Peluang Usaha

clicksor

sitti

Anda Pengunjung ke

Kamis, 16 Desember 2010

Pelanggaran HAM Berat

Download Disini : http://www.ziddu.com/download/12987654/PelanggaranHAMBeratdalamUUno.doc.html

Pelanggaran HAM Berat dalam UU no.26 tahun 2000 sebagaimana tercantum dalam pasal 7 hanya meliputi dua macam kejahatan yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. [1] Implikasinya, secara teoretis, para pelanggar HAM yang bisa diadili menjadi semakin “sedikit” karena kejahatan yang dapat diadili oleh Pengadilan ini hanya meliputi dua jenis kejahatan itu saja, delik kejahatan Internasional (delicta juris gentium) diluar dua jenis kejahatan tersebut seperti misalnya kejahatan agresi dan kejahatan perang serta pelanggaran terhadap Konvensi Geneva tidak ter-cover di dalam Undang-Undang ini. Oleh karena itu Pengadilan HAM ini dikhawatirkan oleh banyak pihak tidak akan dapat memberikan efective remedy bagi korban pelanggaran HAM. Padahal penjelasan Undang-Undang ini secara eksplisit menyatakan bahwa UU ini mengacu pada Statuta Roma. Jika memang demikian, mengapa tidak juga dimasukkan Kejahatan Perang dan Kejahatan Agresi ke dalam yurisdiksi pengadilan HAM dalam UU no.26/2000? Selain itu, ternyata ada ketidaksesuaian yang sangat signifikan antara bentuk-bentuk pelanggaran berat hak asasi manusia sebagaimana yang dicantumkan dalam UU no.26/2000 dengan definisi tindak kejahatan serupa menurut hukum internasional.
a. Tentang Konsep Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Sementara, dalam bagian mengenai definisi konsep-konsep tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, dan tentang tanggung jawab komando UU No.26/2000 mengadopsi pengertian yang terdapat dalam Statuta Roma. Sayangnya adopsi tersebut dilakukan dengan beberapa distorsi yang pada akhirnya melemahkan konsep kejahatan terhadap kemanusian itu sendiri. [2] Pengertian “kejahatan terhadap kemanusiaan” dalam pasal 9 UU no.26/2000 juga sumir karena tidak ada parameter yang tegas untuk mendefinisikan unsur “meluas”, “sistematik” dan “intensi” yang menjadi unsur utama bentuk kejahatan ini. Ketidakjelasan defenisi menyangkut ketiga elemen tersebut mengakibatkan (pembuktian) pemidanaan terhadap kejahatan-kejahatan yang dimaksud akan menjadi sulit.
Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang rumusannya terdapat dalam pasal 9 UU No 26 tahun 2000 berbunyi sebagai berikut:
“Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinyabahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, …”
Rumusan di atas memiliki kelemahan mendasar yaitu: pertama, tidak jelasnya defenisi kejahatan terhadap kemanusiaan dari tiga elemen penting yaitu: elemen meluas (widespread), sistematik (systematic) dan diketahui (intension). Ketidakjelasan defenisi ketiga elemen itu membuka bermacam interpretasi di pengadilan. (Sebagai perbandingan lihat pengertian dalam Statuta Roma dimana “intension” didefinisikan dengan tegas. [3] ) Akibatnya pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam pasal yang sama [4] menjadi sulit sehingga dakwaan menjadi sumir.
Dalam praktek hukum yang menangani kejahatan terhadap kemanusiaan seperti misalnya di pengadilan Nuremberg, ICTR, dan ICTY, para hakim melakukan interpretasi terhadap unsur meluas dengan menekankan pada luasan geografis dan massivitas jumlah korban; sementara terhadap unsur sistematik implementasi kebijakan diindikasikan melalui adanya pola yang sama dan berulang-ulang dan metodik. [5] Mengingat bahwa tidak ada aturan yang secara eksplisit mengharuskan pengadilan untuk mengadopsi praktek-praktek hukum internasional, maka tidak ada kepastian apakah interpretasi semacam ini juga akan digunakan dalam pengadilan HAM di Indonesia. Kondisi yang sama juga berlaku terhadap elemen “diketahui”.
Kedua, adanya problematika yang timbul dari penerjemahan yang keliru dalam pasal ini oleh undang-undang yaitu kata: directed against any civilian population (bahasa Inggris, pengertian ini berasal Statuta Roma pasal 7) yang seharusnya diartikan: ditujukan kepada populasi sipil, oleh undang-undang ini diartikan: ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kata “langsung” ini bisa berimplikasi bahwa seolah-olah hanya para pelaku langsung di lapangan sajalah yang dapat dikenakan pasal ini sedangkan pelaku diatasnya yang membuat kebijakan tidak akan tercakup oleh pasal ini. Penggunaan kata “penduduk” dan bukannya “populasi” sendiri telah menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasan-batasan wilayah, dan hal ini secara signifikan juga menyempitkan target-target potensial korban kejahatan terhadap kemanusiaan hanya pada warga negara di mana kejahatan tersebut berlangsung.
Majelis hakim pada ICTY dan ICTR mengadopsi pengertian yang luas mengenai “populasi sipil”. Untuk melindungi mereka yang potensial menjadi korban kejahatan terhadap kemanusiaan, pengertian populasi sipil diartikan juga sebagai siapa saja yang dalam batasan waktu tertentu secara aktif terlibat dalam kejadian dimana ia berada dalam posisi mempertahankan diri dalam kondisi tertentu dapat dianggap sebagai korban kejahatan terhadap kemanusiaan. Termasuk didalamnya anggota “gerakan perlawanan” yang telah menyerah dan tidak bersenjata. [6] Adopsi definisi yang seperti ini sulit diharapkan terjadi dalam Pengadilan HAM mengingat anggota gerakan perlawanan di Indonesia cenderung dianggap sebagai “pemberontak” dan tidak dianggap sebagai “penduduk sipil”.
Selain itu juga distorsi penerjemahan konsep dalam klasifikasi perbuatan di bawah definisi kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan penerjemahan “persecution” menjadi “penganiayaan” dalam UU No 26 tahun 2000 juga merupakan tantangan pembuktian yang tak mudah bagi jaksa. Karena tidak ada penjelasan definitif yang detail, maka acuan definisi dirujuk kepada definisi “penganiayaan” dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP). Padahal, persecutionmemiliki arti yang lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik ataupun ekonomis. Artinya tidak mensyaratkan perbuatan yang langsung secara ditujukan pada fisik seseorang. [7] Dengan digunakannya kata “penganiayaan” maka tindakan teror dan intimidasi yang sifatnya non-fisik atas seseorang atau kelompok sipil tertentu atas dasar kepercayaan politik menjadi tidak termasuk dalam kategori tersebut, dan Jaksa harus membuktikan adanya tindakan fisik yang terjadi dan bukan hanya akibat yang ditimbulkan.
Dalam Statuta roma, unsur meluas atau sistematik juga dapat ditelusuri melalui unsur tindak pidana (element of crime) yang dilakukan pada korban sipil, artinya, meluas dapat tidak hanya mengacu pada massivitas korban atau luasan wilayah kejadian, melainkan juga bisa diacu pada intensivitas bentuk kejahatan yang dilakukan. Prinsip ini terpapar dengan jelas dalam rumusan pasal 7 ayat 2 mengenai penjelasan definitif atas “extermination” (pemusnahan): “… includes the intentional infliction of conditions of life, inter alia the deprivation of access to food and medicine, calculated to bring about the destruction of part of a population.” Dalam rumusan pasal 9 UU no.26/2000 terma “calculated” tidak disertakan. Dengan tidak adanya “pertimbangan” ini maka bisa dibilang secara otomatis membatasi pembuktian unsur meluas semata-mata pada jumlah korban dan luasan geografis.
Selain itu dalam UU No.26/2000 tidak terdapat pencantuman secara detail dan eksplisit mengenai jenis tindakan kejahatan seksual yang masuk dalam yuisdiksi Pengadilan HAM. Dalam pasal 9g tidak menyertakan penjelasan definitif mengenai “bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara” Ini berimplikasi pada bisa diinterpretasikannya kejahatan seksual lain sebagai bentuknya yang setara, padahal di Statuta Roma yang setara adalah bobot kekerasan/kejahatannya (equal gravity).
b. Konsep Tanggung Jawab Komando
Ketentuan pidana dalam UU no.26/2000 juga melingkupi tanggung jawab komando (command responsibility). Namun pasal 42 ayat 1 Undang-Undang ini mempunyai beberapa kelemahan dengan konsekuensi hukum yang besar. Pengertian tanggung jawab komando dalam pasal ini dijabarkan sebagai berikut:
“komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komando militer dapatdipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif, …”
Pengertian di atas, yang menggunakan kata “dapat” (could) dan bukannya “akan” (shall) atau “harus” (should), secara implisit menegaskan bahwa tanggung jawab komando dalam kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang diatur melalui UU ini bukanlah sebuah hal yang bersifat otomatis dan wajib. Pasal ini secara tegas menguatkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 9 yang cenderung ditujukan pada pelaku langsung di lapangan. Dengan demikian Jaksa Penuntut Umum harus dapat menunjukkan dan membuktikan adanya “keperluan” (urgensi) untuk mengadili para penanggung jawab komando, dan bukan hanya pelaku lapangan saja.
Lebih lanjut, pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggung jawab komando untuk “seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Padahal, sumber dari pasal spesifik tersebut, yaitu pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma secara tegas menyatakan bahwa komandan militer seharusnya “mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan…” [8]
Distorsi ini berarti mengabaikan adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Meskipun dalam pasal 42 ayat 1 (b) pengabaian ini dikoreksi dengan kalimat “komando militer tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut, …” namun tidak ada definisi dan batasan yang tegas tentang apa yang “layak” dan “perlu” dilakukan oleh penanggung jawab komando. [9]
Selain itu, pasal ini berimplikasi pada pengadilan terpaksa menekankan fokus perhatiannya pada proses, yaitu apakah tindakan yang dilakukan sudah layak atau tidak, apakah perlu atau tidak (obligation of conduct), dan secara otomatis mengabaikan pada kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh penanggung jawab komando berhasil mencegah dan menghentikan kejahatan atau tidak (obligation of result). Padahal, selain harus bertanggung jawab jika menjadi pelaku langsung, penganjur, atau penyerta, seorang atasan seharusnya juga bertanggung jawab secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas (dereliction of duty) dan kealpaan (negligence). Standar hukum kebiasaan internasional untuk “kealpaan” dan “kelalaian” dalam arti yang luas menyatakan bahwa seorang atasan bertanggung jawab secara pidana jika: (1) ia seharusnya mengetahui (should have had knowledge) bahwa pelanggaran hukum telah dan atau sedang terjadi, atau akan terjadi dan dilakukan oleh bawahannya; (2) ia mempunyai kesempatan untuk mengambil tindakan; dan (3) ia gagal mengambil tindakan korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu. [10] Tentang apakah seseorang tersebut “seharusnya mengetahui” harus diuji sesuai keadaan yang terjadi dan dengan melihat juga orang/pejabat lain yang setara dengan tertuduh.
Pasal 7(3) Statuta ICTY juga secara interpretatif mencerminkan standar kebiasaan internasional tersebut. Pasal tersebut mengakui adanya pertanggungjawaban pidana jika seseorang “mengetahui atau mempunyai alasan untuk tahu” (knew or had reason to know) kelakuan bawahannya. Kalimat ini berkaitan dengan adanya kegagalan untuk mencegah suatu kejahatan atau menghalangi tindakan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh bawahannya atau menghukum mereka yang telah melakukan tindak pidana. Meskipun pasal ini memfokuskan pada keadaan dimana seorang bawahan akan melakukan suatu tindak pidana atau telah melakukannya, tidak ada indikasi bahwa tanggung jawab pidana tersebut akan dihilangkan jika ada tindakan yang telah dilakukan oleh si atasan namun pelanggaran / kejahatan oleh bawahan tetap terjadi. [11]
Penutup: Rekomendasi Bahan Bacaan
Yves Beigbeder, Judging War Criminals: The Politics of International Justice (New York: St Martin’s Press, 1999)
Benjamin D Ferencz, An International Criminal Court: A Step Toward World Peace: A Documentary History and Analysis (London: Oceana Publications, 1980)
Arnold C Brackman, The Other Nuremberg: The Untold Story of the TokyoWar Crimes Trials (New York: Quill, 1989)
Richard H Minear, Victor’s Justice: The Tokyo War Crimes Trial (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1971)
B V A Röling & C F Rüter (eds), The Tokyo Judgment (amsterdam: APA University Press, 1977) 2 vols. à berisi full text dari keputusan pengadilan Tokyo lengkap beserta lampiran dan dissenting opinion.
International Military Tribunal for the Far East, The Tokyo Major War Crimes Trial: the Records of the International Military Tribunal for the Far East: with an authoritative commentary and comprehensive guide, annotated, compiled, & edited by R. John Pritchard (Lewiston, NY published for the Robert MW Kempner Collegium by Edwin Mellen Press, 1998)


________________________________________
[1] Pasal 7 UU no.26 tahun 2000
[2] sebagai gambaran awal ketidaksinkronan UU no.26 tahun 2000 dengan Statuta Roma, lihat Penjelasan Pasal Demi Pasal (bagian II), pasal 7 UU no.26 tahun 2000, dinyatakan “kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan Rome Statute of the International Criminal Court (pasal 6 dan pasal 7)”. Namun dalam penjelasan untuk pasal 9 huruf a dinyatakan “yang dimaksud dengan pembunuhan adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana”.
[3] Lihat Pasal 30 ayat 2 & 3, Statuta Roma, yang mengatur mengenai mental element: “For the purposes of ths article, a person has intent where: (2) (a) In relation to conduct, that person means to engage in the conduct; (b) In relation to a consequence that person means to cause that consequence or is aware that it will occur ordinary course of events. (3) For the purposes of this article,”knowledge” means awareness that a circumstance exists or consequence will occur in thw ondinary course of events. “Know” and “knowingly” shall be construed accordingly.”
[4] Pasal 9 UU no.26/2000
[5] Lihat antara lain keputusan hakim dalam kasus Akayesu, ICTR (Case no.ICTR-96-4-T), 2 September 1998, paragraf 580; kasus Tihomir Blaskic, ICTY (Case no. IT-95-14-T), 3 Maret 2000, paragraf 203 dan 206. Lihat juga penegasan pengertian serupa dalam Draft Code of Crimes Against the Peace and Security of Mankind, Laporan International Law Commission dalam sidang sessi ke 48, (UN Doc. A/51/10) paragraf 94-95 (Commentary on Article18 part 4): “…committed in a systematic manner meaning pursuant to a preconceived plan or policy. The implementation of this plan or policy could result in the repeated or continuous commission of inhumane acts… committed on a large scale meaning that the acts are directed against a multiplicity of victims.”
[6] Lihat “Opinion and Judgment” dalam kasus Milenko Tadic (ICTY). Masih dalam ICTY, lihat juga Keputusan Peninjauan Kembali Dakwaan berkaitan dengan aturan nomor 61 dalam Rules of Procedures and Evidence, ICTY Case no. IT-95-13-R61 (Kasus Vukovar), 3 April 1996, Bab I paragraf 29. Secara subsekuen, ICTR dalam kasus Akayesu juga mengadopsi definisi yang secara substansial serupa.
[7] Bandingkan pengertian “persecution” dalam ICC atau ICTY Statute dengan pengertian “penganiayaan” dalam UU No 26/2000 pasal 9(h). Penganiayaan sebagaimana pengertian dalam KUHP dalam bahasa Inggris setara (bukan sama secara definitif) dengan pengertian “assault” yang menunjuk pada penyerangan secara langsung terhadap fisik seseorang. Lihat juga M Cherif Bassiouni, Crimes Against Humanity in the International Law, Kluwer Law International , 1999, hal 247.
[8] Pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma: “That military commander or person either knew or, owing to the circumstances at the time, should have known that the forces were committing or about to commit such crimes;” (garis bawah dari penulis)
[9] Batasan definitif tanggung jawab komando yang kabur ini juga diulangi pada pasal 42 ayat 2 yang mengatur tentang tanggung jawab atasan (polisi dan pejabat sipil).
[10] Lihat artikel Jordan J. Paust “Superior Orders and Command Responsibility” dalam M Cherif Bassiouni (ed.), International Criminal Law, Volume I, Kluwer International, 1999, hal 236-237; Lihat juga artikel Anthony D’Amato, Superior Orders vs Command Responsibility, American Journal of International Law, edisi 80 (1986), hal. 604, 607-608; Penjelasan yang lebih panjang lebar dapat dilihat pada tulisan William Eckhardt, Command Criminal Responsibility: A Plea for a Workable Standard, Military Law Review, edisi 97 (1982).
[11] Seperti yang ditegaskan kembali dalam Laporan Sekjen PBB tentang Resolusi Konflik Keamanan 808, UN Doc. S/25704 (1993) paragraf 56.
1. Pelanggaran HAM berat (PHB) atau dikenal dengan“gross violation of human rights” atau “greaves breaches of human rights”sebagaimana disebut secara eksplisit dalam Konvensi Jenewa 1949 danprotokolnya, tidak dikenal dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.Di dalam Statuta Roma (1998) sebutan tersebut ada padanannya tetapi denganistilah lain, yaitu “the most serious crimes of concern to the internationalcommunity as a whole”. Dalam Statuta Roma (1998) pengertian tersebutditegaskan meliputi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,kejahatan perang,dan agresi yang merupakan yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional(PPI).Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur PHB yangmeliputi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

2. Banyak orang bertanya mengapa Undang-undangtersebut tidak memuat seluruh jenis pelanggaran HAM yang terdapat dalamStatuta Roma(1998). Atas pertanyaan ini maka perlu disampaikan beberapapertimbangan yaitu, pertama, dua jenis pelanggaran HAM lainnya( kejahatanperang dan agresi) sampai saat ini masih dalam perdebatan negara anggota PBBdan Indonesia belum menentukan sikapnya secara tegas terhadap keduanya. Kedua, StatutaRoma (1998) sudah diadopsi dalam Konprensi Diplomatik di Roma namun Indonesiabelum meratifikasi Statuta Roma (1998) sehingga tidak ada kewajiban pemerintahIndonesia untuk memenuhi seluruh ketentuan dalam Statuta Roma tersebut. JikaUndang-undang Nomor 26 tahun 2000 mengadopsi sebagian ketentuan dalam StatutaRoma tersebut adalah dilatarbelakangi kepentingan Indonesia sebagai negara yangberdaulat. Ketiga, kepentingan pemerintah untuk mengundangkan UU nomor 26 tahun2000 didorong oleh kehendak untuk memenuhi prinsip Komplementaritas(complementarity principles) yang dianut oleh Statuta Roma (1998) tersebutsehingga dengan cara demikian Undang-undang nasional Indonesia (UU Nomor 26tahun 2000) mengenai peradilan atas perkara PHB sudah memenuhi standar minimumhukum internasional tersebut. Keempat, karena Statuta Roma 1998 tersebutmerupakan perjanjian internasional yang tidak boleh direservasi sama sekalimaka ratifikasi terhadap Statuta Roma tersebut berdampak mengikat secara penuhnegara peratifikasi sehingga pemerintah Indonesia masih harus berhati-hatiuntuk meratifikasinya. Untuk kepentingan Indonesia kebijakan pemerintah yangtelah mengadopsi beberapa prinsip dan ketentuan dalam Statuta Roma tersebutmerupakan kebijakan yang dianggap tepat untuk saat ini dan tidak akanmembahayakan kedaulatan negara RI.

3. Ada perbedaan mendasar dan penyimpangan terhadapprinsip-prinsip yang dianut dalam Statuta Roma (1998) dibandingkan denganUndang-undang Nomo 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Perbedaanpertama bahwa, Statuta Roma 1998 menganut prinsip legalitas secara penuhyaitu yang melarang pemberlakuan surut atau retroaktif terhadap pelanggaran HAMyang terjadi sebelum berlakunya Statuta Roma 1998. Sedangkan UU Nomor 26 tahun2000 membolehkan berlaku surut dengan pembentukan Pengadilan HAM Adhoc melaluimekanisme DPR RI. Perbedaan kedua, bahwa Statuta Roma 1998 tidak menganutprinsip Ne Bis in Idem secara mutlak karena sesuai dengan ketentuan Pasal 20ayat (3) putusan pengadilan nasional yang telah memperoleh kekuatan hukum tetapdapat dikesampingkan dengan pertimbangan: (a) proses peradilan dimaksudkanuntuk melindungi seseorang dari pertanggungan jawab pidana atas kejahatan yangtelah dilakukannya; dan (b) proses peradilan tidak dilaksanakan secaraindependen dan terbuka sesuai dengan norma-norma hukum internasional yangberlaku. Perbedaan ketiga, bahwa Statuta Roma 1998 menerapkan ketentuan yangdisebut “issue of admissibility” (Article 17), yaitu bahwa PPI dapatmenetapkan bahwa kasus pelanggaran HAM tidak dapat diadili oleh PPI ataspertimbangan sebagai berikut:
(a) kasus tersebut sedang dalam penyidikan atau penuntutan olehnegara yang berwenang untuk melakukannya, kecuali jika negara ybs tidakberkeinginan atau tidak mampu untuk melakukan tugasnya tersebut;
(b) kasus tersebut sudah disidik oleh suatu negara yang memilikiyurisdiksi atas kasusnya dan negara tersebut sudah memutuskan untuk tidakmelakukan penuntutan terhadap orang yang bersangkutan kecuali putusan tersebutberasal dari ketidakinginan atau ketidakmampuan negara ybs untuk menuntut;
(c) Orang yang bersangkutan telah diadili untuk pelanggaran HAM yangtelah dilakukannya, dan peradilannya oleh PPI tidak diperbolehkan berdasarkanPasal 20 ayat (3) ; dan
(d) kasus tersebut tidak cukup serius untuk digolongkan ke dalamPelanggaran HAM.
Perbedaan keempat, yurisdiksi ICC(Statuta Roma,1998) meliputi:empat jenis pelanggaran HAM yaitu:Genosida, Kejahatan atas Kemanusiaan,Kejahatan Perang dan Agresi; dengan catatan bahwa untuk kejahatan agresi masihdipandang perlu dirumuskan kembali dengan jelas tentang lingkup pengertian dandefinisinya selama 7(tujuh) tahun sejak berlaku efektif Statuta Roma,1998.Dengan demikian maka kejahatan agresi atas keberatan pihak Amerika Serikattelah ditangguhkan pemberlakuannya sampai ada kesepakatan peserta/peratifikasistatuta tersebut tentang definisi agresi. Sedangkan UU nomor 26 tahun 2000hanya mengakui dua jenis pelanggaran HAM yaitu genosida dan Kejahatan atasKemanusiaan.
Perbedaan kelima, bahwa Statuta Roma,1998 hanya mengakui Instansipenyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh pihak Kejaksaan; sedangkan UUnomor 26 tahun 2000 hanya mengakui KOMNAS HAM sebagai lembaga independensatu-satunya yang berwenang melakukan penyelidikan, dan pihak Kejaksaan yangberwenang melakukan penyidikan dan penuntutan.
Perbedaan keenam, bahwa Statuta Roma 1998 mengakui hukuminternasional dan putusan-putusan PPI menjadi acuan dalam mengadili kasuspelanggaran HAM berdasarkan ketentuan dalam Statuta Roma,1998 . Sedangkan UUNomor 26 tahun 2000 hanya mengakui seluruh ketentuan dalam UU ini dan ketentuanperaturan perundang-undangan hukum acara pidana nasional.
Perbedaan ketujuh, bahwa Statuta Roma,1998 mengangkat danmenempatkan Hakim tetap yang berasal dari beberapa negara; sedangkan, UU nomor26 tahun 2000 memerintahkan pengangkatan Hakim non karir dan Jaksa PenuntutUmum non-karir yang berasal dari unsur masyarakat.

4. Disamping perbedaan mendasar sebagaimana diuraikan di atas adabeberapa pertimbangan diberlakukannya Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 baikpertimbangan yuridis, sosiologis, politis maupun pertimbangan filosofis.Pertimbangan yuridis pemberlakuan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 bahwapertama, peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dapat menjangkausetiap pelanggaran HAM berat karena rumusan pelanggaran HAM berat tidak samadengan rumusan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kedua, bahwasifat atau kualitas tindak pidana atau kejahatan yang terkandung dalampelanggaran HAM berat adalah kejahatan yang sangat luar biasa atau “extraordinary crimes”; sedangkan ketentuan dalam KUHP hanya mengatur kualitastindak pidana atau kejahatan yang termasuk “ordinary crimes”. Ketiga, sistemhukum pidana di Indonesia masih memungkinkan pemberlakuan ketentuan hukumpidana khusus yang ditujukan untuk mengatur setiap kejahatan yang belum diaturdalam KUHP dan memiliki sifat khusus atau luar biasa dengan tujuan untukmenciptakan kepastian hukum dan keadilan bagi terutama korban ataukeluarganya.

5. Pertimbangan sosiologis pemberlakuan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 bahwa, perkembangan pelanggaran HAM diIndonesia sudah terjadi sejak peristiwa G 30 S sampai saat ini terutama diTimor Timur dan di beberapa daerah lainnya. Pelanggaran HAM serupa di masa yangakan datang tidak tertutup kemungkinan akan terjadi lebih besar lagi. Indonesia sebagai anggota PBB dan merupakan bagian dari masyarakat internasional telahmeratifikasi instrumen-instrumen internasional mengenai HAM dan telahmemberlakukan Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.Untuk menempatkan secara sejajar dengan bangsa beradab lainnya makapemberlakuan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 merupakan kebijakan dan langkah yang tidak terelakkan.

6. Pertimbangan Politik bahwa pelanggaran HAM beratsangat rentan terhadap pertimbangan politik karena pelanggaran HAM beratdilakukan oleh suatu organisasi kelompok orang yang memiliki kekuasaan dansebagian besar pelanggaran HAM berat dilakukan oleh suatu pemerintahan yang sahterhadap rakyatnya. Untuk mengantisipasi perkembangan pelanggaran HAM beratyang semakin meningkat dan merugikan politik luar negeri Indonesia makapemberlakuan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 merupakan tuntutan peradaban yangtidak terelakkan . Pemberlakuan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 justru ketikamasyarakat internasional dalam wadah PBB telah mengadopsi Statuta Roma 1998yang menetapkan pembentukan Pengadilan Pidana Internasional yang didahuluidengan pembentukan Mahkamah Adhoc Rwanda (1994) dan Mahkamah Adhoc untuk bekasjajahan Yugoslavia (1993). Dilihat dari sisi politik internasional dan nasionalsesungguhnya dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 pemerintahIndonesia secara positip sudah lebih maju dibandingkan dengan negara-negaralain termasuk negara-negara ASEAN.

7. Pertimbangan secara filosofis, bahwa penetapanberlakunya Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 merupakan wujud nyata daripemikiran para pendiri RI sebagaimana dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945yaitu menciptakan kesejahteraan bangsa yang antara lain dilandaskan kepada silakemanusiaan yang adil dan beradab dan menjalin hubungan politik luar negeribebas dan aktif.

8. Statuta Roma 1998 tidak mengenal Pengadilan HAMAdhoc karena Statuta Roma 1998 lebih mengedepankan Pengadilan HAM permanen.Keberadaan Pengadilan HAM Adhoc (PHAc) dimulai sejak dibentuknya MahkamahMiliter di Nuremberg dan di Tokyo untuk para penjahat Perang Dunia Kedua.Keberadaan PHAc ini juga diperkuat dengan dibentuknya Mahkamah Tribunal diRwanda dan di bekas jajahan Yugoslavia. Pembentukan kedua Mahkamah Adhoc tersebut dilandaskan pada Resolusi Dewan Keamanan PBB sedangkan ICC tidakdibentuk atas dasar resolusi melainkan atas dasar kesepakatan negara-negarapeserta. ICC merupakan suatu Perjanjian atau Treaty sehingga pembentukannorma-normanya dan pemberlakuannya sangat tergantung dari consent darinegara-negara yang bersangkutan.

9. Pembentukan PHAc di Indonesia diamanatkan dalamUndang-undang Nomor 26 tahun 2000 dan pembentukannya untuk mengadilipelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini. Didalam Undang-undang ini disyaratkan bahwa pembentukkan PHAc ini sangattergantung dari permintaan DPR RI kepada Pemerintah. Hal ini disebabkanpemberlakuan surut kebelakang terhadap pelanggaran HAM berat di masa lalumerupakan penyimpangan atas asas legalitas yang berlaku universal dan jugadilarang dalam Statuta Roma,1998; sehingga prosedur pembentukkan PHAc ini perludilakukan secara khusus. Alasan kedua ialah bahwa pelanggaran HAM berat di masalampau merupakan perkosaan terhadap hak-hak asasi rakyat yang telah menimbulkanluka dalam dan dendam berkepanjangan yang akan berakhir dengan disintegrasibangsa. Jika terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak diadili maka akan ada nilai keadilan yang tidak dipenuhi, yaitu nilai keadilan restoratifsementara nilai keadilan retributive sudah terwakili dengan dipidananya pelakupelanggaran HAM berat masa akan datang. Mengingat pelanggaran HAM berat ini saratdengan muatan politis maka akan terjadi ketidakseimbangan antara nilai keadilanretributive di satu sisi dan nilai keadilan restoratif di sisi lain. Harapanpembentukan PHAc adalah untuk menciptakan nilai-nilai rekonsiliasi nasionaldalam mengatasi kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.

10. Proses pembentukan PHAc berdasarkan Undang-undang Nomor 26 tahun2000 harus didahului oleh penyelidikan proaktif oleh KOMNAS HAM sebagai lembagasatu-satunya yang berwenang melakukan penyelidikan terhadap kasus pelanggaranHAM berat. Kedudukan KOMNAS HAM dalam UU Nomor 26 tahun 2000 sangat kuat karenahasil penyelidikannya bersifat pro-justitia. Kedudukan ini sangat jauh berbedadengan kedudukannya di dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HakAsasi Manusia. Kedudukan KOMNAS HAM dalam UU Nomor 26 tahun 2000 memilikiimplikasi bahwa KOMNAS HAM tidak boleh bersifat pasif dan menunggu permintaanmasyarakat atau menunggu pihak Kepolisian untuk bertindak. Bahkan kedudukannyasebagai lembaga pemantau berdasarkan Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentangHAK ASASI MANUSIA, merupakan modal dasar untuk meningkatkan kedudukan danperannya sebagai lembaga satu-satunya yang dapat melaksanakan penyelidikan ataspelanggaran HAM berat. Setelah fungsi penyelidikan selesai dilaksanakan makaKOMNAS HAM bekerjasama dengan pihak Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjutidengan penyidikan. Setelah fungsi peyidikan selesai dilaksanakan maka KejaksaanAgung melalui Presiden dapat memberitahukan DPR RI untuk segera memintapemerintah membentuk Pengadilan HAM Adhoc.

11. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentangPengadilan Hak Asasi Manusia dan Kedudukan KOMNAS HAM yang diperkuat di dalamUndang-undang tersebut maka tidak ada alasan masyarakat internasional menuntutpembentukan Mahkamah Adhoc untuk Kasus Timot Timur dan kasus lainnya.Pernyataan ini sejalan dengan prinsip komplementaritas yang secara eksplisitdicantumkan dalam aliena kesepuluh dari Piagam Statuta Roma 1998 dan Artikel 17dan artikel 20 Statuta tersebut. Yang sangat penting dalam implementasiUndang-undang Nomor 26 tahun 2000 dan memerlukan kesungguhan seluruh komponenbangsa Indonesia ialah artikel 17 ayat 1 huruf (b) yang menegaskan dua katakunci yaitu: unwilling or inability. Sebagaimana telah sayauraikan dimuka,kedua kata kunci tersebut sangat menentukan dapat atau tidaknyayurisdiksi ICC berlaku terhadap suatu negara dan menggantikan jurisdiksipengadilan nasional.

12. Berdasarkan Statuta Roma,1998, dan acuan Undang-undang Nomor 26tahun 2000 maka keberhasilan penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesiasangat tergantung dari bukan saja peranan dan pemahaman KOMNAS HAM danKejaksaan Agung terhadap kedua perangkat hukum tersebut melainkan jugatergantung dari saling pengertian dan kerjasama kedua lembaga tersebut. Suatuproses peradilan terhadap pelanggaran HAM tidak akan dapat berjalan secaraimparsial dan terbuka jika proses penyelidikan dan penyidikan tidakdilaksanakan secara profesional dan memihak pula.

13. Penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia melalui jalur pengadilan(in-court system) harus dilandaskan kepada prinsip-prinsip: non-impunity,transparansi, imparsial, dan due-process of law.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar