“ THOMAS AQUINAS ”
Makalah
ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Filsafat Hukum
Downlo | |
Disusun
Oleh :
Muhammad Fattakhy Ulinnuha 8111409104
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI
SEMARANG
2012
Download disini : http://www.ziddu.com/download/20048135/MakalahThomasAquinas.docx.html
Bab I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Hukum alam adalah hukum yang
digambarkan berlaku abadi sebagai hukum yang norma-normanya berasal dari Tuhan
Yang Maha Adil, dari alam semesta dan dari akal budi manusia, sebagai hukum
yang kekal dan abadi sebegitu jauh tidak terikat oleh waktu dan tempat, sebagai
hukum yang sanggup menyalurkan kebenaran dan keadilan dalam tingkatan yang
semutlak-mutlaknya kepada segenap umat manusia. Oleh karena itu hukum alam
memiliki sifat yang lebih sempurna dan mempunyai derajat yang lebih tinggi
daripada jus constitutum ataupun jus constituendum.
Keadilan menunjuk pada
pertimbangan nilai yang sangat subyektif. Keadilan adalah persoalan kita semua,
dan dalam suatu masyarakat setiap anggota berkewajiban untuk melaksanakan
keadilan itu. Dalam hal ini orang tidak boleh bersikap netral apabila terjadi
sesuatu yang tidak adil.
Buku Sir Ernest Barker yang
terakhir, Tradition of Civillity,
memberikan gambaran bahwa “ Asal mula dari gagasan hukum alam mungkin bersumber
pada suatu gerakan pikiran manusia yang lama dan tak dapat diabaikan yang
mendorongnya ke arah suatu pengertian keadilan yang abadi dan tak berubah-ubah,
suatu keadilan yang dinyatakan atau seharusnya dinyatakan oleh kekuasaan
manusia, tetapi yang tidak dilakukannya, suatu keadilan yang mungkin tidak
dapat dinyatakan oleh kekuasaan manusia, dan harus mendapat hukuman karena
gagal menyatakannya karena kekuasaannya untuk memberikan perintah itu menjadi
kecil, bahkan hilang. ”
Keadilan ini dipahami sebagai
hukum yang lebih tinggi atau terakhir yang berkembang dari sifat alam semesta,
dari Tuhan dan akal manusia. Oleh sebab itu, hukum dalam arti hukum pada taraf
terakhir bagaimanapun lebih tinggi daripada pembentukan hukum. Ini berarti
bahwa pembentuk undang-undang pada hakikatnya berada di bawah dan tunduk kepada
hukum.
Ada dua macam pengetahuan yang
ada di dunia ini, meskipun berbeda namun tidak saling bertentangan. Pertama,
pengetahuan alamiah yang berpangkal pada akal, sasarannya adalah hal-hal yang
bersifat insaniah. Aquinas membela hak-hak dan mempertahankan kebebasan akal
dalam bidangnya sendiri. Kedua, pengetahuan iman yang berpangkal pada wahyu dan
memiliki kebenaran Ilahi, ada di dalam Kitab Suci sebagai sasarannya. Wahyu
memberi kebenaran yang adikodrati, memberi misteri atau hal-hal yang bersifat
rahasia untuk diimani. Iman adalah suatu cara tertentu guna mencapai
pengetahuan.[1]
Hukum alam adalah hukum yang
berakar pada batin manusia atau masyarakat, dan hukum alam itu lepas dari
konvensi, perundang-undangan, atau lain-lain alat kelemabagaan.
Adapun masalah-masalah yang
dikembangkan oleh hukum alam itu sama tuanya dengan spekulasi-spekulasi yang
tertua tentang hukum. Sebabnya ialah karena hukum alam merupakan refleksi dari
pertentangan yang tercakup dalam bidang ilmu hukum sendiri, di mana terjadi
konfrontasi antara kaidah yang ideal dalam penyelewengan dalam kenytaan a priorisme dan empiris, autonomi dan
heteronomi, kemantapan susunan yang ada dengan kebutuhan sosial dan organisasi
yang statis dengan kelangsungan hidup yang statis.
Oleh karena itu hukum alam
dapat dipergunakan untuk menentukan pembenaran secara etis dari hukum
keseluruhan, sebagai unsur a priori
yang mendahului semua hukum, sebagai sumber ideal dari hukum dan kriterium
untuk menguji hukum positif yang dipencarkan oleh ideal ini, sebagai
kaidah-kaidah yang tetap dari hukum dibanding dengan yang berubah-ubah, sebagai
hukum otonom yang menyalurkan keabsahannya dari nilai-nilai yang ada dalam
dirinya sendiri sebagai hukum spontan yang dibedakan karena sifat-sifatnya yang
hidup dan organis dari hukum yang diundangkan sebelumnya oleh negara atau
alat-alatnya.[2]
B.
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini memiliki rumusan masalah sebagai
berikut :
a.
Biografi Tokoh
Thomas Aquinas
b.
Konsep-konsep dan
Inti Pemikiran Hukum dari Thomas Aquinas
Bab II
Pembahasan
A.
Biografi Tokoh Thomas Aquinas
Thomas Aquinas atau Thomas
Aquino (1225-1274) lahir di desa Aquino, sebuah desa di antara Roccasecca dan
Napoli, Italia, pada tanggal 25 November 1224. Ia dilahirkan oleh keluarga
bangsawan. Ibunya Countess Theadora of Theate memiliki hubungan famili dengan
Hohenstaufen, keturunan dinasti Holy Roman. Thomas Aquinas dilahirkan di
kastil ayahnya, Count Landulf dari Roccasecca, Kerajaan Napoli. Kedua orang
tuanya adalah orang Kristen Katolik yang saleh. Saudara Landulf, Sinibald,
adalah seorang pastor Benediktin di Monte Cassino. Keluarganya amat
berkeinginan agar Aquinas menjadi seorang pastor pula, sebuah karier yang amat
diidamkan oleh banyak kaum bangsawan pada masa itu.
Aquinas lalu dikirim oleh kedua
orang tuanya untuk menjalami pendidikan di sebuah sekolah di pertapaan para
rahib Benediktin dari Monte Cassino pada umur lima tahun. Pada tahun 1239 ia
mulai kuliah di Universitas Napoli setelah ia tinggal selama sembilan tahun di
biara tersebut. Di sana ia belajar kesenian dan filsafat.
Selama di sana, ia mulai
tertarik pada pekerjaan kerasulan gereja, dan karena bergaul akrab dengan para
biarawan Ordo Dominikan di Napoli, membuat ia masuk biara ini pada tahun 1244
dan berusaha untuk pindah ke Ordo Dominikan, suatu ordo yang sangat berperan
pada abad itu. Keinginannya itu langsung tidak direstui oleh orang tuanya
karena menentang sistem klerikal abad pertengahan dan mereka menghendaki agar
Thomas menjadi seorang rahib Benediktin di Monte Cassino sehingga ia harus
tinggal di Roccasecca setahun lebih lamanya. Tindakan ini bertujuan untuk
meredakan sikap “revolusionernya” itu. Malahan keluarganya itu pernah
memberikan seorang pelacur padanya, namun ia menampiknya. Akhirnya, tekadnya
tercapai pada tahun 1245, Thomas resmi menjadi anggota Ordo Dominikan itu.
Karena sikap keluarganya itu,
pemimpin umum Ordo Dominikan mengirim Thomas ke Koln untuk belajar langsung
pada Albertus Magnus, seorang cendikiawan Gereja Katolik. Ia tiba pada tahun
sekitar 1245. Dengan ditemani Albertus Magnus, Thomas berangkat ke Paris,
Perancis, pada tahun 1245, untuk belajar di Universitas Paris. Thomas tinggal
bersama Albertus Magnus selama 3 tahun. Dan pada tahun 1248, ia kembali pulang
ke Koln bersama Albertus Magnus. Di kota itu, ia tinggal selama beberapa tahun.
Kegiatannya mengajar. Interaksinya dengan Albertus Magnus telah menjadikannya
seorang cendikiawan terkenal.
Pada tahun 1252, ia kembali ke
Paris untuk menyelesaikan pendidikan magisternya. Karier studinya tidak mulus,
karena ada masalah dengan gurunya. Akhirnya, ia menyelesaikan juga studinya
pada tahun 1257. Semenjak tahun itu juga, ia sambil mengajar sambil menulis di
Paris untuk beberapa tahun lamanya. Atas perintah Paus Urbanus IV, sekitar
tahun 1261, ia mulai pindah bermukim di Roma. Namun antara tahun 1269 hingga
1271, ia kembali lagi ke Paris. Pada tahun 1272, pimpinan Ordo Benediktin di
Florence, memberdayakannya untuk mengajar studium
generale di kota Napoli.
Pada tanggal 6 Desember 1273,
pada saat menghadiri suatu misa, Thomas mengalami pengalaman mistis yang
kemudian mengubah sikapnya, berhenti berkarya dan membiarkan karya besarnya Summa Theologica, tidak diteruskan
hingga selesai.
Pada awal tahun 1274, Paus
memerintahkannya untuk menghadiri pertemuan Second
Council of Lyons. Ia sempat singgah di sebuah kastil milik keponakan
perempuannya. Di sana ia menderita penyakit berat. Ia lantas meminta
dipulangkan ke biara Dominikan, dan menghabiskan masa hidupnya di sana.
Sayangnya, keinginan itu tidak terwujud. Ia tutup usia pada tanggal 7 Maret
1274, di sebuah biara di Fossanova, sekitar 1 mil jaraknya dari Sonnino.[3]
Dirinya dapat disetarakan
dengan Santo Paulus dan Santo Agustinus, karena telah menerima gelar kehormatan
doctor angelicus dari Gereja Katolik.
Dia dikanonisasi menjadi santo oleh Paus John XXII di Avignon pada tanggal 18
Juli 1323.
B.
Konsep-konsep dan Inti Pemikiran Hukum dari Thomas
Aquinas
Doktor
Angelius Thomas, berasal dari Aquino, mempunyai pengaruh yang sukar dapat
dinilai dalam pemikiran mengenai hukum dalam Kebudayaan Barat. Jika orang
menghendaki untuk mengikhtisarkan pengaruhnya itu dalam satu kalimat pendek,
maka dapatlah dikatakan, bahwa Thomas telah mencoba mendamaikan Wahyu Illahi
dengan kebenaran yang timbul dari akal manusia, atau lebih pendek lagi; ia
mencoba membuat suatu sintese antara iman dan akal, anugerah dan alam.
Dengan “akal” (Latin : ratio,
Perancis : raison, Jerman : Vernunft) biasanya dalam filsafat dimaksud sesuatu
yang “lebih tinggi” daripada “pikiran”. Jika pikiran mengarah kepada
pengetahuan dan pandangan, maka akal membawa pikiran manusia pada jalan baru,
membuatnya mengadakan kombinasi dan dedukasi, sehingga ia sampai pada pembagian
baru.
“Akal” itu biasanya dilihat
sebagai “tanda hakiki” dari manusia, dengan mana ia membedakan diri dari binatang.
Kepercayaan dan akal
Setelah
pengkristenan maka para ahli pengetahuan yang percaya, dihadapkan pada suatu
persoalan yang sulit untuk menentukan tempat ilmu pengetahuan Kebudayaan Yunani
(Hellenistische) pada waktu dahulu terhadap agama Kristen. Sebab agama
mengajarkan kebenaran mutlak dari berbagai kejadian (seperti kebangkitan
kembali badan) yang tidak dapat dipahami oleh pikiran manusia.
Kini sudahlah pasti lebih dulu,
bahwa orang – dengan ancaman dapat dihukum mati karena ajaran palsu (bida’ah) –
tidaklah sekali-kali boleh mengajarkan, bahwa pikiran itu dengan cara
bagaimanapun mempunyai keistimewaan di atas kepercayaan; juga adalah tidak
dapat dianjurkan untuk memproklamasikan, bahwa kepercayaan dan akal itu adalah
dua bidang hidup yang dipisahkan sama sekali, sebab agama Kristen menuntutnya
bagi dirinya supremasi (kekuasaan tertinggi) dalam segala bidang hidup.
Pada mulanya urutan antara
kepercayaan dan akal bukanlah persoalan, sebab di jaman bapak-bapak gereja
seperti Augustinus, orang hidup dalam harapan akan lekasnya kedatangan Kristus
kembali. Umat manusia bersiap-siap untuk itu, dengan memusatkan perhatian
sepenuhnya pada hidup kerohanian. Kepercayaan pada waktu itu menguasai akal
manusia sepenuhnya.
Apabila sesuatu itu “menurut
pikiran” kelihatannya tidak cocok dengan kebenaran yang diungkapkan, maka
“pikiran itulah yang tidak cocok”, itu terletak pada kekurangan dari kemampuan
manusia, yang tidak dapat memahami kebenaran yang diungkapkan itu. Suatu
pertentangan antara kepercayaan dan akal adalah tidak mungkin, sebab akal itu
haruslah mengabdi pada kepercayaan.
Kedatangan kembali Tuhan dengan
cepat yang diharapkan itu tidaklah menjadi kenyataan dan agama Kristen melihat
dirinya terkungkung dalam suatu masyarakat yang telah dikristenkan, yang mengemukakan
syarat-syaratnya. Oarang tidak dapat melihat “negara” itu lebih lama sebagai
suatu kekuasaan yang tidak tetap yang dibentuk untuk menindas gereja, tetapi
harus melihatnya dalam suatu masyarakat yang telah dikristenkan, yang membela
kepercayaan Katolik dan bahkan menyebarluaskannya. Oleh sebab itu orang juga
harus meninjau kembali sikapnya terhadap hukum yang dikeluarkan oleh negara:
bukan lagi hukum (ketidakadilan) orang kafir, berdasarkan mana orang-orang
Kristen dikejar, tetapi ia justru merupakan suatu alat, yang memperkuat tempat
agama dan gereja dalam masyarakat. Maka perlulah pula orang menyelami kembali
hubungan antara kepercayaan dan akal. Bermunculanlah beberapa Universitas dan
di sana diajukan persoalan (quastiones) bukan hanya oleh para dosen melainkan
juga oleh para pendengar (quaestio quod-libetalis, masalah yang secara sukarela
diajukan oleh penonton) dan pada metode didaktis ini (di sini kita bicara
mengenai scholastiek abad
pertengahan) maka persoalan pokok itu tidaklah dapat didiamkan di bawah meja
(atau lebih tepat di bawah katheder).
Scholastiek berasal dari perkataan scholasticus, guru. Yang dimaksud ialah kepandaian
memberikan pengajaran (didactiek) di Universitas, yang berasal dari Aristoteles
yang berlaku di abad pertengahan, yang terdiri dari lectiones (kuliah
mendengar) dan disputationes (diskusi kelompok kerja) mengenai sesuatu questio
(masalah). Quaestiones (masalah-masalah) yang telah didiskusikan itu
kadang-kadang (antara lain oleh Thomas Aquino) dikumpulkan dalam suatu “klapper”
(daftar), suatu “summa”.
Konfrontasi itu turut pula
mendapat bantuan, dengan dibentuknya “beberapa fakultas” pada beberapa
Universitas: kecuali teologi, maka hukum dan pengobatan juga dikuliahkan. Studi
didahului dengan suatu studi persiapan propedeuse
(enam tahun), di mana pada calon mahasiswa itu itu mempelajari artes.
Di dalamnya filsafat menduduki
tempat yang penting.
Di Universitas Paris pada abad
ke-13 kerap kali timbul konflik (perselisihan) dengan penguasa gereja, sebab di
Universitas itu pada daftar literatur terdapat terutama karya-karya
Aristoteles. Ajarannya tidak terlalu bersifat Kristen antara lain karena
karya-karyanya itu terkenal hanyalah melalui sumber-sumber Arab. Sebaliknya,
Aristoteles dalam pendapatnya bersifat “khas” duniawi: ia tidak mengenal dan
tidak mengakui pencipta, ajarannya mempunyai nilai abadi, namun orangnya sebaliknya
justru tidak memiliki jiwa abadi, berbagai macam buah pikiran yang tidak dapat
disesuaikan dengan agama Kristen. Karenanya penguasa gereja telah mencoba
(tetapi hampir tidak ada hasilnya) melarang segala karyanya, kecuali Logica. Akibatnya malah sering
kebalikannya: orang-orang justru malah lebih memperdalam diri dalam ajaran
Aristoteles antara lain untuk menyelidiki apakah betul terdapat suatu jurang yang
besar antara ajarannya dengan agama Kristen. Terutama Thomas yang telah
meletakkan suatu sintesa (synthese) antara ajaran Aristoteles dengan agama
Kristen.
Thomas, yang antara lain
memberikan kuliah di Sorbonne Paris, Prancis, telah memberikan kepada ilmu
pengetahuan (akal) “sinar hijau”, sepanjang ia mau menundukkan diri di bawah
pengawasan dari kepercayaan. Jasanya ialah bahwa ia telah memberikan tempat
tersendiri kepada akal, berdasarkan sifatnya
sendiri, yang berbeda dari pada sifat kepercayaan itu.
Memang benar bahwa pada
pertentangan antara kepercayaan dan akal, orang teolog mempunyai kata terakhir
yang menentukan, tetapi karena sifat tersendirinya itu maka akal itu bagi
Thomas tidak takluk secara cermat kepada kepercayaan.
Akal dan kepercayaan – menurut
Thomas – termasuk dalam dua bidang yang berlainan. Kebenaran Ilahi sesungguhnya
berdasarkan atas wahyu (adalah
“benar” karena Tuhan menyatakannya) tetapi kebenaran ilmiah bersumber pada pengamatan. Sesuatu yang dilihat tidak
dapat (lebih lama) kita percayai, dan sebaliknya kita hanya dapat mempercayai
sesuatu yang tidak dapat kita awasi. Adalah tidak mungkin bahwa kejadian yang
satu dan yang sama oleh orang yang sama sekaligus dipercayai dan dilihat, denga
demikian adalag juga tidak mungkin bagi suatu kaejadian pada waktu yang sama
sekaligus menjadi obyek ilmu pengetahuan dan kepercayaan.
Hal ini mempunyai akibat yang
penting bagi ilmu pengetahuan. Titik tolaknya tidak perlu lagi dari kitab suci.
Seseorang ahli hukum boleh jadi
memulai dengan suatu metode tersendiri mengenai kejadian hukum. Ia tidak usah
harus senantiasa menanyakan dirinya “bagaimanakah seharusnya hukum itu menurut
wahyu Ilahi”, tetapi ia dapat bertanya pada dirinya sendiri: Apakah hukum itu?
Singkatnya “teologi hukum” yang
berlaku sampai pada waktu itu menjadi suatu ilmu pengetahuan yang bebas antara
lain juga karena Thomas.
Menurut Thomas sedemikian rupa,
bahwa apabila dari pengaturan alamiah kejadian itu dapat dialihkan menjadi
sesuatu peraturan yang adil (sesuai dengan hukum), juga Tuhan sendiri,
sekalipun dengan cara yang lain dari manusia, terkait padanya. Dalam hal ini
Pencipta itu dapat dibandingkan dengan seorang raja absolut, yang berdasar atas
kebaikannya telah memberikan kepada rakyatnya suatu undang-undang dasar. Dengan
memberikan undang-undang dasar itu maka ia mengikat dirinya sendiri.
Undang-undang dasar Ilahi ini – demikian bunyi ajaran Thomas itu – dapat kita
jumpai kembali dalam peraturan ciptaan.
Pencipta itu seolah-olah telah mencapkan stempelnya pada ciptaannya dan dari
pencapan itu manusia dapat menyimpulkan
hukum Ilahi itu. [4]
Pengaruh dari Gereja dan
kebijaksanaan dari para filsuf kuno ini membuat Thomas berusaha membentuk suatu
sistem skolastik, yang mengimbangi kebijaksanaan yang terkandung dalam wahyu
dengan kebijaksanaan yang berasal dari kegiatan manusia sendiri.
Percaya dan mengetahui memang
berlangsung dalam dua tingkat, tetapi terdapat pertemuan antara kedua kegiatan
itu juga. Dalam hal ini kebenaran wahyu menjadi pedoman bagi kebenaran yang
berasal dari akal budi. Tetapi pada prinsipnya, dan inilah yang penting, tetap
diakui kekuasaan akal budi untuk mengetahui kebenaran yang menentukan dalam
hidup : yaitu kebenaran tentang Allah, tentang manusia, tentang kelakuan
manusia yang tetap.
Dalam membahas arti hukum Thomas
mulai membedakan antara hukum yang berasal dari wahyu dan hukum yang dijangkau
oleh akal budi manusia sendiri. Hukum yang didapati dari wahyu disebut ‘hukum
ilahi positif’ (ius divinum positivum).
Hukum yang diketahui berdasarkan kegiatan akal budi ada beberapa macam. Pertama
terdapat ‘hukum alam’ (ius naturale),
kemudian juga ‘hukum bangsa-bangsa’ (ius
gentium), akhirnya ‘hukum positif manusiawi’. (ius positivum humanum).
Tentang hukum yang berasal dari
wahyu dapat dikatakan, bahwa hukum itu mendapat bentuknya dalam norma moral
agama. Sering kali norma itu sama isinya dengan norma pada umumnya berlaku
dalam hidup manusia. Hal itu dimungkinkan karena apa yang dapat kita ketahui
dari wahyu, dapat kita ketahui juga melalui akal budi yang berpikir sehat dan
tertib. Tentang hukum dari wahyu itu tidak perlu dibicarakan di sini.
Pengertian tentang hukum dalam negara oleh Thomas didasarkan seluruhnya pada
kebenaran yang didapati akal budi manusia. Maka berturut-turut kami akan
membahasnya selanjutnya hukum alam dan hukum bangsa-bangsa.
Untuk menjelaskan hukum alam
Thomas bertolak dari ide dasar filsafat Aristoteles. Seperti Aristoteles,
Thomas memandang semesta alam sebagai suatu kesatuan substansi dengan wujud
berbeda-beda. Terdapat benda mati, tumbuhan, binatang, dan manusia. Semua
substansi itu terdiri atas dua bagian, yakni materi dan bentuk. Itu berlaku
juga untuk manusia yang terdiri atas jiwa dan badan.
Semua substansi itu di samping
mempunyai tujuannya sendiri, mempunyai juga suatu tujuan di luar wujudnya,
yakni benda mati berguna untuk tumbuhan dan semua makhluk yang lebih tinggi,
tumbuhan berguna untuk manusia, binatang berguna untuk manusia. Semuanya ini
mempunyai tujuan yang lebih tinggi lagi, yakni menuju kepada yang paling
sempurna yakni Budi Illahi.
Sesuai dengan tradisi Kristiani,
Thomas menambah bahwa baik bentuk maupun materi diciptakan Tuhan, lagi pula
bahwa seluruh aturan semesta alam ini adalah kemuliaan Tuhan.
Aturan alam yang dilukiskan tadi
diteruskan dalam manusia sendiri, yakni dalam kemampuannya untuk mengenal apa
yang baik dan apa yang buruk atau jahat. Semua orang mengetahui tentang dasar
hidup moral, yakni : yang baik itu harus dilakukan, dan yang buruk atau jahat
itu harus dihindari (bonum est faciendum,
malum est vitandum). Yang baik itu adalah apa yang sesuai dengan
kecenderungan alam. Berdasarkan prinsip ini dapat dianggap sebagai aturan alam,
bahwa orang mau untuk mempertahankan hidupnya, bahwa laki-laki dan wanita
bersatu dalam sebuah perkawinan, bahwa orang tua harus mendidik anak-anaknya,
bahwa orang harus mencari kebenaran tentang Allah, bahwa orang membentuk hidup
bersama dalam masyarakat dsb.
Ternyata aturan semesta alam
tergantung dari Tuhan yang menciptakan kita. Oleh karena itu aturan alam ini
harus berakar dalam suatu aturan abadi (lex
aeterna), yang terletak dalam hakekat Allah sendiri. Hakekat Allah itu
adalah pertama-tama Budi Ilahi, yang mempunyai ide-ide mengenai segala apa yang
Allah ciptakan. Budi Ilahi prakti membimbing segalanya ke arah tujuannya.
Semesta alam diciptakan dan
dibimbing oleh Allah, tetapi lebih-lebih manusia beserta kemampuannya untuk
memahami apa yang baik dan apa yang buruk atau jahat dan kecenderungannya untuk
membangun hidupnya sesuai dengan aturan alam itu. Oleh karena itu dalam
pembicaraanya mengenai hukum alam, Thomas pertama-tama memaksudkan aturan hidup
manusia, sejauh didektkan oleh akal budinya. Hukum alam yang terletak dalam
akal budi manusia itu (lex naturalis)
tidak lain daripada suatu partisipasi aturan abadi dalam ciptaan rasional (lex naturalis nihil aliud est quam
participatio legis aeterna in rationali creatura, S. Th., q. 91, art. 2).
Hukum alam yang oleh akal budi
manusia ditimba dari aturan alam, dapat dibagi dalam dua golongan. Terdapat
hukum alam primer dan terdapat hukum alam sekunder.
Hukum alam primer dapat
dirumuskan dalam norma-norma yang karena bersifat umum berlaku bagi semua
manusia (principia prima communia).
Pada hukum alam primer termasuk kedua norma yang telah dipegang oleh aliran
Stoa; berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere), dan jangan
merugikan seseorang (neminem leadere).
Hukum alam sekunder dalam arti
yang benar dapat dirumuskan dalam norma-norma, yang selalu berlaku in
abstracto, oleh karena itu langsung dapat disimpulkan dari norma-norma hukum
alam primer, tetapi dapat terjadi juga adanya kekecualian berhubung adanya
situasi tertentu (principia secundaria
magis propria). Demikianlah antara lain norma moral, yang juga sudah
diketahui dari wahyu, seperti : jangan membunuh, jangan mencuri, hormatilah
orang tua, dsb. Dikatakan bahwa di sini kadang terdapat kekecualian, umpamanya
waktu perang, prajurit diperbolehkan membunuh musuhnya. Bahwa dalam hal
penerapan hukum alam tidak terjadi seperti pada umumnya. Dengan kata lain,
walaupun terdapat penyimpangan dari norma hukum alam, hakekatnya manusia dan
norma hukum alam tetap sama.
Di samping hukum alam dalam arti
sebenarnya terdapat juga suatu hukum yang masih bertalian dengan hukum alam,
akan tetapi sesungguhnya tidak termasuk hukum alam sendiri. Hukum itu disebut
oleh Thomas, Hukum bangsa-bangsa (ius
gentium). Hukum bangsa-bangsa itu dapat didefinisikan sebagai berikut :
hukum bangsa-bangsa ialah hukum alam yang sekunder, yang berlaku karena
dituntut oleh kebutuhan konkret masyarakat manusia. Perbedaan dengan hukum alam
dalam arti yang sebenarnya ialah bahwa hukum bangsa-bangsa tidak berlaku in
abstracto seperti hukum alam tadi. Milik pribadi dan perbudakan termasuk hukum
bangsa-bangsa itu.
Dengan ini Thomas menghubungkan
pendapat ahli hukum Romawi dengan pendapat bapak gereja. Menurut Romawi kuno
milik pribadi dan perbudakan termasuk hukum alam, sedangkan menurut bapak
gereja itu tidak termasuk hukum alam. Pada Thomas kedua hal ini termasuk hukum
alam sekunder yang khusus yakni hukum bangsa-bangsa. Thomas juga kadang-kadang
mengatakan bahwa hukum bangsa-bangsa hanya merupakan hukum positif (S. Th.,
I-II, 95, arti 4).
Hukum alam itu agak umum, dan
tidak tegas bagi setiap orang, apa yang sesuai dengan hukum alam itu. Oleh
karena itu perlu disusun undang-undang negara yang lebih konkret mengatur hidup
bersama. Inilah hukum positif.
Dapat terjadi bahwa hukum positif
bertentangan dengan hukum alam. Dalam hal ini hukum alam menang, sehingga hukum
positif itu kehilangan kekuatannya. Itu berarti pertama-tama bahwa hukum alam
itu mempunyai kekuatan hukum yang sungguh-sungguh, sama seperti hukum positif.
Keduanya, bahwa garis besar hukum positif harus berasal dari hukum alam. Dengan
kata lain hukum positif hanya berlaku sebagai hukum, bila berasal dari hukum
alam itu. Tetapi dapat juga, bahwa hukum positif hanya menentukan tempat dan
waktu sebagai perincian dari garis besar hukum. Undang-undang semacam itu tidak
mempunyai hubungan dengan hukum alam dan berlaku karena ditetapkan oleh
pemerintah.
Walaupun terdapat pertentangan
dan sering kali juga ketidak adilan dalam undang-undang negara, namun pada
umumnya warga negara harus menaatinya, oleh karena kegoncangan negara harus
dicegah. Maksudnya ‘supaya skandal dan huru-hara jangan terjadi’ (propter vitandum scandalum vel turbationem).
Nyatalah bahwa dalam hal ini hukum ala hanya mempunyai fungsi regulatif, dan
tidak berlaku sebagai aturan yang konkret.
Keutamaan yang disebut keadilan
menurut Thomas menentukan bagaimana hubungan orang dengan orang lain dalam hal iustum, yakni mengenai ‘apa yang
sepatutnya bagi orang lain menurut sesuatu kesamaan proporsional’ (aliquod opus adaequatum alteri secundum
aliquem aequalitatis modum).
Thomas membedakan antara keadilan
distributif, keadilan tukar-menukar, dan keadilan legal (iustitia distributiva, iustitia commutativa, iustitia legalis).
1.
Keadilan distributif menyangkut hal-hal umum, seperti jabatan, pajak dsb.
Hal-hal ini harus dibagi menurut kesamaan geometris.
2.
Keadilan tukar-menukar menyangkut barang yang ditukar antara pribadi
seperti jual-beli dsb. Ukurannya bersifat aritmetis. Tentang keadilan balas
dendam (iustitia vindicativa) tidak
dibicarakan Thomas secara eksplisit. Kiranya keadilan ini termasuk keadilan
tukar-menukar.
3.
Keadilan legal menyangkut keseluruhan hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa
kedua keadilan tadi terkandung dalam keadilan legal ini. Epikeia juga termasuk keadilan legal, disamakan dengan pandangan yang
bijaksana atas perkara hukum.
Keadilan legal ini menuntut
supaya orang tunduk pada semua undang-undang, oleh karena undang-undang itu
menyatakan kepentingan umum. Oleh karena menaati hukum adalah sama dengan
bersikap baik dalam segala hal, maka keadilan legal disebut juga keadilan umum
(iustitia generalis). Jelaslah bahwa
dalam hal ini Thomas mengikuti pandangan Aristoteles.
Pandangan Thomas terhadap negara
sama dengan pandangan Aristoteles. Negara adalah masyarakat yang sempurna (societas perfecta). Dalam masyarakat ini
manusia mendapat perlengkapannya sebagai makhluk sosial. Orang tidak
memperhatikan kepentingan umum tidak berlaku sebagai makhluk sosial dan tidak
sampai pada kesempurnaan hidup. [5]
Seperti bagi Aristoteles demikian
juga Thomas, negara merupakan masyarakat yang menyeluruh. Maka perkawinan,
keluarga, perusahaan hanya merupakan bagian dari keseluruhan negara. Hanya
negara berhak untuk menetapkan hukum positif.
Thomas berpendapat, bahwa batasan
kewibawaan seorang penguasa harus ditentukan oleh Gereja, sebagai pemimpin jiwa
manusia. Gereja adalah masyarakat sempurna juga, dalam bidangnya sendiri, yakni
bidang rohani. Maka apa yang harus merupakan isi hukum alam, tidak ditentukan
oleh negara melainkan oleh Gereja.
Sejak abad XIII sarjana yang mengajar
pada universitas pada umumnya menerima sistem filsafat dan teologi Thomas
Aquinas. Sesudah pengaruh Thomas berkurang pada abad XV, pada abad XVI sistem
Thomas dihidupkan kembali. Hal ini terjadi sekali lagi pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Aliran ini yang disebut
Neo-Thomisme disahkan oleh pimpinan Gereja Katolik sebagai ajaran agama yang
sejati.
Namun dari beberapa pihak muncul
juga serangan terhadap teori-teori Thomas:
-
Pertama-tama dikemukakan, bahwa dasar hukum alam, yakni hukum abadi. Mungkin
dapat dikatakan sesuatu tentang rencana Allah secara abstrak dan umum, akan
tetapi tak mungkin menafsirkan situasi-situasi yang konkret sebagai kehendak
Allah sendiri.
-
Lagi pula pengertian Thomas tentang alam berkaitan dengan tanggapannya
tentang hakekat manusia yang abstrak. Manusia dipandang lepas dari hubungan
dengan orang lain, lepas juga dari segala perubahan karena perkembangan hidup.
Akibatnya ialah bahwa hukum alam ditanggapi sebagai hukum yang berlaku untuk
sekarang dan selama-lamanya.
-
Soal yang paling nampak tidak sesuai dengan teori hukum alam adalah
perbudakan. Menurut pandangan filsuf-filsuf klasik, perbudakan termasuk hukum
alam, sedangkan untuk orang modern perbudakan dianggap menentang hak-hak asasi
manusia. Thomas menjawab, bahwa pada zaman dulu belum terdapat pengetahuan yang
sungguh tentang hukum alam, tetapi hukum alam sendiri tidak berubah. Bahwa
mungkin pada zaman kita juga belum nyata apa yang termasuk hukum alam, sehingga
belum dapat dipastikan isinya. Dapat dikatakan pula, bahwa kebenaran tidak
boleh dipandang lepas dari hidup, sebab berkembang bersama manusia sendiri.
Suatu hukum alam lepas dari pengetahuan manusia tidak ada artinya.
Tiga buah “leges”
Kita sekarang akan melihat, apa
yang dihasilkan oleh sintese (synthese) Thomas antara ilmu pengetahuan dan
agama untuk pendapatnya mengenai hukum. Dalam hal itu Thomas membedakan tiga
suasana, dari yang tinggi sampai ke yang rendah:
1.
Lex Aeterna, hukum yang abadi (suatu istilah
yang telah terdapat pada Cicero tetapi dalam suatu pengertian yang sedikit
berbeda).
Lex ini (perhatikan, suatu pengertian yang lain sama
sekali dari pengertian “undang-undang” menurut hukum kita sekarang menurut
Thomas berisi kebijaksanaan Ilahi, yang merupakan mekanisme kemudi dari segala
tindakan dan gerakan. Dalam keadaan yang
sedemikian maka lex ini tinggal tersembunyi bagi manusia (apabila kita
memiliki kebijaksanaan Tuhan itu, maka kita akan sama dengan Tuhan). Tuhan
sesungguhnya menciptakan manusia menurut
gambaranNya dan oleh sebab itu dalam pembawaan manusia terdapat suatu
pencerminan (seolah-olah suatu tindakan (cetakan), stempel) dari Lex Aeterna
itu. Tindakan (cetakan) ini oleh Thomas disebut:
2.
Lex Naturalis,
hukum alam. “lex” ini mengajarkan kepada manusia perbedaan antara baik dan
buruk dan berbuat baik serta meninggalkan yang buruk. Itulah satu-satunya
peraturan yang tetap, yang berasal dari hukum alam; untuk selebihnya hukum ini
memberi kepada manusia hanya petunjuk, bagaimana seharusnya rupa hukum itu.
Indikasi
semacam itu antara lain adalah:
a.
Nafsu yang
diberikan alam untuk mempertahankan diri, yang sama-sama dimiliki manusia dan
segala makhluk hidup lainnya. Dengan bantuan akalnya, manusia telah
mempergunakan kesempatan yang ada untuk menyimpulkan peraturan yang lebih
konkrit, seperti larangan membunuh dan hak melakukan pembelaan dalam keadaan
darurat.
b.
Nafsu untuk
berkembang biak dan memelihara keturunan, yang dimiliki bersama oleh manusia
dan binatang (yang lebih tinggi). Dari sini manusia dengan akalnya menyimpulkan
perkawinan yang monogam, kekuasaan orang tua, kewajiban anak-anak untuk
menghormati orang tuanya.
c.
Alam manusia yang
khas, berdasarkan mana ia mencari kebenaran (Ilahi), usahanya menuntut ilmu,
keinginannya hidup bersama orang lain (“manusia itu adalah binatang yang suka
ramah”).
Karena
itu masuk akal, bahwa manusia tidak boleh merugikan orang lain bahwa manusia
harus menepati janjinya sebagainya.
3.
Lex Humana
atau hukum manusiawi, hukum positif yang berlaku. Hukum ini seyogyanya
merupakan penjelmaan yang kongkret dari dasar yang dihasilkan oleh Lex
Naturalis. Hukum positif lebih atau kurang disebut hukum, semakin hukum positif
itu lebih atau kurang berada dalam keadaan yang harmonis (rukun) dengan Lex
Naturalis.
Dari
Lex Naturalis dapat disalurkan Lex Humana:
a.
Langsung (direct) :
suatu peraturan diturunkan langsung dari aturan hukum alam, seperti misalnya
larangan mencuri yang langsung disimpulkan dari tidak boleh merugikan sesama
manusia. Ini merupakan metode yang biasa dipergunakan dalam ilmu dengan menarik
suatu kesimpulan (conclusio) dari
premis (dalil yang telah tersedia).
b.
Tidak langsung
(indirect) : pihak yang menciptakan mengerjakan dasar hukum alam itu menjadi
peraturan, sama seperti seorang arsitek, bertitik tolak dari suatu pemikiran
yang global, mengerjakannya lebih lanjut menjadi suatu gambar.
Demikian
dari peraturan “jangan berbuat jahat terhadap sesamanya” orang dapat sampai
pada suatu peraturan yang menentukan pembunuhan harus dihukum sedang sifat
hukuman itu juga hanya dapat diturunkan secara tidak langsung melalui metode determination.
c.
Melengkapi : hukum
manusiawi itu boleh juga diperluas, tanpa menimbulkan ketentuan itu secara
langsung atau tidak langsung dari Lex Naturalis (ketentuan itu tidak boleh
bertentangan dengan Lex Naturalis). Inilah yang disebut metode additio. Dengan ini Thomas memasuki suatu
daerah berbahaya, sebab suatu “perlengkapan” mudah menjadi suatu
“penyimpangan”. Kesukaran apa dalam hal ini yang dimasuki orang, kelihatan pada
waktu Thomas menguraikan pikiran hukum alam mengenai milik dan perbudakan.
Titik tolaknya ialah, bahwa menurut Lex Naturalis seharusnya ada milik bersama
atas segala barang dan bahwa perbudakan tidak dapat disatukan dengan hukum
alam.
Tetapi
kemudian dikemukakan alasan praktis terhadapnya: milik pribadi tak dapat tidak
adalah mudah, barang-barang itu dapat dipelihara lebih baik, suatu pembagian
kerja yang lebih efisien dimungkinkan, jika seseorang mempunyai barang sendiri,
menjadi lebih senang, sehingga berdasarkan additio kepada Lex Naturalis, maka
milik pribadi haruslah diijinkan. Perbudakan juga dipertahankan “sebagai hasil
pertimbangan manusia menurut akalnya, untuk keuntungan bagi masyarakat,
sehingga hukum alam itu dalam bidang ini hanyalah diubah (mutata) dengan beberapa penambahan” (Summa Theologica I, II, questio 94, a 5 ad 3).
Hal
keterkaitan
Suatu pertanyaan
yang penting ialah, apa akibatnya, apabila suatu Lex Humana bertentangan secara
terang-terangan dengan Lex Naturalis.
Peraturan hukum manusia semacam itu, yang berbeda dalam
keadaan tegang dengan hukum alam, pada dasarnya bukan hukum, melainkan pertanyaan
kekuasaan murni saja. Sebaliknya peraturan hukum manusiawi, yang berada dalam
keadaan harmonis dengan Lex Naturalis mengikat secara cermat, bahkan dalam
keinsafan batin. Namun ini tidaklah berarti, bahwa para justisiabel (orang yang
tunduk pada peradilan tertentu) boleh mengesampingkan begitu saja suatu
peraturan yang bertentangan dengan hukum alam dan karena itu tidak mengikat.
Suatu perlawanan terhadapnya hanyalah mungkin, apabila peraturan yang ditolak
itu dibantah tanpa menimbulkan malu atau kerugian besar bagi masyarakat. Sebab
suatu peraturan hukum alam penting yang lain berbunyi, bahwa setiap orang
hendaknya menjaga agar masyarakat dapat diperintah dengan tenang dan damai.
Thomas agaknya tidak menyukai hak perlawanan terhadap
pemerintah. Sesungguhnya manusia itu menurut keyakinan batinnya tidaklah
terikat pada suatu peraturan yang bertentangan dengan hukum alam, tetapi demi
perdamaian ia harus tunduk pada peraturan itu. Dalam hal ini perlu diingat,
bahwa Thomas – seperti setiap ahli filsafat – adalah anak jamannya. Abad
pertengahan adalah suatu jaman yang penuh dengan perseturuan dan pertentangan
kekuasaan antara raja-raja, didampingi oleh orang-orangnya. Memang “ketertiban”
dan “perdamaian” pada ketika itu merupakan barang yang dinilai sangat tinggi.
Tambahan pula, bahwa kita pada hak untuk menentang pertama-tama terpikir pada
hak untuk memberontak terhadap penguasa negara, yang menindas semua warga
negara. Diktatur semacam itu memang tidak ada terdapat di abad pertengahan.
Kekuasaan terbagi-bagi antara banyak raja dan raja kecil,
yang tentu tidak sanggup, juga tidak dalam kerajaannya sendiri, menjadi
penguasa yang absollut. Kemungkinan mereka untuk menghasilkan peraturan hukum
yang dipaksakan adalah minim: sebagian besar hukum itu merupakan hukum
kebiasaan dan tugas mengatur dari raja di bidang ini sebagian besar terbatas
pada pemeliharaan peradilan. Di tempat-tempat – seperti di Perancis – di mana
sudah timbul suatu alat pemerintahan sentral yang sudah agak memadai, justru
terjadi hal ini dengan proteksi dari pihak Paus dan anggapan, bahwa dari pihak
itu akan dapat diharapkan peraturan manusiawi yang bertentangan dengan Lex
Naturalis, merupakan suatu anggapan yang oleh Thomas hampir tidak akan dapat
dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Tambahan pula, dalam ajaran Thomas
mengenai pemisahan antara alam dan anugerah mudah diterima, bahwa kekuasaan
duniawi itu dalam bidangnya akan dibiarkan bebas sebanyak mungkin oleh pihak
gereja. Baru apabila suatu pemerintah bertindak bertentangan dengan ius divinum,
perintah Ilahi, maka perlawanan sesungguhnya diharuskan (misalnya apabila
pemerintah akan melawan gereja).
Dalam kenyataannya dalam mengesampingkan hak untuk
memberontak itu, Thomas tiba pada beberapa kesulitan, karena titik tolaknya
adalah individualistis. Kita telah melihat, bahwa pangkal tolak Thomas adalah,
bahwa Lex Naturalis itu adalah pembawaan dari tiap-tiap individu
sendiri-sendiri, karena tiap manusia adalah pembawa gambar Tuhan. Melalui akal
manusia (perorangan) itu timbullah kemudian atas dasar hukum alam suatu Lex
Humana. Jadi hukum itu sendiri terjadi dan mengembangkan diri dalam manusia
sendiri-sendiri, tidaklah misalnya dalam “masyarakat” atau pada seorang “raja”.
Ini merupakan suatu premise yang luar biasa pentingnya,
sebab ini berarti, bahwa hukum yang berlaku itu adalah suatu hasil tambahan
dari hukum, seperti hal itu terjadi dalam orang seorang. (jaman sekarang
persoalannya kita balik: hak milik saya hanya saya miliki berdasarkan
kenyataan, bahwa hukum yang berlaku itu mengenal suatu lembaga sebagai milik).
Titik tolak Thomas ini juga mempunyai akibat terhadap pandangannya mengenai
“negara” atau “kepentingan umum”. Kepentingan umum itu bagi Thomas tidak
merupakan satu kesatuan yang berdiri sendiri, pada mana para warga negara itu harus
menyesuaikan diri tetapi lebih mendekati suatu perkumpulan dari kepentingan
pribadi, pengumpulan mana merupakan suatu keharusan, agar setiap orang mendapat
tempatnya. Kepentingan umum yang seyogyanya harus dimajukan oleh para raja
adalah sama sekali bukan kepentingan raja itu sendiri dan bahkan juga bukan
suatu kepentingan tersendiri, tetapi lebih banyak mendekati suatu perintah bagi
raja untuk memperhatikan kepentingan pribadi para warga negara. Dengan demikian
maka tirani itu dalam pandangan Thomas tidak mungkin, sebab hal ini akan
berarti, bahwa raja membuat kekuasaannya berdiri sendiri dan tidak lagi
melayani kepentingan umum, tetapi mencari keuntungan sendiri.
Apabila orang akan meneruskan titik tolak Thomas yang
individualistis itu secara konsekuen, maka sebenarnya setiap warga negara akan
mempunyai kemungkinan dan wewenang untuk memeriksa apakah hukum alam (yang juga
dibentuk dalam akalnya) itu akan telah mendapat bentuk dalam hukum manusiawi
itu. Hal itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang besar, sebab beraneka
ragam pertentangan akan terjadi mengenai hal keterkaiatan atau tidaknya
keputusan-keputusan, kebiasaan-kebiasaan, dan aturan-aturan. Itulah sebabnya
maka Thomas membentuk suatu aturan hukum alam yang lain, sebagai suatu “tembok
pengaman” sekeliling hukum duniawi itu, yakni bahwa lebih baik orang menderita
sedikit ketidakadilan, dari pada menimbulkan kemarahan dan kecemasan
masyarakat.
Untuk itu dari hak yang memberontak terhadap keputusan,
kebiasaan atau aturan yang bertentangan dengan hukum alam tidak banyak lagi
yang tinggal. Sesungguhnya Thomas di sini melihat suatu tugas penting bagi
hakim, yang seharusnya menerapkan hukum manusiawi.
Kita telah melihat, bahwa pada jaman Thomas, hukum itu
lebih banyak merupakan “hukum hakim” dari pada jaman sekarang. Itulah sebabnya
bagi Thomas lebih mudah untuk mengijinkan hakim, yang misalnya harus
melaksanakan suatu aturan hukum kebiasaan, pada pelaksanaan aturan itu
menyimpang dari aturan yang cermat, apabila hal itu dalam keadaan konkritnya akan
menghasilkan hasil yang tidak adil.
Hukum manusiawi ini hanyalah berdiri atas grasi dari
kepentingan umum, hal mana sebagai mana telah dikatakan, adalah merupakan suatu
peleburan dari segala kepentingan pribadi. Aturan umum (misalnya yang dari
hukum kebiasaan) itu tidaklah dimaksudkan untuk situasi yang luar biasa, tetapi
bertitik tolak dari kejadian tradisional. Apabila sekarang suatu kejadian
khusus sangat menyimpang dari kejadian rata-rata, maka – demikian pendapat
Thomas – aturan itu tidak boleh diterapkan begitu saja, tetapi seharusnya
dipergunakan keadilan (billijkheid) sebagai suatu rantai perantara. Keadilan
itu menurut pandangannya seolah-olah merupakan sebagai “las” dengan mana
kejadian yang tidak cocok itu dapat juga diikatkan pada aturan itu. Jadi
seorang hakim seyogyanya tidaklah memperlakukan sesuatu peraturan secara
sembarangan, tetapi senantiasa harus meneliti apakah ia memang berhadapan
dengan kejadian rata-rata. Apabila tidak demikian halnya, maka ia seyogyanya
mencarikan suatu penyelesaian berdasarkan kepatutan. Dengan demikian Thomas
telah melakukan suatu langkah yang penting ke arah pelaksanaan suatu peraturan
secara beraneka ragam oleh hakim.
Hal lebih lanjut hukum alam rasionalis. Sebelum kita
meningkatkan pada pembahasan hukum alam voluntaris kita lebih dahulu akan
membahas lebih lanjut hal hukum alam rasionalis, yang merupakan aliran yang
berkuasu di daratan Eropa Barat. Kepercayaan terhadap hukum yang berlaku di
segala jaman dan segala tempat, yang abadi dan tak berubah di jaman baru, makin
lama makin luntur, hal mana sangat erat hubunganya dengan pengakuan yang telah
disinyalir oleh Thomas Aquino atas akal sebgai sumber yang berdiri sendiri dari
pengetahuan di samping kebenaran yang diwahyukan dari kata Tuhan. Kongkritnya humanisme, yang dalam abad ke – 16 mulai
mendapat tempat yang kokoh dalam ilmu pengetahuan hukum, yang turut banyak membantu, bahwa titik tolak religius
(ketaatan agama) diganti oleh dasar-dasar rasional.
Dalam hal ini Hogo de Groot memainkan peran penting.
“bagi de Groot hukum alam itu terdiri dari peraturan yang
oleh akal manusia diilhamkan kepada manusia: manusia itu sebagai makhluk yang
dianugerahi akal haruslah bertindak menurut akal. Memang akal manusia itu
sendiri membedakan yang baik dan yang buruk, tetapi dalam hal itu akal itu
terikat pada data obyektif: ketertiban alamiah dan hubungan alamiah. Sesuai
dengan hakikatnya manusia itu ditempatkan dalam masyarakat (societas) dan
diperuntukkan bagi masyarakat itu; tujuan untuk hidup dalam masyarakat ini
merupakan dasar bagi negara dan masyarakat”.
P.
Gerbenzon dan N. E. Algra. Voortgangh des
Rechtes.
1975,
halaman 145/146.
Dengan demikian maka hukum alam itu kehilangan suatu
fundamen yang kokoh dan yang tinggal hanya suatu dasar yang goyah. Sebab, dari
suatu pandangan hidup bersama, yang meliputi segala bidang hidup, hanya yang
tinggal lagi suatu “akal” yang kabur, tak dapat ditangkap dan dari dasar yang
subyektif.
Dalam rasionalisme dari arti yang cermat, akal itu
dilihat sebagai suatu sumber pengetahuan yang otonom, lepas dari pengalaman,
dan juga sebagai sumber pengetahuan dari aturan yang tepat bagi pergaulan hidup
manusia. Guru hukum alam rasionalis kemudian menarik dari sini suatu
konsekuensi, bahwa adalah mungkin dari akal itu mengembangkan suatu sistem
hukum secara keseluruhan, yang berhak menuntut suatu keberlakuan secara umum.
Titik puncak dalam hal ini dicapai oleh Christian Wolff (1679 – 1754) dalam
karyanya yang terdiri dari delapan bagian “Ius nature methode scioentifica
pertractum” (hukum alam yang digarap secara ilmu pengetahuan). Stelsel hukum
alam yang “dikembangkan dari akal” semacam itu pada umumnya tidak lebih
daripada penguraian hukum positif yang berlaku pada waktu itu, atau
setidak-tidaknya memuat pendapat tentang hukum yang ditentukan oleh sejarah.
Juga perbedaan satu sama lain dari sistem semacam itu menggambarkan tidak
dapatnya dipertahankan titik tolak, bahwa dari akal dapat diturunkan suatu
hukum alam yang absolut dan berlaku umum.
Pada mulanya kehilangan dasar agama yang kokoh dari hukum
alam ini belum mempunyai akibat bagi kepercayaan dalam suatu hukum alam yang
abadi dan tak berubah.
Hal itu disebabkan antara lain oleh karena orang
meletakkan tekanan yang sangat kuat pada hukum Romawi, yang dianggap sebagai
akal yang dinyatakan secara tertulis (ratio/scripta).
“ini harus kita lihat di satu pihak sebagai suatu
pemulangan kepada sumber, di lain pihak sebagai suatu paham yang timbul dalam
perkembangan yang bersejarah dari hukum.
Orang tidak boleh melupakan, bahwa juga para humanis
berdiri dalam tugas jamannya, sepanjang halnya untuk menemukan hukum dari suatu
masyarakat yang rasional dan birokratis, sebagaimana halnya dengan kerajaan
Roma dahulu. Sebab hukum ini lebih banyak disesuaikan dengan tuntutan
masyarakat kapitalisme muda daripada dengan lembaga hukum dari suatu jaman
feodal yang akan berakhir. Dengan demikian dapatlah dikatakan, di belakang
fakade ini tersembunyi suatu perjuangan untuk “hukum yang benar” dalam arti
penyesuaiannya dengan hubungan masyarakat. Bagi para humanis/penganut aliran
berperikemanusiaan berlaku pemikiran, bahwa terdapat suatu hukum yang berlaku
untuk semua manusia. Pemikiran itu sesungguhnya berakar pada dasar hakiki dari
humanisme (aliran berperikemanusiaan).
Oleh karena itu untuk mewujudkan pemikiran ini maka hukum
Romawi dinyatakan sebagai sumber yang sebenarnya dari hukum manusiawi umum
ini”.
Carl J. Friedrich, Rechtsfilosofie
in historish perspectief. Hilversum 1964, halaman 42/43.
Hukum alam dalam bentuk ratio scripta, hukum Romawi,
dipergunakan terutama bagi kepentingan elite pada waktu itu. Dengan timbulnya
ketiga kepercayaan dalam ratio scripta sebagai hukum yang senantiasa adil itu
mulai menurun; suatu proses yang makan waktu lama, yang menemui akhirnya dalam jaman Perancis.
Makin lama makin lebih dialami bahasa profesi Latin yang
dipergunakan dalam proses oleh para yuris adalah sebagai suatu bahasa orakel
(bahasa teka-teki) yang tidak dipahami. Hukum negara, daerah atau bangsa
sendiri makin lebih dihargai. Buku-buku hukum yang ditulis dalam bahasa rakyat
– seperti De Groots Inleidinge – menjadi lebih populer. Dalam hukum rakyat
terdapat lebih banyak perasaan hukum yang sehat – demikian pendapat warga
negara – daripada dalam hukum Romawi tiruan. (dalam pada itu De Groot telah
banyak mengambil dari hukum Romawi). [6]
Sebagaimana sering kali terjadi, apabila kemajuan
masyarakat mengehendaki keinginan lain, maka timbul jugalah para ilmuwan
(sarjana) yang siap untuk dapat memberikan syarat pada keinginan itu suatu
dasar ilmiah dan teori. Konkretnya Aufklarung
dan Romantiek telah memberikan
kepada keinginan golongan ketiga suatu hukum “liberal” dengan persamaan di muka
undang-undang, kebebasan memiliki dan hal-hal yang disenangi, suatu kondisi
teoritis. Pada mulanya orang menghubungkan hukum alam dengan asal Ilahi.
Kemudian hukum alam itu menjadi pembela yang gigih dari akal (para rasionalis).
Akibat
melemahnya otoritas (kewibawaan) hukum alam
Perkembangan yang baru saja diuraikan mengakibatkan,
bahwa ajaran hukum alam klasik yang benar dan yang terakhir, yang berdasarkan rasionalis
itu, sampai pertengahan abad kesembilan belas tidak dianut lagi.
Dengan ini dapat dikatakan telah hilang kepercayaan akan
suatu hukum alam yang umum dan yang tak
berubah sebagai dasar bagi hukum positif dalam filsafat hukum dan ilmu
pengetahuan hukum kontinental.
Dalam pada itu tidak berarti bahwa gagasan hukum alam
yang berkembang di masa silam itu tidak mempunyai pengaruh lagi atas ilmu
pengetahuan hukum dan praktek hukum. Dapat dikatakan, bahwa memang senantiasa
dalam pemikiran hukum dalam praktek unsur hukum alam itu akan tetap memainkan
peranan.
Gambaran yang jelas mengenai hal ini misalnya berupa
pembagian tindak pidana dalam dua bagian yakni kejahatan dan pelanggaran dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda, yang dimasukkan dalam tahun 1886.
Pembagian dua ini oleh pembuat undang-undang diberikan motivasi dengan
argumentasi, bahwa ada dua macam delik: delik
hukum, yang di mana saja dan kapan saja adalah tidak dibenarkan, sekalipun
hal itu oleh pembuat undang-undang tidak dinyatakan dapat dihukum (misalnya
pembunuhan, pencurian), dan delik
undang-undang, yakni perbuatan yang dalam dirinya tidak merupakan perbuatan
yang tidak patut, namun yang menjadi tidak patut karena oleh pembuat
undang-undang dinyatakan hal itu dapat dihukum (misalnya membakar gudang kecil
dan tua oleh pemiliknya tanpa ijin walikota, pasal 428 N.W.v Sr). Hal ini juag
dinyatakan dalam penyebutan kejahatan-kejahatan, perbuatan yang tidak benar,
terhadap pelanggaran undang-undang.
Adalah merupakan suatu pemikiran hukum alam yang khas,
seolah-olah terdapat perbuatan. Dalam jaman Jerman misalnya membunuh anggota
dari suatu keturunan, dengan siapa seseorang itu hidup bermusuhan, bukan tidak
benar, malah merupakan suatu kewajiban hukum.
Skala beraneka ragam dari patron nilai manusiawi yang
timbul sesudah aufklarung menjadi sulit, kalau bukan tidak mungkin, untuk
menerima lebih lama kebenaran tertentu sebgai batu ujian bagi hukum positif.
Apabila orang masih ingin memegang teguh suatu hukum alam, maka orang itu
haruslah memberikan konsesi atau melepaskan keabadian dan ketidakterikatan pada
tempat atau tidak mencari nilai dalm suatu hukum yang lebih tinggi.
Penyelesaian yang pertama berakhir pada apa yang disebut hukum budaya. Daripada
hukum abadi dan tak berubah itu orang menduga adanya suatu hukum alam dengan
isi yang berubah-ubah, terikat pada nilai yang berbeda-beda menurut wktu dan
tempat. Dari nilai (yang berbeda-beda waktu dan tempat) ini maka disimpulkanlah
asas hukum umum, yang dapat berfungsi sebagai batu ujian bagi hukum positif.
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Gagasan Thomas Aquinas tentang hukum, dimulai dari asal
muasal hukum, yang pada dasarnya bersumber dari 2 tempat: dari wahyu dan dari
akal budi manusia. Hukum yang berasal dari Wahyu Ilahi disebut ius divinium positivum, sementara yang
berasal daria akal budi manusia terdiri dari beberapa macam, diantaranya ius naturale (hukum kodrat), ius gentium (hukum bangsa-bangsa), dan ius positivum humanum (hukum positif
manusiawi).
Perihal hukum kodrat, Thomas mendasarkan diri pada
gagasan Aristoteles. Semua materi yang ada di dunia ini mempunyai tujuan di
luar dirinya sendiri. Benda mati berguna untuk tumbuh-tumbuhan atau makhluk
yang lebih tingi darinya, seperti binatang atau manusia, atau binatang untuk
manusia dan seterusnya, yang pada akhirnya berpuncak kepada tujuan tertinggi,
yakni Budi Ilahi.
Oleh sebab itu, alam harus dipelihara oleh manusia untuk
mencapai tujuan tersebut. Manusia dianggap mengetahui dengan dasar tentang
pentingnya hal ini, dimana yang jahat harus dihindarkan, dan apa yang sesuai
dengan kepentingan alam adalah kebaikan. Ini merupakan aturan alam semesta yang
diciptakan oleh Tuhan, dalam hukum abadinya (lex aeterna).
Hukum kodrat yang berasal dari akal budi manusia ini
terbagi atas dua golongan. Pertama,
hukum kodrat primer, dan yang kedua, hukum
kodrat sekunder. Hukum kodrat primer adalah semua aturan hukum yang mengatur
kepentingan bersama manusia, oleh sebab itu, ia bersifat umum. Contoh-nya unicuique suum tribure (berikanlah
kepada setiap orang apa yang menjadi haknya), atau neminem laedere (jangan merugikan seseorang). Sementara itu, yang
sekunder, adalah setiap aturan hukum yang bersumber dari hukum kodrat primer,
akan tetapi terdapat kekecualian karena adanya situasi yang tertentu. Misalnya
ada norma moral yang berlaku umum tentang perintah jangan membunuh, dapat
dikevualikan, ketika seorang prajurit membunuh musuhnya, hal ini dapat diterima
menurut hukum kodrat sekunder.
Hukum alam sebagai
norma yang abstrak harus dimanifestasikan dalam peraturan yang lebih konkret
seperti undang-undang. Aturan yang konkret ini disebut hukum positif. Namun,
keberadaan hukum positif ini bukan berarti bersifat mandiri terhadap hukum
kodrat. Thomas Aquinas melihat hubungannya bersifat hierarkis, di mana hukum
kodrat berkedudukan lebih tinggi daripada hukum hukum positif. Dan yang
tertinggi (lebih tinggi daripada hukum kodrat) adalah hukum abadi yang berasal
dari Tuhan. Oleh sebab itu, apabila hukum positif bertentangan dengan hukum
kodrat, maka keberlakuan hukum kodrat yang berlaku, dan hukum positif menjadi
kalah. Dan ketika hukum positif bertentangan dengan hukum alam, Thomas
menyatakan, bukan berarti setiap warga negara berhak untuk membangkang, karena
itu, akan membuat kegoncangan yang tidak diharapkan. Dari sini dapat
disimpulkan, bahwa hukum kodrat itu hanya berfungsi untuk memberikan aturan
yang konkret tentang apa yang seharusnya dilakukan apabila terjadi pertentangan
antara hukum positif dan hukum kodrat.
Secara khusus, Thomas Aquinas mengelaborasikan
pemikirannya tentang nilai keutamaan, yakni keadilan. Gagasannya mengenai
keadilan ini telah menjadi inspirasi bagi banyak pemikir pada jaman ini. Ia
menyatakan bahwa keadilan ini diperlukan untuk mengatur hubungan antar manusia.
Thomas membedakan antara keadilan
distributif, keadilan tukar-menukar, dan keadilan legal (iustitia distributiva, iustitia commutativa, iustitia legalis).
1.
Keadilan distributif menyangkut hal-hal umum, seperti jabatan, pajak dsb. Hal-hal
ini harus dibagi menurut kesamaan geometris.
2.
Keadilan tukar-menukar menyangkut barang yang ditukar antara pribadi
seperti jual-beli dsb. Ukurannya bersifat aritmetis. Tentang keadilan balas
dendam (iustitia vindicativa) tidak
dibicarakan Thomas secara eksplisit. Kiranya keadilan ini termasuk keadilan
tukar-menukar.
3.
Keadilan legal menyangkut keseluruhan hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa
kedua keadilan tadi terkandung dalam keadilan legal ini. Epikeia juga termasuk keadilan legal, disamakan dengan pandangan
yang bijaksana atas perkara hukum.
Keadilan legal ini menuntut
supaya orang tunduk pada semua undang-undang, oleh karena undang-undang itu
menyatakan kepentingan umum. Oleh karena menaati hukum adalah sama dengan
bersikap baik dalam segala hal, maka keadilan legal disebut juga keadilan umum
(iustitia generalis). Jelaslah bahwa
dalam hal ini Thomas mengikuti pandangan Aristoteles.
Pandangan Thomas terhadap negara
sama dengan pandangan Aristoteles. Negara adalah masyarakat yang sempurna (societas perfecta). Dalam masyarakat ini
manusia mendapat perlengkapannya sebagai makhluk sosial. Orang tidak
memperhatikan kepentingan umum tidak berlaku sebagai makhluk sosial dan tidak
sampai pada kesempurnaan hidup.
Seperti bagi Aristoteles demikian
juga Thomas, negara merupakan masyarakat yang menyeluruh. Maka perkawinan,
keluarga, perusahaan hanya merupakan bagian dari keseluruhan negara. Hanya
negara berhak untuk menetapkan hukum positif.
Thomas berpendapat, bahwa batasan
kewibawaan seorang penguasa harus ditentukan oleh Gereja, sebagai pemimpin jiwa
manusia. Gereja adalah masyarakat sempurna juga, dalam bidangnya sendiri, yakni
bidang rohani. Maka apa yang harus merupakan isi hukum alam, tidak ditentukan
oleh negara melainkan oleh Gereja.
Sejak abad XIII sarjana yang
mengajar pada universitas pada umumnya menerima sistem filsafat dan teologi
Thomas Aquinas. Sesudah pengaruh Thomas berkurang pada abad XV, pada abad XVI
sistem Thomas dihidupkan kembali. Hal ini terjadi sekali lagi pada akhir abad
XIX dan awal abad XX. Aliran ini yang
disebut Neo-Thomisme disahkan oleh pimpinan Gereja Katolik sebagai ajaran agama
yang sejati.
Namun dari beberapa pihak muncul
juga serangan terhadap teori-teori Thomas:
-
Pertama-tama dikemukakan, bahwa dasar hukum alam, yakni hukum abadi.
Mungkin dapat dikatakan sesuatu tentang rencana Allah secara abstrak dan umum,
akan tetapi tak mungkin menafsirkan situasi-situasi yang konkret sebagai
kehendak Allah sendiri.
-
Lagi pula pengertian Thomas tentang alam berkaitan dengan tanggapannya tentang
hakekat manusia yang abstrak. Manusia dipandang lepas dari hubungan dengan
orang lain, lepas juga dari segala perubahan karena perkembangan hidup.
Akibatnya ialah bahwa hukum alam ditanggapi sebagai hukum yang berlaku untuk
sekarang dan selama-lamanya.
-
Soal yang paling nampak tidak sesuai dengan teori hukum alam adalah
perbudakan. Menurut pandangan filsuf-filsuf klasik, perbudakan termasuk hukum
alam, sedangkan untuk orang modern perbudakan dianggap menentang hak-hak asasi
manusia. Thomas menjawab, bahwa pada zaman dulu belum terdapat pengetahuan yang
sungguh tentang hukum alam, tetapi hukum alam sendiri tidak berubah. Bahwa
mungkin pada zaman kita juga belum nyata apa yang termasuk hukum alam, sehingga
belum dapat dipastikan isinya. Dapat dikatakan pula, bahwa kebenaran tidak
boleh dipandang lepas dari hidup, sebab berkembang bersama manusia sendiri.
Suatu hukum alam lepas dari pengetahuan manusia tidak ada artinya.
Daftar Pustaka
Algra, N. E. and K.
Van Duyvendijk, diterjemahkan oleh J.C.T.
Simorangkir dkk. 1983. Mula Hukum. Bandung: Bina Cipta
Ali,
Zainuddin. 2008. Filsafat Hukum.
Jakarta: Sinar Grafika
Cahyadi, Antonius.
Manullang, Fernando. 2007. Pengantar ke
Filsafat Hukum.Jakarta: Kencana
Huijbers,
Theo. 1982. Filsafat Hukum dalam Lintasan
Sejarah. Yogyakarta: Kanisius
Purbacaraka,
Purnadi. Soekanto, Soerjono. 1984. Renungan
tentang Filsafat Hukum. Jakarta: Rajawali
Pers
Rasjidi, Lili.
Sidharta, Arief. 1989. Filsafat Hukum
Mazhab dan Refleksinya. Bandung: Remadja Karya
CV
[1] Buku Filsafat Hukum
Mazhab Dan Refleksinya oleh DR. Lili Rasjidi, S.H., LL.M. dan B.Arief Sidharta,
S.H. penerbit Remadja Karya CV Bandung-1989 hal 17.
[3] Buku Pengantar ke
Filsafat Hukum oleh Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manulang penerbit
Kencana-2010 hal 49.
[4] Algra, N.E. and
K.Van Duyvendijk, diterjemakan oleh
J.C.T Simorangkir dkk,. 1983. Mula Hukum. Bandung: Bina Cipta hal 99
[5] Huijbers, Theo. 1982. Filsafat
hukum dalam lintasan sejarah. Yogyakarta: Kanisius
[6] Algra, N.E. and
K.Van Duyvendijk, diterjemahkan oleh
J.C.T. Simorangkir dkk. 1983. Mula Hukum. Bandung: Bina Cipta hal 105
Tidak ada komentar:
Posting Komentar