
terutama di dalam memberikan layanan advokasi hukum kepada anggota PTK-PNF yang
secara riil dan obyektif menghadapi problema hukum, baik di dalam maupun di
luar pengadilan. LKBH tidak saja berperan sebagai institusi yang melakukan
penanganan kuratif terhadap permasalahan hukum yang tengah dihadapai anggota
PTK-PNF. Selain itu LKBH juga dapat difungsikan sebagai instrument preventif
bagi munculnya berbagai persoalan hukum yang mungkin dihadapi PTK-PNF melalui
kegiatan sosialisasi atau penyuluhan hukum. Peran yang disebut terakhir ini,
tidak saja membantu meringankan tugas-tugas organisasi profesi PTK-PNF di dalam
melakukan konsolidasi organisasi, namun lebih daripada itu secara psikologis
keberadaan LKBH dapat memberikan keuntungan psikologis bagi PTK-PNF untuk lebih
tenang dan nyaman, serta aman di dalam menjalankan profesinya.
Adapun jenis
dan bentuk peran advokasi hukum yang dapat diharapkan LBH perguruan tinggi
maupun non Perguruan Tinggi kepada PTK-PNF, diantaranya, yaitu:
1. Perlindungan
Fisik
Semua PTK-PNF harus dilindungi secara fisik dari
segala anomali yang mungkin atau berpotensi menimpanya. Perlindungan
hukum teerhadap aspek fisik dimaksud meliputi perlindungan yang muncul akibat
tindakan dari warga belajar, orang tua
warga belajar, masyarakat, birokrasi atau pihak lain, berupa:
a.
tindak kekerasan,
b.
ancaman,
c.
perlakuan diskriminatif,
d.
intimidasi, dan
e.
perlakuan tidak adil
2. Perlindungan profesi
Perlindungan profesi mencakup
perlindungan terhadap PHK yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam penyampaian
pandangan, pelecehan terhadap profesi dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat
menghambat PTK-PNF dalam melaksanakan tugas
a.
Setiap PTK-PNF yang bekerja
pada satuan PNF seharusnya didasari perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
bersama.
b.
Setiap PTK-PNF tidak boleh
diberi sanksi pemutusan hubungan kerja tanpa mengikuti prosedur sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan atau perjanjian kerja atau
kesepakatan kerja bersama.
c.
Penyelenggara atau kepala
satuan PNF wajib melindungi PTK-PNF dari praktik pembayaran imbalan yang tidak
wajar.
d.
Setiap PTK-PNF memiliki
kebebasan akademik untuk menyampaikan pandangan.
e. Setiap PTK-PNF memiliki kebebasan untuk:
Ø
mengungkapkan ekspresi,
Ø
mengembangkan kreatifitas, dan
Ø
melakukan inovasi baru yang
memiliki nilai tambah tinggi dalam proses pendidikan dan pembelajaran PNF.
f.
Setiap PTK-PNF harus terbebas
dari tindakan pelecehan atas profesinya dari warga belajar, orang tua warga
belajar, masyarakat, birokrasi, atau
pihak lain.
g.
Kebebasan dalam memberikan
penilaian kepada warga belajar, meliputi:
Ø penetapan substansi,
Ø penetapan prosedur,
Ø penetapan instrumen penilaian, dan
Ø keputusan akhir dalam penilaian.
h.
Ikut menentukan kelulusan
warga belajar, meliputi:
Ø
penetapan taraf penguasaan
kompetensi,
Ø
standar kelulusan mata
pelajaran atau mata pelatihan, dan
Ø
menentukan kelulusan ujian
keterampilan atau kecakapan khusus.
i.
Kebebasan untuk berserikat
dalam organisasi atau asosiasi profesi, meliputi:
Ø
mengeluarkan pendapat secara
lisan atau tulisan atas dasar keyakinan akademik,
Ø
memilih dan dipilih sebagai
pengurus organisasi atau asosiasi profesi PTK-PNF, dan
Ø
bersikap kritis terhadap
kinerja organisasi profesi.
j.
Kesempatan untuk berperan
dalam penentuan kebijakan PNF, meliputi:
Ø akses terhadap sumber informasi kebijakan,
Ø partisipasi dalam pengambilan kebijakan pendidikan pada
tingkat satuan PNF, dan
Ø memberikan masukan dalam penentuan kebijakan pada tingkat
yang lebih tinggi atas dasar pengalaman terpetik dari lapangan.
3.
Perlindungan Kesehatan dan Keselamatan
Kerja
Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja mencakup
perlindungan terhadap resiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja,
kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau
resiko lain. Beberapa hal krusial
yang terkait dengan perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja, termasuk rasa aman bagi PTK-PNF dalam
bertugas, yaitu:
a.
Hak memperoleh rasa aman dan
jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas harus mampu diwujudkan oleh
pengelola satuan PNF, pemerintah dan pemerintah daerah.
b.
Rasa aman dalam melaksanakan
tugas, meliputi jaminan dari ancaman psikis dan fisik dari warga belajar, orang
tua/wali warga belajar, atasan langsung, teman sejawat, dan masyarakat luas.
c.
Keselamatan dalam melaksanakan
tugas, meliputi perlindungan terhadap:
Ø resiko gangguan keamanan kerja,
Ø resiko kecelakaan kerja,
Ø resiko kebakaran pada waktu kerja,
Ø resiko bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau
Ø resiko lain sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan.
d.
Terbebas dari tindakan resiko
gangguan keamanan kerja dari warga belajar, orang tua warga belajar,
masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
e.
Pemberian asuransi dan/atau
jaminan pemulihan kesehatan yang ditimbulkan akibat:
Ø kecelakaan kerja,
Ø kebakaran pada waktu kerja,
Ø bencana alam,
Ø kesehatan lingkungan kerja, dan/atau
Ø resiko lain.
f.
Terbebas dari multiancaman,
termasuk ancaman terhadap kesehatan kerja, akibat:
Ø bahaya yang potensial,
Ø kecelakaan akibat bahan kerja,
Ø keluhan-keluhan sebagai dampak ancaman bahaya,
Ø frekuensi penyakit yang muncul akibat kerja,
Ø resiko atas alat kerja yang dipakai, dan
Ø resiko yang muncul akibat lingkungan atau kondisi tempat
kerja.
4. Perlindungan
Hak Atas Kekayaan Intelektual
Pengakuan HaKI di Indonesia telah dilegitimasi oleh peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Merk, Undang-Undang Paten, dan Undang-Undang Hak Cipta. HaKI terdiri dari dua kategori yaitu:
Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri. Hak Kekayaan Industri meliputi Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman. Bagi PTK-PNF, perlindungan HaKI dapat mencakup:
a. hak
cipta atas penulisan buku,
b. hak
cipta atas makalah,
c. hak
cipta atas karangan ilmiah,
d.
hak cipta atas hasil
penelitian,
e.
hak cipta atas hasil
penciptaan,
f.
hak cipta atas hasil karya
seni maupun penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta
sejenisnya, dan;
g.
hak paten atas hasil karya
teknologi
Seringkali
karya-karya mereka ini terabaikan, menjadi seakan-akan makhluk tak bertuan,
atau paling tidak terdapat potensi untuk itu. Oleh karena itu, dimasa depan
pemahaman PTK-PNF terhadap HaKI ini harus dipertajam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar