Peluang Usaha

clicksor

sitti

Anda Pengunjung ke

Selasa, 19 Oktober 2010

PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN DALAM KASUS MALPRAKTEK

PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN DALAM KASUS MALPRAKTEK

September 24, 2009

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Umumnya orang beranggapan bahwa seseorang yang mempunyai profesi kedokteran atau yang berprofesi sebagai dokter, adalah menyenangkan, karena dengan status sebagai dokter ia akan terpandang di mata masyarakat dan juga status sosial ekonominya, sebab biasanya seorang dokter akan serba kecukupan sandang, pangan dan perumahan. Dengan kata lain, kebutuhan hidupnya pasti dapat terpenuhi dengan layak.

Juga ada anggapan bahwa profesi dokter merupakan profesi yang mulia, karena tugasnya menyelamatkan jiwa orang yang sedang menderita penyakit. Bagi kalangan awam timbul pula pendapat bahwa dokter itu tidak mungkin berbuat salah dalam menjalankan tugasnya, kendati ia bukan seorang nabi. Oleh karena itu mereka biasanya pasrah total pada dokter yang dipercayainya.

Kalau ditinjau lebih lanjut, dalam menjalankan fungsinya di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dokter mempunyai kedudukan yang unik. Ada beberapa ciri yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan etik (Mariyanti, 1988:1), yaitu :

  1. Rasa takut sering merupakan latar belakang utama kedatangan pasien kepada dokter. Betapapun adakalanya keluhan itu sendiri tidak riil, tetapi rasa takut itu benar-benar riil.

Untuk membebaskan diri dari bayangan yang menakutkan itu, seseorang akan bersedia mengorbankan apapun juga, kecuali jiwanya.

  1. Pasien sepenuhnya berserah diri kepada dokter. Bahkan dalam keinginannya bebas dari rasa sakit, ia bersedia “disakiti” oleh dokternya, misalnya melalui berbagai prosedur diagnostik ataupun dioperasi.
  2. Hubungan antara dokter dengan pasien bersifat sangat pribadi. Seluruh rahasia yang dimilikinya akan dibukakan kepada dokter, jika dikehendaki.
  3. Dokter bekerja dalam suasana yang serba tidak pasti (uncertainty). Selain sifat-sifat tubuh manusia yang sangat bervariasi, dokter tidak dapat membuat seperti halnya seorang montir yang boleh membongkar seluruh isi “obyek yang diperbaiki”, hanya untuk memastikan letak dan macam kelainan yang menimbulkan keluhan.
  4. Masyarakat menaruh harapan dan kepercayaan kepada dokter, tetapi sekaligus juga mencurigai atau bahkan cemburu terhadapnya.
  5. Tuntutan fungsi sosial terhadap profesi kedokteran sangat besar, bahkan mungkin terbesar di antara profesi-profesi lainnya. Ini merupakan beban mental yang berat bagi para dokter yang dalam hidup sehari-harinya justru diperlukan sebagai “obyek ekonomi”.
  6. Hubungan fungsional antara dokter dan masyarakat memberikan status yang unik, tetapi juga tinggi bagi dokter. Mereka yang bermental lemah akan mudah terbuai oleh status ini dan lupa diri.

Dari adanya kedudukan yang unik sifatnya itu, tentu saja memberikan beban yang baru bagi setiap orang yang memilih profesi kedokteran sebagai pilihan di dalam kehidupannya. Beban yang antara lain agar tetap dapat menjaga integritas, agar martabat profesinya tidak runtuh harus dipertahankan. Dengan demikian, apa yang menjadi harapan dan kepercayaan masyarakat kepadanya harus diimbangi dengan bukti-bukti dalam bentuk perbuatan yang nyata. Himbauan demikian inilah tidak lain sebenarnya merupakan manifestasi dari dalil-dalil yang dikemukakan oleh Hipocrates, yang lebih terkenal dianggap sebagai bapak profesi kedokteran modern. Beliau telah mengingatkan hal demikian ini dengan lewat dalil-dalilnya (Mariyanti, 1988:3), yang antara lain mengatakan :

Setelah memiliki semua persyaratan untuk menjadi dokter dan kemudian menguasai ilmu kedokteran, dalam berkelana di berbagai kota kita harus menjadi dokter yang dihormati bukan karena nama, tetapi karena benar-benar pantas untuk dihormati.

Demikian tepatnya dalil-dalil yang dikemukakan oleh Hipocrates ini untuk diterapkan oleh para dokter agar kepercayaan masyarakat dan integritas dalam profesi kedokteran itu sendiri tidak mudah luntur. Dan atas dasar dalil-dalil tersebut itulah antara lain Kode Etik Kedokteran Modern dikembangkan dan bertahan sampai sekarang ini.

Penilaian-penilaian yang serba positif terhadap profesi kedokteran pada kenyataannya sekarang ini sudah mulai mengalami pergeseran. Pada era sebelum tahun 90-an kita nyaris tidak pernah mendengar adanya kasus malpraktek yang digugat atau dibawa pengadilan oleh korban dalam hal ini pasien, sementara di era awal abad ke-21 ini hal tersebut sudah tidak berlaku lagi yang ditandai dengan maraknya kasus malpraktek antara dokter dengan pasien yang digugat atau diklaim dan menuntut penyelesaian baik secara pidana maupun perdata. Namun dalam tulisan ini penulis hanya memfokuskan dan membahas tentang tuntutan secara perdata, berupa ganti rugi antara dokter dengan pasien dalam kasus malpraktek sesuai dengan tujuan dari penelitian ini.

Sebagai manusia biasa, yang mempunyai kelebihan dan kekurangan, seorang dokter pun niscaya tidak akan luput dari kesalahan, baik itu yang dilakukannya dalam kehidupan sosialnya sebagai anggota masyarakat, maupun kesalahannya yang dilakukan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari sebagai insan yang berbudi.

Kenyataan menunjukkan bahwa kini hampir secara berkala bisa dibaca dalam media massa maupun dilihat di media elektronik adanya berbagai berita tentang malpraktek, yang sekaligus merupakan suatu kritik pedas terhadap pelayanan medis. Misalnya kasus Ny. Agian Isna Nauli istri dari Hasan Kesuma yang mengalami kerusakan otak dan kelumpuhan total setelah menjalani operasi caesar yang katanya disebabkan oleh hipertensi kehamilan yang mana alasan ini dianggap sangat berlebihan oleh Hasan Kesuma suami korban (Bintang, 703, Oktober 2004). Kasus yang paling mutakhir; dugaan malpraktek terhadap artis Sukma Ayu yang berakibat fatal sehingga akhirnya meninggal dunia setelah mendapat pelayananan medik oleh dokter padahal pada waktu pertama kali dimasukkan ke rumah sakit kondisi Sukma Ayu dalam keadaan sehat dan hanya ada luka tujuh centimeter di lengan (Millenea, 257, Oktober 2004) dan masih banyak lagi kasus-kasus malpraktek lainnya. Banyaknya bermunculan kasus-kasus malpraktek membuat dokter digugat oleh pasien (ahli warisnya), tidak hanya sampai pengadilan, tetapi kasus-kasus demikian malahan ada yang sampai ke DPR.

Timbul persoalan, apakah kasus-kasus yang banyak diberitakan di media massa maupun elektronik tersebut dapat dikategorikan sebagai malpraktek. Kalau jawabannya dapat dikategorikan sebagai malpraktek, apakah serangkaian pihak penegak hukum di negara kita ini telah siap menyelesaikan masalah ini secara tuntas? Karena selama ini pengalaman menunjukkan bahwa kasus malpraktek ini sering dijumpai kandas di tengah jalan, macet di pengadilan atau mungkin disalahtafsirkan di sidang pemeriksaan serta belum membuahkan hasil yang diharapkan, dalam hal ini penyelesaian yang adil berdasarkan hukum yang berlaku dan bahkan yang lebih parah lagi masyarakat enggan membawa kasusnya kepada aparat penegak hukum dengan dalih tidak percaya dengan sistem peradilan Indonesia bahkan menganggapnya sebagai sebuah takdir.

Menurut Hotma Paris Hutapea dari LBH korban malpraktek kedokteran dalam suatu wawancara di media elektronik (SCTV, Hot Shot, 27 Oktober 2004) menyatakan bahwa hanya nol koma nol satu persen dari kasus dugaan malpraktek yang dapat diajukan ke pengadilan. Selanjutnya menurut Marius Widjajarta, ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) mengatakan bahwa dari sebagian besar kasus dugaan malpraktek diselesaikan di luar jalur hukum atau diselesaikan secara musyawarah (Kompas, 28 Agustus 2004). Hal ini berarti di samping pasien korban malpraktek tidak memperoleh ganti kerugian yang layak, juga oknum dokter masih dibiarkan menjalankan prakteknya dengan leluasa sehingga tidak menutup kemungkinan, akan kembali mengulangi perbuatannya dan menimbulkan lebih banyak korban berjatuhan.

Berdasarkan fenomena tersebut di atas, maka menarik penulis untuk membahas lebih lanjut dalam bentuk skripsi atau suatu penulisan karya ilmiah hukum dengan judul “Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan antara Dokter dengan Pasien dalam Kasus Malpraktek”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka penulis mengangkat rumusan masalah dalam penulisan ini adalah :

  1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan sehingga kasus malpraktek antara dokter dengan pasien diselesaikan di luar pengadilan ?
  2. Bagaimana metode penyelesaian kasus malpraktek antara dokter dengan pasien yang diselesaikan di luar pengadilan ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui sebab kasus malpraktek antara dokter dengan pasien diselesaikan di luar pengadilan dan faktor-faktor penyebabnya
  2. Untuk mengetahui metode penyelesaian kasus malpraktek antara dokter dengan pasien yang diselesaikan di luar pengadilan

Adapun manfaat yang diharapkan dari adanya penelitian ini adalah sebagai berikut :

  1. Sebagai bahan masukan kepada pihak yang terkait terutama pihak dokter dan pasien sehingga malpraktek dapat terhindari.
  2. Sebagai referensi tambahan bagi praktisi dan akademisi baik di bidang hukum maupun kedokteran dan juga bagi pihak-pihak lain yang ingin menambah wawasan atau meneliti tentang malpraktek antara dokter dengan pasien.

http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/24/penyelesaian-sengketa-di-luar-pengadilan-antara-dokter-dengan-pasien-dalam-kasus-malpraktek/

ITLOS Bisa Menjadi Altenatif Penyelesaian Sengketa Wilayah Laut
[9/3/05]

Selain waktu penyelesaian sengketa bisa lebih cepat, hakim-hakim yang ada di lembaga tersebut dinilai lebih mumpuni.

Batas antar negara yang dipisahkan oleh perairan berpotensi menimbulkan sengketa kelautan. Walaupun Konvensi Hukum Laut Internasional telah ditandatangani oleh 147 negara dan 1 organisasi, yaitu Komunitas Eropa, namun perselisihan batas negara yang mengarah pada sengketa hukum laut masih saja bisa terjadi. Seperti yang dialami Indonesia-Malaysia, yang tengah bersitegang mengenai blok Ambalat di perairan Sulawesi. Indonesia dan Malaysia adalah penandatangan konvensi tersebut.

Upaya penyelesaian konflik hukum laut umumnya berujung di meja perundingan. Dosen hukum internasional dari Universitas Indonesia, Sidik Suraputra mengemukakan, sengketa yang berhubungan dengan batas wilayah diselesaikan terlebih dahulu lewat jalur diplomasi.

”Perkara ini (batas wilayah-red) sangatlah sensitif,” ujar Sidik kepada hukumonline (8/3). Ia menyarankan agar perselisihan dua negara serumpun ini diselesaikan secara damai. Selain upaya bilateral, menurutnya dapat pula dilakukan dengan menempuh jalur arbitrase.

Pada kenyataannya, tidak sedikit sengketa batas laut yang diselesaikan melalui jalur litigasi. Seperti halnya perseteruan beberapa tahun lalu antara Indonesia-Malaysia mengenai pulau Sipadan Ligitan. Keduanya kemudian sepakat untuk menyelesaikan sengketa tersebut ke International Court of Justice (ICJ).

Mengenai sengketa Sipadan Ligitan ini, Direktur Perjanjian Politik, Keamanan dan Teritorial Departemen Luar Negeri, Ariv Havas Oegroseno, menuturkan pemilihan forum ICJ untuk menyelesaikan sengketa Sipadan Ligitan lebih ke arah politis.

Dalam pembicaraanya dengan hukumonline (8/3), Havas menyebutkan keputusan memilih forum ICJ datang dari mantan Presiden Suharto pada waktu itu. “Deplu dalam urusan tersebut tidak mengetahui atau berwenang memutuskan dimana sengketa itu harus diselesaikan,” jelas Havaz.

Selain ICJ, sebenarnya terdapat pengadilan internasional yang lebih khusus untuk menangani sengketa hukum laut. Pengadilan khusus tersebut adalah International Tribunal Law of The Sea (ITLOS) yang berkedudukan di Hamburg, Jerman.

Berbicara tentang ITLOS, pakar hukum laut dari Universitas Padjadjaran Etty Agoes mengatakan perkembangan dari pengadilan ini cukup bagus. Untuk beberapa hal, Etty menilai ITLOS memiliki kelebihan dibanding ICJ.

Ia mencontohkan sengketa Sipadan Ligitan yang penyelesaiannya di ICJ memakan waktu lama. Pada waktu itu, Indonesia harus menunggu giliran kasus lain di ICJ selesai diperiksa. Sedangkan di ITLOS, karena khusus menangani sengketa yang berhubungan dengan kelautan, maka otomatis penyelesaiannya akan lebih cepat.

Havaz juga mengakui, ITLOS memang merupakan badan penyelesaian sengketa yang seyogianya dipertimbangkan penyelesaian sengketa hukum laut. Hanya saja ia kembali mengingatkan, pemilihan forum penyelesaian sengketa batas wilayah juga dipengaruhi nuansa politis.

Zona Ekonomi Eksklusif

Disebutkan dalam situs www.itlos.org, ITLOS memiliki 21 hakim yang berasal dari berbagai negara. Jatah 21 hakim di ITLOS dibagi berdasarkan keterwakilan georafis. Dimana komposisinya adalah 5 berasal dari Asia, 5 dari Afrika, 3 dari Eropa Barat, 4 dari Amerika Latin dan Karibia serta 4 dari Eropa Timur dan negara lainnya. Sayangnya, sampai hari ini belum ada hakim yang berasal dari Indonesia untuk duduk di ITLOS.

Belum genap satu dekade berdiri, ITLOS sendiri sudah menerima 13 kasus sengketa hukum laut internasional. Malaysia pun pernah menyelesaikan sengketanya dengan Singapura soal land reclamation pada 2003.

Sampai saat ini, sengketa masuk ke ITLOS, lebih banyak mengenai masalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Namun, tidak semua kasus hanya menyangkut soal ZEE saja. Misalnya ada kasus tentang eksploitasi ikan todak (swordfish) di Lautan Pasifik dimana kasus ini diajukan oleh Komunitas Eropa melawan Chili.

Sejumlah negara seperti Perancis, Inggris, Yaman, Jepang, Panama, New Zealand dan Australia memilih ITLOS untuk menyelesaikan sengketa kelautan mereka.

Melihat dari ragam kasus yang diselesaikan oleh ITLOS, maka menurut Etty, ITLOS bisa menjadi tempat penyelesaian sengketa pilihan untuk kasus Indonesia Malaysia dalam perebutan blok Ambalat. Termasuk apabila di dalam sengketa tersebut lebih banyak muatannya tentang landas kontinen.

http://hukumonline.com/detail.asp?id=12398&cl=Berita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar