Peluang Usaha

clicksor

sitti

Anda Pengunjung ke

Kamis, 02 Desember 2010

KIDUNG CAMAR PULANG

Download Disini : http://www.ziddu.com/download/12783124/KIDUNGCAMARPULANG.doc.html

Badai dan kabut yang berbaur membuat suasana kian mencekam. Vita berusaha menerobos tantangan alam itu cuma dengan lampu senter kabutnya. Ia nggak peduli air hujan yang sudah menyelusup flanelnya, melewati raincoat kuningnya. Ia harus buru-buru sampai ke arah suara ribut di lembah gunung yang ditapakinya.
"Vita, syukur elo sampai juga! Kita harus segera membawanya turun," Arief menunjuk seorang peserta pendidikan dan latihan dasar yang terbaring.
Bibir cowok itu tampak kelu, sesekali bergetar seperti hendak meneriakkan kesakitannya. Vita langsung menggigit bibirnya sewaktu memeriksa perut cowok itu yang membiru. Ternyata ia tak cuma dehidrasi, tapi juga infeksi lambung.
"Cepat bawa turun! Seharusnya kalian mggak perlu menunggu komando gue! Cepat!" Vita berteriak lantang.
Tenggorokannya yang kering kehausan membuat Vita terjaga dari tidurnya. Rupanya bayangan itu telah membuat keringatnya keluar berlebihan. Diliriknya sebentar jam beker di atas meja. Sebentar lagi pukul enam pagi.
Vita mengusap rambutnya ke belakang. Diteguknya air putih yang biasa ia siapkan di atas meja. Masih agak malas Vita meninggalkan kamar. Ia memandang sederatan foto yang memadati dinding kamar.
Matahari terbenam di pantai selatan, sunrise di puncak Gunung Slamet, kawah putih Gunung Patuha, sampai riak Danau Segara Anakan di Rinjani. Semua menjalin keindahan di balik petualangan yang dilakukan Vita.
Mana mungkin gue ninggalin ini semua, Vita membatin.
"Mbak Vit, ada telepon!" teriak lantang dan ketukan pintu yang dilakukan Deza memaksa Vita segera meninggalkan kamarnya.
"Lain kali nggak perlu teriak-teriak begitu, Za!" hardik Vita kesal.
"Kirain Mbak Vita masih tidur."
Vita bergegas ke ruang tengah setelah sekali lagi memelototi adiknya. Diambilnya gagang telepon yang digeletakkan di atas meja kecil.
"Vita di sini. Dengan siapa nih?" sapa Vita seperti biasanya.
"Yola. Ada berita penting, Vit. Kayaknya kami nggak bisa ngajak elo ke Pantai Pangumbahan lusa," suara Yola terdengar ragu.
"Kenapa? Jangan mentang-mentang gue kena skorsing kampus lantas kalian jauhi. Acara kali ini di luar kegiatan klab kita, kan?" sewot Vita.
"Semalam Rob datang ke markas. Dia nggak ngizinin kami ngajak elo."
"Kenapa? Apa alasannya?"
"Dia nggak jelasin apa-apa. Sebaiknya elo temui Rob aja. Sudah ya, Vit!" Yola buru-buru meletakkan horn-nya. Ia nggak mau kebagian getah atas kesewotan Vita.
Usai mengembalikan gagang telepon ke tempatnya, Vita langsung menutup mukanya dengan telapak tangan. Ia masih belum mengerti dengan rentetan kejadian yang tak menyenangkan hatinya.
Diawali saat ia menjabat komandan lapangan pendidikan dan latihan dasar pada kelompok pecinta alam di kampusnya bulan lalu. Vita tak menyangka cobaan yang harus dihadapinya begitu berat. Salah seorang peserta meninggal akibat dehidrasi dan infeksi lambung saat berada di medan. Peristiwa itu membuat rektorat menskoring ketua panitia dan komandan lapangan selama satu semester. Buntutnya, Papa dan Mama, yang memang sejak semula tak mengizinkan Vita menjadi petualang, membuat pilihan untuknya, tetap berpetualang atau tak pernah menginjak lagi rumah ini.
"Maaf, teman-teman, kali ini gue benar-benar akan berhenti. Ini keputusan orangtua gue, kecuali gue bisa menawarnya suatu saat nanti," cetusVita di depan teman-teman klabnya, tiga minggu yang lalu.
"Gue nggak pernah percaya pada burung camar yang bilang bakal berhenti terbang, padahal belum seluruh pantai dia jelajahi," celetuk Dion, si rambut gondrong.
Vita cuma mengangkat bahunya. Ternyata apa yang dikatakan Dion tak keliru. Ia tak betah melewati hari-harinya begitu saja tanpa cerita-cerita petualangan. Maka saat ia mendengar beberapa temannya akan memburu matahari tenggelam di Pantai Ujung Genteng lantas membantu pelepasan penyu ke laut di daerah Pangumbahan, ia buru-buru mendaftarkan diri dalam rombongan.
Dan kini Rob menghalanginya.
"Mbak Vita, minggu depan aku pinjam peralatan hiking-nya ya," suara Deza membuat kepala Vita terdongak.
"Buat apa? Kamu pengen ikut-ikutan kakakmu ini. Memangnya sudah punya izin dari Papa dan Mama? Mendingan kamu sibuk dalam organisasi kayak Mama dan Papa. Mereka nggak pernah suka anaknya naik gunung atau nyusurin pantai!" Mulut Vita terkunci mendadak. Ia baru sadar Mama sedang berdiri di dekatnya sewaktu Deza mengedipkan mata.
"Mama dengar kamu akan jalan-jalan lagi," ucap Mama sambil duduk di dekat Vita. Kalau di hari Minggu pakaiannya serapi itu sudah bisa ditebak Vita. Pasti Mama akan pergi dengan Papa ke pertemuan suatu yayasan sosial.
"Pasti dari Rob?" terka Vita.
"Semalam waktu kamu dan Deza ke bioskop sampai larut malam, Rob datang ke sini. Dia menunggu kamu cukup lama," tutur Mama.
Dan selama menunggu kedatanganku, Mama mencekoki Rob dengan banyak hal, tebak Vita dalam hati. Dapat dibayangkan cara Mama membujuk Rob agar membantu seorang Vita menjauhi gunung. Mama dengan lihai memilih kalimat dan berbagai cara agar Rob bisa mati-matian mencegah Vita pergi ke Pantai Pangumbahan.
"Rob anak yang baik. Mama senang kamu akrab dengannya. Dia juga merencanakan untuk menghentikan hobinya naik gunung dan semacamnya itu."
Vita terhenyak. Nggak percaya. Bagaimana mungkin si Macan Gunung itu berikrar sedemikian rupa? Apa komentar anggota klab pecinta alam yang lain di kampusnya bila mendengar hal ini? Pasti Mama telah menghasut Rob habis-habisan!
"Lho, mau ke mana kamu?" tanya Mama melihat Vita yang sedang diajak bicara malah berdiri. Padahal ada satu hal yang teramat penting yang masih ingin disampaikan kepada Vita.
"Vita mau menemui Rob, Ma."
"Rob janji akan ke sini siang ini."
"Vita ingin menemuinya pagi ini juga," tegas Vita.
***
"Selamat pagi, Vit!"
Vita cuma terdiam di ambang pintu kamar kos Rob. Ia pandangi pundak kukuh di depannya. Mestinya sejak setengah tahun lalu ia sudah bisa bersandar di pundak itu bila hatinya galau seperti saat ini. Tapi Vita masih riskan melakukannya.
"Masuklah. Gue ke rumah semalam," ujar Rob.
"Sebelum atau setelah kamu datang ke markas, memaksa teman-teman kita untuk melarang gue pergi bareng mereka?" tanya Vita setelah duduk di salah satu kursi.
"Gue lakuin itu untuk kebaikan kita semua," jelas Rob. Ditatapnya mata tegar gadis di depannya. Mata seekor camar.
"Elo terlalu berlebihan, Rob. Gue pikir itu percuma. Gue tetap akan pergi."
"Sekalipun nyokap nggak kasih izin?"
"Gue nggak akan minta izin," sahut Vita.
"Terserah elo kalau memang demikian. Gue tetap megang amanah nyokap elo. Karena elo tetap bersikeras melanggar ikrar elo dulu, maka jangan salahin kalo gue ninggalin elo," ancam Rob datar.
"Rob!" Vita tak percaya kalimat itu akan dilontarkan Rob. Pengorbanan cinta dan hobi Rob untuknya benar-benar mengada-ada, seperti keputusan pemuda cengeng belasan tahun.
"Gunung, pantai, camar... semua pun akan kutinggalkan," susul Rob samar. Ia menyembunyikan alasan kuat yang mendorongnya mengucapkan semua itu. Satu-satunya yang ia inginkan, Vita mengurungkan niatnya kembali berpetualang.
Vita berdiri buru-buru. Sebelum meninggalkan kamar Rob ia masih sempat berkata, "Baik, Rob, kalau itu keputusan elo. Gue hargai. Tapi gue harap elo nggak nyesel dengan keputusan yang tergesa-gesa itu!"
Entah berapa kerikil yang ditendang Vita dalam perjalanan pulang ke rumah.
***
Masih terlalu gelap sebenarnya untuk ke luar tenda. Vita yang mulanya ingin mengawali pagi ini dengan menapaki pantai taman laut Ujung Genteng memilih tempat lain di sebelah barat. Didudukinya bibir dermaga kecil Belanda yang tinggal puing-puing.
Angin pagi yang berhembus membuat Vita menyipitkan matanya. Mata yang masih lelah karena semalam ia tak cukup tidur.
Tadi malam untuk kedua kalinya tidur Vita menyajikan ulang peristiwa satu bulan yang lalu. Ia bangun dari tidurnya dan menafsirkan maksud alam mengulangi mimpi itu.
Apakah ini semata-mata karena kegelisahanku? Vita membatin. Karena aku telah melanggar ikrarku sendiri? Karena Rob meninggalkan aku?
Sejujurnya, Vita memang nggak tenang sejak keberangkatan kemarin subuh. Berangkat dari rumah, ia membawa beban batin atas pelanggaran ikrar yang dibuatnya sendiri. Vita belum tahu apakah Mama dan Papa akan mengusirnya begitu mereka tahu putrinya kembali berpetualang.
Lalu Rob. Teman-temannya seperti tahu kejadian yang dialaminya bersama Rob. Mereka memandang Vita dengan mata menyalahkan. Vita sudah berusaha meyakinkan teman-temannya bahwa mereka harus menghargai keputusannya.
"Pokoknya kalian nggak perlu pusing-pusing mikirin aku dan Rob. Soal Rob kemudian berhenti berpetualang itu juga urusannya. Siapa tahu itu cuma gertak sambalnya. Kita semua tahu kan, bagaimana gilanya ia naik gunung. Dan soal aku sendiri, kalau ada apa-apa yang terjadi denganku, aku akan menanggungnya sendiri. Nggak perlu kalian merasa bersalah," tutur Vita panjang lebar.
Vita cuma yakin ia tak akan apa-apa pergi tanpa Rob. Walau kemudian pada perjalanan baru menyadari bahwa ia merasa kehilangan seseorang yang selalu menemaninya berpetualang. Mati-matian ia menepis perasaan kehilangannya.
Vita memandang sekeliling pantai. Ia berharap perjalanannya kali ini tak diganggu beban apa-apa lagi. Dihirupnya udara pantai segar. Matahari mulai menebarkan cahayanya, menyibak keindahan pantai.
Vita ingin sekali sesekali membawa Mama dan Papa ke pantai atau gunung. Agar mereka dapat mengerti mengapa Vita begitu menyukai gunung dan pantai. Keindahan alam itu tak bisa ia bawa ke rumahnya cuma dengan foto belaka.
Dilihatnya di kejauhan Dion dan Akuy tengah membawa kakap merah hasil belian dari nelayan. Vita bermaksud meninggalkan dermaga menuju taman laut. Tapi mendadak Akuy menyodorkan HP-nya. Rupanya sinyal portal yang dipakai Akur lumayan kuat juga.
"Vit, elo harus pulang!" suara Rob.
"Kenapa? gue baru sehari." Vita bingung.
"Mama meninggalkan kita kemarin sore...."
***
"Teruskan saja petualanganmu, Vit. Lupakan larangan Mama. Sesaat sebelum pergi, Mama sudah menyadari kekeliruannya melarangmu berpetualang. Papa juga tak berhak melarangmu."
Itu kalimat yang dilontarkan Papa saat menyambut kepulangan Vita ke rumah. Hati Vita semakin giris karena kalimat itu terus membayanginya saat ia bersimpuh di makam Mama.
"Maafkan Vita, Ma," Vita bergumam dengan mata basah. Tangisnya sudah habis dalam perjalanan pulang. Ia merasa ada setumpuk dosa yang menghimpitnya. Bagaimana mungkin putri satu-satunya melewati upacara pemakaman yang sakral itu.
"Nggak usah nangis, Vit," pinta Rob halus. Ia memberi kekuatan pada Vita dengan genggaman tangannya.
"Mengapa elo nggak segera nyeritain soal penyakit Mama kalo elo emang udah tahu, Rob?" sesal Vita tanpa maksud menyudutkan Rob.
"Mama yang meminta agar gue nggak ngasih tau. Mama nggak ingin kelihatan lemah di depanmu. Gue pikir, ketegarannya menurun pada elo, Vit."
Vita termangu. Siapa yang menyangka jantung Mama sudah rapuh, padahal sehari-hari ia tampak sehat dan penuh aktivitas. Kalau saja ia tahu sebelumnya, Vita akan terus berada di sisi Mama.
"Elo akan meneruskan petualanganmu, Vit?" usik Rob.
Vita menggeleng. "Gue bisa ninggalin hobi gue itu, asal elo janji nggak ninggalin gue, Rob," kata Vita.
"Gue janji!"
Tanpa ragu-ragu Vita menyandarkan kepalanya di bahu Rob. Sejak pagi tadi di pantai Ujung Genteng, ia menyadari betapa berartinya bahu Rob saat kegalauannya hadir. Pada sosok Rob, Vita akan membawa akhir semua petualangannya.
Vita dan Rob meninggalkan makam yang masih gembur itu. Senja telah larut ditelan malam. Vita berdoa dalam-dalam agar dukanya turut larut bersama senja. ©


TIGA ISTRI SATU KOTA
By Gita Nuari
Di bawah pohon kemboja, dengan sebatang rokok, di depannya, kuburan-kuburan yang bukan familinya, Jumari duduk bersandar di atas selembar koran. Biasanya yang menyapa cuma Pak Kimung, penjaga kuburannya itu dengan sapaan yang tak pernah berubah.
"Lagi cari solusi, Pak Jumari?" Demikian sapanya yang klise.
Apakah sedang merapikan rumput-rumput kuburan atau sedang lewat dengan sepeda pancalnya, Pak Kimung pasti akan menyapa dengan sapaan yang khas seperti itu.
Lelaki berumur lima puluh tahunan ini, selalu datang ke TPU itu sekadar mencari solusi bagi ketiga rumah tangganya. Ruwet atau tidak ruwet, jika akalnya sudah keteteran untuk membagi keadilan kepada istri-istrinya dan juga kepada anak-anaknya, Jumari akan melarikan dirinya ke situ, merokok, memandangi awan gemawan sore hari, membalas sapaan Pak Kimung, dan tentunya mencari solusi-solusi baru bagi rumah tangganya. Dia sebisa mungkin adil. Walau tidak seratus persen, dia harus bisa membagi waktu dan perhatian-perhatian lainnya kepada ketiga istri dan empat anak-anaknya. Tetapi selama ini Jumari telah melakukannya dengan baik kepada ketiga istri-istrinya itu.
Dari istri pertama, Jumari dikaruniai dua anak, sedang dari istri kedua dan ketiga masing-masing satu anak. Tempat tinggal istri-istrinya berada di tiga wilayah Ibukota; Selatan, Timur dan Utara. Biar tidak jujur, yang penting adil. Semua meminta, semua harus dapat. Pun kepada keempat anaknya, jika yang satu minta tas baru, yang lainnya pasti dibelikan sepatu atau mainan. Uang yang diberikannya pun seratus persen dari gaji. Tanpa embel-embel korupsi atau memanipulasi hasil tugas yang selama ini dia kerjakan. Gaji yang nyaris mencapai tiga jeti, kerja sebagai kepala bagian departemen pemasaran pada perusahaan yang bergerak di bidang interior bangunan.
Kendaraan yang dimiliki Jumari cuma sepeda motor. Namun dia bangga. Dengan motornya itu, dia bisa cepat menjambangi istri-istrinya dan juga anak-anaknya jika di antara mereka ada masalah. Jumari juga rajin ke masjid. Dia tidak pernah meninggalkan lima waktu. Namun itu tadi, kebiasaan Jumari jika pikirannya lagi buntu, dia akan mendatangi TPU dan menghabiskan waktu sorenya di sana. Merokok, memandangi awan gemawan sore hari. Soal merokok, dia berpendapat, merokok di kompleks pekuburan tidak melanggar undang-undang yang belum lama ini diterapkan oleh Pemerintah DKI. Karena merokok di pekuburan tak menggangu ketertiban umum. Orang-orang yang sudah mati tidak akan merasa terganggu kenyamanannya. Itu pendapat Jumari.
***
"Lagi cari solusi, Pak Jumari?" sapa Pak Kimung lagi. Yang disapa cuma mengangguk, tersenyum lalu melambaikan tangan. Jumari terbayang kejadian beberapa hari belakangan tentang keempat anaknya dari ketiga istrinya.
"Pak, Rio minta ganti tas sekolahnya tuh. Katanya sih kancingnya dol," kata Kim, istri kedua Jumari.
"Ya. Tapi belum bisa besok, mungkin lusa," jawab Jumari sambil melipat koran yang dibacanya.
Kim menghampiri Jumari lalu mencium kepala suaminya itu. Jumari merasakan kasih sayang istri keduanya itu begitu tulus.
Esoknya di rumah istri pertama, hati Jumari agak dikejutkan oleh sapaan Ren si Istri pertamanya, "Mas, Sea badannya panas. Sekolah saja tadi pulang setengah hari."
Jumari bergegas ke kamar Sea, anak pertama dari istri pertamanya. Jumari mendapatkan Sea tengah terbaring di pembaringan terbalut selimut. Jumari memegang kening anaknya yang sedang menanjak remaja itu.
"Cepat Jeng, gantikan bajunya. Aku mau bawa Sea ke dokter!"
Sea dibangunkan oleh sang Ibu, disodorkan baju yang bersih untuk salin. Sea, meski agak pusing kepalanya, tetap menuruti perintah kedua orangtuanya. Lalu Jumari membawanya pergi ke dokter malam itu juga. Setelah diperiksa oleh dokter jaga duapuluh empat jam, ternyata Sea cuma demam biasa.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," kata dokter itu.
Jumari kembali tenang. Semoga Mia, Dea, anak-anakku lainnya dalam keadaan sehat! renung Jumari dalam kepulan asap rokok yang kesekian.
"Lagi cari solusi, Pak Jumari!" sapaan Pak Kimung sambil lalu di atas sepeda pancalnya itulah yang membuat Jumari terjaga dari lamunannya di kompleks pemakaman itu.
***
Dalam lamunannya yang lain, Jumari sedikit heran, Tuhan kok begitu baik kepadanya. Dia dikasih kepercayaan untuk menjadi seorang suami bagi ketiga perempuan yang berbeda usia itu. Ketiga istrinya pun akur-akur saja walau hanya setahun sekali berkumpul di saat hari Lebaran saja. Mereka berkumpul di rumah Ren, istri tertua Jumari. Dea, anak dari istri termudanya, Mona, sering menginap di rumah istri tertuanya. Dea yang baru berumur tiga tahun, sangat disukai oleh Sea dan Mia, anak dari Ren, istri tertuanya. Dea yang imut, di mata mereka sangat lucu karena tidak cengeng dan paling cantik di antara anak-anak perempuan Jumari yang lainnya. Yang aneh adalah Rio, anak dari istri keduanya. Rio kalau sudah kumpul dengan saudara-saudaranya dari lain ibu, lebih banyak diam, tidak agresif. Tidak seperti Dea yang mau membaur dengan siapa saja. Tetapi pada umumnya mereka saling sayang menyayangi.
Di kantor Jumari, ada yang tahu kalau dirinya punya istri tiga namun akur semua. Namanya Pak Rudi.
Dia sering nyeletuk, "Kasih tahu dong resepnya. Kok bisa sampai akur begitu?"
Jumari hanya tersenyum. Lalu jawaban yang keluar dari mulutnya cukup sekata, "Ibadah."
Senja mulai merangkak. Rokok terakhir sudah dia matikan. Jumari bangkit terus berjalan mendekati motornya yang diparkir di dekat pos penjagaan.
'Sedang apa kamu Dea, sayang?' batin Jumari menyapa. 'Papa akan bawakan kamu donat. Tunggu Papa ya,' bisik hatinya lagi.
Di perjalanan, Jumari menghentikan motornya tepat di depan toko kue. Lalu masuk dan memesan donat kesukaan Dea. Dan, Dea sudah tahu saja suara motor yang berhenti di depan rumahnya adalah motor ayahnya yang hari itu adalah waktu pulang ke rumah Mona, istri ketiganya, istri yang termuda dari istri pertama dan keduanya. Mona dan Dea yang sedang menonton film kartun di televisi, bergegas membuka pintu rumahnya. Sebuah etika keluarga, Dea mencium tangan ayahnya, disusul Mona yang mencium tangan suaminya.
"Papa sehat?" sapa Mona sambil mengiringi Jumari masuk ke dalam rumah.
Jumari mengangguk lalu mengangkat Dea ke atas pangkuannya. "Papa bawa donat kesukaanmu, Sayang. Tuh di dalam tas!"
Mona, atas izin Jumari mengeluarkan bungkusan dari dalam tas suaminya, lantas diberikan kepada anaknya. Dea senang sekali, lalu turun dari pangkuan ayahnya. Dia membongkar bungkusan donat di atas meja. Jumari meneguk air yang disediakan Mona. Kemudian sang istri berjongkok membuka tali sepatu suaminya.
***
Suatu hari, kepanikan terjadi pada tiga keluarga satu ayah itu. Dea hilang diculik. Mona, ibu Dea, menelepon ke Ren, istri pertama suaminya untuk memberitahukan kalau Dea tidak ada di rumahnya.
"Mungkin di rumah, Mbak?" tanya Mona.
Ren terkejut. "Tidak ada, Dik! Coba telepon ke rumah Kim, siapa tahu Dea dibawa ayahnya ke sana," usul Ren.
"Baik Mbak, terima kasih," balas Mona di telepon.
Tanpa menunggu lama akhirnya Mona langsung telepon ke rumah Kim untuk menanyakan hal yang sama tentang keberadaan Dea. Tetapi Dea tidak ada di rumah Kim. Rio, anak Kim yang baru duduk di kelas dua sekolah dasar turut sedih mendengar Dea hilang. "Kita cari yuk, Ma," ajak Rio.
"Kemana mencarinya, Rio? Di rumah saudara-saudaramu tak ada," tanggap ibunya.
Akhirnya Mona menyampaikan ihwal hilangnya Dea kepada suaminya. Jumari terkejut bukan main, kemudian dia langsung lapor ke kantor polisi tentang hilangnya Dea dengan ciri-ciri lengkap.
Sebuah kemujuran, tiga hari kemudian, Kim melihat Dea sedang dituntun oleh seorang perempuan setengah baya di perempatan jalan. Mereka baru saja turun dari angkot. Kim langsung berlari menghampiri salah seorang polisi yang kebetulan sedang bertugas di persimpangan jalan yang cukup ramai itu, untuk memberitahukan kalau anak yang sedang dibawa oleh perempuan yang baru turun dari angkot itu adalah anaknya yang hilang, tiga hari lalu. Sang polisi sertamerta mengejar perempuan yang dilaporkan Kim untuk ditangkap. Perempuan itu terkejut dan meronta saat tangannya dipegang polisi.
"Maaf, Ibu dilaporkan telah membawa kabur anak orang. Ibu anak ini sedang mencarinya, itu Ibunya!" kata polisi menunjuk pada Kim yang berlari mendekat.
"Dia bukan ibu anak ini. Saya tahu, Pak. Anak ini anak saya!" bantah si Penculik. Dea melihat Kim, lalu tersenyum karena mengenalnya.
"Apakah benar ini anak Ibu?" Polisi yang mulai bingung itu balik tanya kepada Kim.
"Dea ini anak saya, Pak Polisi. Kalau begitu tahan dulu perempuan itu, saya telepon ayah anak ini, biar jelas," kata Kim langsung menghubungkan Jumari lewat ponselnya. Terjadi percakapan singkat. Lalu Kim menutup ponselnya. "Sebentar, suami saya akan datang, Pak," kata Kim menjelaskan sambil memasukkan ponsel ke dalam tas cangkingnya
Sambil tetap menahan perempuan setengah baya itu, polisi menyempatkan bertanya pada Dea yang kini ada di tangan Kim.
"Nama kamu Dea, kan?"
Dea mengangguk.
"Benar, Ibu ini, Mama Dea?" tanya polisi lagi kepada Dea.
"Ibu ini Mamanya Rio, Mama Dea juga," jawab Dea polos.
Polisi nyaris tertawa. Saat bersamaan Jumari datang dengan menyewa taksi. Perempuan setengah baya itu terkejut melihat Jumari muncul sesaat sebelum ia berkilah mengurai dusta. Mereka ternyata sudah saling kenal. Jumari langsung membopong Dea.
"Mbok Tun, kok ada di sini?" tanya Jumari terheran-heran.
Yang ditanya tidak menyahut.
"Dia yang menculik Dea, Mas!" sahut Kim spontan.
Orang-orang mulai berkerumun sekadar ingin melihat.
"Pak Polisi, perempuan ini dulu pernah jadi tetangga saya. Berarti sudah tiga kali dia menculik anak tetangganya sendiri, termasuk anak saya sekarang ini, Pak. Tangkap dia, Pak. Pasti anak saya mau dijual!"
Akhirnya setelah polisi mendapat kejelasan, perempuan setengah baya itu dibawa ke kantor polisi. Sedang Jumari hari itu juga membawa pulang Dea ke rumah istri ketiganya dan memberitahukan kalau Kim, madu keduanya yang menemukan Dea. Mona langsung menelepon Kim melalui ponselnya.
"Kak, terima kasih, ya. Tidak tahu bagaimana jadinya kalau seandainya tidak ada Kakak di situ," kata Mona terharu.
"Sama-sama, Mona. Anakmu adalah anakku juga," balas Kim dari seberang.
Cukup singkat percakapan kedua perempuan yang bersuamikan satu lelaki itu. Singkat namun cukup mengandung pengertian dan tali persaudaraan.
Sore itu, sepulang dari kerja, Jumari kembali mendatangi TPU dan menghabiskan waktu sorenya di sana. Duduk di bawah pohon kemboja. Merokok, memandangi awan gemawan, berpikir, dan merenung tentang kehidupan dalam rumah tangganya. Meneropong ke masa depan, melihat kejadian-kejadian yang baru lalu. Sampai Pak Kimung kembali lewat dengan sepeda pancalnya, dan masih sama seperti pada sore-sore sebelumnya, penjaga kuburan itu menyapa dengan sapaan khasnya.
"Lagi mencari solusi, Pak Jumari?" ©


Lelaki Sepi


Ceritakan padaku tentang sepi, katamu. Ah, tapi sudah terlalu banyak cerita tentang sepi. Apakah masih akan menarik bercerita perihal yang telah berulang dikisahkan seperti itu? Lalu bagaimana membuat cerita seperti itu menarik? Memang tak ada yang menarik. Tapi kau telah memintanya dan aku senantiasa ingin menuruti kemauanmu. Maka biarlah kuceritakan saja.
Namanya tak penting benar. Atau setidaknya dalam kisah ini—bila kau menganggap perlu memberi sebuah nama untuknya—kau bisa memberinya nama sesuai dengan keinginanmu, tak akan berpengaruh apa-apa. Yang jelas, ia adalah lelaki yang tak dapat membedakan cinta dan sepi. Maka begitulah, ia senantiasa meminta kekasihnya untuk menemaninya. Ia tak bisa tidur tanpa ada dekap kekasihnya. Ia tak mampu menelan makanannya tanpa kekasihnya yang mengangsurkan suap. Ia tak sanggup mandi bila kekasihnya tak menuang air hangat dan menyiapkan handuk. Ia tak dapat keluar rumah jika kekasihnya tak menjemput. Sungguh, ia ingin senantiasa bersama kekasihnya. Setiap malam, sebelum benar-benar lelap dalam buai kekasihnya, ia berdoa agar esok terbangun dalam rahim kekasihnya, terbangun sebagai cikal janin yang tak akan pernah keluar dari perut ibunya. Selamanya jadi bakal janin. Selamanya bersama-sama kekasihnya. Selamanya merasa aman dalam nyaman lindungan kekasihnya. Ia mengira mencintai kekasihnya dan baginya begitulah cinta yang mesti diwujudkan.
Ia lelaki yang tak dapat membedakan cinta dan sepi. Sebab itulah ia senantiasa menulis puisi cinta buat kekasihnya. Ia berkata, ”selama aku masih mencintaimu, aku akan terus menulis puisi cinta untukmu.” Kau tak akan sanggup menghitung berapa banyak puisi yang ia tulis untuk kekasihnya. Ia juga sering berdoa, ”bila aku tak dapat tinggal di rahimnya, izinkan aku menjadi sebait puisi yang ia sukai, yang ia hafal, yang sering ia lantunkan. Aku ingin tinggal di lidahnya, menjadi sesuatu yang kerap ia sebut.” Ia menyangka mencintai kekasihnya dan tak ada cara lebih tepat menunjukkannya selain melalui puisi.
Ia lelaki yang tak dapat membedakan cinta dan sepi. Ia menganggap telah sempurna mencintai kekasihnya dan berharap kekasihnya melakukan hal serupa: mencintainya dengan sempurna pula. Dan kekasihnya memang mencintainya. Sangat mencintainya. Mencintai dengan cara yang berbeda dari yang ia yakini. Wanita itu mengerti bahwa ia tak sepenuh hati mencintai. Wanita itu paham mengapa si lelaki ingin senantiasa ditemani dan menulis puisi. ”Sungguh itu bukan cinta,” bisik wanita itu. ”Hanya yang takut pada sepi yang senantiasa ingin ditemani, hanya untuk membunuh sepi ia menulis beratus sajak cinta.” Barangkali inilah alasan wanita itu kerap terlihat malas-malasan menemani si lelaki berjalan di taman pagi-pagi atau membaca seantologi sajak dengan tebal ratusan halaman yang ditulis oleh lelaki kita dalam kisah ini.
Namun wanita itu memang mencintainya. Cinta yang membuat wanita itu bertahan dengan itu semua. Dan cinta pulalah yang pada akhirnya membuat wanita itu meninggalkan lelaki kita ini. Selalu ada yang mesti dikorbankan atau ikhlas berkorban dalam cinta bukan? Dan wanita itu memilih yang kedua: ikhlas berkorban. Ketika ketakutan akan sepi yang diderita lelaki kita kian hebat hingga bahkan dalam mimpi pun menuntut wanitanya untuk hadir dan menemani menulis atau membaca puisi, maka wanita itu merasa mesti ada yang dikerjakan untuk menyelamatkan kejiwaan lelaki kita ini. Bagaimana menyingkirkan rasa takut pada sepi bila tak langsung menantangnya? Maka demikianlah, wanita itu meninggalkan lelaki kita. Meninggalkannya sendiri dalam sepi, meninggalkannya sendiri untuk melawan sepi.
Maka kini lelaki kita sendirian. Merasa kesepian. Tak ada lagi yang membenarkan selimut selimut yang melorot ketika ia tidur. Tak ada yang mengambilkan nasi atau menjerang air buat mandinya. Tak ada senyum yang menemaninya menulis puisi, tak ada sorot lembut menatapnya. Tak ada semua yang selama ini membuatnya kuat. Ia merasa payah, merasa tak sanggup lagi melangkah.
Dan pada sebuah malam kesekian yang senantiasa menyiksanya dengan kenangan, ia melihat wajah bulan. Wajah yang berbeda dengan wajah-wajah bulan pada malam-malam sebelumnya. Wajah yang tergantung di langit itu serupa benar dengan wajah kekasih yang meninggalkannya. Ia segera keluar rumah. Menuju halaman dan berdiri diam di sana sambil mendongak ke atas, ke aras bulan bulat itu. Tiba-tiba lelaki kita ini ingin menulis sajak cinta lagi.
Tapi bulan sempurna bundar yang mirip wajah kekasih yang meninggalkan lelaki kita ini tak setiap hari bersinar. Pelan-pelan bulan akan mencengkung, membentuk sabit untuk kemudian benar-benar lenyap di ujung bulan penanggalan Jawa. Tapi bulan akan muncul lagi. Awalnya serupa noktah, lalu kembali membentuk sabit dan bundar sempurna pada tengah bulan dalam kalender Jawa. Dan ia merasa tak mampu menunggu begitu lama untuk melihat wajah indah itu. Maka ia berdoa agar bulan senantiasa purnama.
Namun bulan tak mungkin selalu purnama. Ada putaran musim, aliran angin, ketinggian air laut, masa panen dan tanam, sampai waktu laku ilmu tertentu yang bergantung pada rotasi dan evolusi bulan. Semua mesti berjalan sesuai kodratnya. Maka sekhusyuk apa pun lelaki itu berdoa, bulan akan tetap mengalami sabit, melalui bulan mati dan pasti kembali purnama tengah bulan.
Lelaki kita itu, sungguh keras hati kali ini. Ia tak ingin lagi ditinggal kekasihnya. Ia ingin menjadi yang pertama menyambut ketika wajah kekasihnya itu perlahan sembul dan ingin menjadi yang terakhir mengucap sampai jumpa sewaktu kekasihnya beranjak redup. Ia memutuskan tak bergerak dari halaman bahkan saat mentari terbit. Kau tahu, kadang-kadang kau masih bisa menyaksikan bulan menjelang siang walau sinarnya tenggelam dalam pancaran matahari. Bagimu mungkin itu tak penting. Namun lelaki kita ini menganggapnya sesuatu yang haram terlewatkan. Kalau kau pernah mendengar orang-orang tua berujar bahwa cinta bisa membuat seseorang menjadi bodoh dan melakukan hal-hal yang tak masuk akal, maka lelaki kita ini adalah amsal ujaran itu. Ia tak beranjak dari halaman, berhari-hari, berminggu- minggu selain untuk makan atau buang air.
Namun langit tak hanya menyimpan wajah indah kekasihnya yang hilang atau kilau cerlang bintang-bintang. Langit juga mempunyai mendung dan hujan, kilat dan badai, matahari dan cahaya panas. Tak ada yang mampu menghentikan mereka menjalankan tugas. Maka beginilah, selama beberapa malam mendung tebal tergantung di langit untuk kemudian tumpah menjadi hujan dan badai, menabur kilat dan dingin. Namun pada siang harinya, matahari bersinar teramat cerah, mendedah panas yang menyiksa. Kejadian seperti itu terjadi pada tengah bulan hitung-hitungan Jawa. Pada masa di mana semestinya purnama terlihat sempurna.
Lelaki itu tak juga beranjak. Telah lama ia memendam rindu. Hitunglah sendiri berapa lama ia tak bersua wajah kekasihnya itu setelah tengah bulan kemarin purnama yang terakhir. Badai yang menghajar tubuhnya malam-malam atau panas yang meremas tubuhnya tak membuatnya bergerak. Ia kecewa sebab mendung tebal menghalanginya melihat wajah indah bulan dan berharap langit kembali ramah segera. Namun langit cerah ketika pagi telah sepenggalan dan bulan tak lagi terlihat. Ia tetap tak bergerak. Berharap keajaiban, berharap bulan kesiangan.
Ia telah lama bertahan. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Ia hanya masuk ke rumah untuk makan dan minum dengan tergesa dan buru-buru kembali ke halaman. Ia kuat. Tapi tidak kali ini. Tiga malam dihajar badai dan tiga hari digempur panas yang sangat. Ia merasa tubuhnya lemas dan panas. Pada malam keempat ia jatuh. Ia mengira tertidur. Ia seperti bermimpi.
Ia melihat kekasih yang meninggalkannya dulu telah menjelma bulan. Bulan yang senantiasa ia nanti. Bulan itu tak tergantung di langit seperti yang selama ini ia lihat. Bulan itu begitu dekat dengannya, bahkan menyatu dengan dirinya. Terletak di hatinya. Bulan itu berkata, ”kalau kau benar-benar mencintaiku, kau akan tahu bahwa aku selalu menemanimu tanpa harus mendekap tidurmu, menyiapkan air hangatmu atau mengangsurkan suapanmu. Kau akan tahu bahwa aku selalu bersamamu sebab aku tinggal di hatimu dan senantiasa di sana. Aku tak pernah ke mana-mana.”
Lelaki kita itu ingin bangun. Tapi tak bisa. Tubuhnya tak dapat bergerak. Maka ia putuskan untuk pergi tanpa tubuhnya. Pergi menuju hatinya yang menyimpan bulan. Ia lihat tubuhnya telah begitu payah.

KISAH APEL
By S. Gegge


Gerimis merintik. Tak terdengar 'tik-tik-tik'. Hanya laksana potongan benang halus yang terbang dari langit malam, hingga yang kelihatan hanya yang tersorot lampu jalanan. Pengendara motor yang sesekali masih melintas tengah malam, mempercepat laju motornya. Takut, rinai gerimis berubah menjadi hingar-mengguyur-kuyup!
Wanita setengah baya itu, sejam yang lalu mengintip dari balkon rumahnya. Bukan mengintip gerimis. Tak ada pengendara motor yang diintainya. Anak lelakinya yang biasa pulang tengah malam, pun membawa kunci sendiri dan tak perlu ditunggui.
Akhir-akhir ini dia diresahkan oleh lelaki kumal tak berbaju yang sering tidur di emperan rukonya, hingga pagi. Awalnya, anaknya yang pulang tengah malam, bercerita jika lelaki misterius itu tertidur di depan pintu masuk rukonya. Tapi tak digubrisnya. Namanya juga gelandangan! Terlalu kejam jika untuk emperan pun, dia tak mau berbagi.
Tapi saat pagi menjelang dan dia hendak membuka toko kelontongannya, lelaki itu masih tertidur tepat di depan pintu. Berbantalkan lengan, tanpa alas apa pun, lelaki itu masih tetap juga ngorok. Arus lalu lintas di depan ruko, mulai mengalir. Deru mesin, klakson, teriakan kondektur mencari penumpang, tak satu pun mengganggu tidurnya. Bukan hanya nyamuk, beberapa lalat lebih memilih bertengger di tubuhnya daripada mencari makan di tempat sampah yang tak jauh dari tempatnya meringkuk.
Matanya masih tajam mengawasi gelandangan itu. Pintu rukonya belum terbuka sempurna. Sebuah tahi lalat di pipi kiri lelaki itu, membuka semua file masa lalunya yang pernah dia hapus paksa. File itu ternyata masih tertahan di sebuah recycle bin. Tahi lalat di pipi kiri itu, menjadi pengungkit masa lalunya. Sakit lagi. Meski sebelumnya memang tak pernah dia rasakan bersenang-senang. Dia merakit sendiri. Merangkak, bangun dan menegarkan diri saat dia terjatuh. Hingga dia bangkit lagi seperti kini.
Sebotol air mineral jualannya, diraih lalu ditumpahkan di atas kepala gelandangan itu. Byurrr! Gelandangan yang ternyata juga tak waras itu, bangkit dan berlari dari tempatnya. Terkekeh, bicara sendiri tanpa ada yang tahu makna bicaranya. Tapi matanya, jelas menyorot tajam ke wanita yang baru saja menyiram tubuhnya.
"Pergi!"
Dia berlari kencang, saat wanita itu mengusirnya dengan suara penuh amarah.
Malam ini, wanita itu mengintipnya dari balkon. Gelandangan gila itu, mengais-ngais tempat sampah. Sisa makanan dikumpul lalu dilahapnya dengan tangan kumal. Di bawah sorot lampu jalan yang berada tepat di atasnya, lelaki itu menikmati gerimis yang tak juga reda, pun tak berubah deras. Lelaki itu terdengar seperti mengigau, sesekali.
Harapnya, lelaki itu hanya kebetulan mangkal di depan rukonya. Tapi menelusuri lembaran masa lalu, sepertinya mustahil jika itu sebuah kebetulan. Ini Makassar. Lelaki itu terakhir dilihatnya, ditinggalkan tepatnya, di Surabaya.
Dia ingin menyangkal. Membantah kata hatinya jika lelaki itu mantan suaminya, tapi bukan hanya tahi lalat, pemilik tubuh kumal dan kurus itu masih menyisakan jejak masa lalu dari tatapannya. Dia tak ingin masa lalu itu kembali padanya. Bukan karena lelaki itu telah gila dan jadi gelandangan, tapi karena lelaki itu juga pernah membuatnya mendekati gila. Baginya, itu karma. Dulu dia yang diterlantarkan dengan kehadiran istri kedua, istri simpanan, selingkuhan, dan entah wanita jenis apalagi yang dihadirkan untuk melukainya.
Untungnya dia masih punya ruko warisan orangtua, tempatnya berpulang. Hingga dia bisa menjadi single parent buat anaknya yang kini kuliah di universitas swasta.
Gerimis reda. Dia hendak masuk, membiarkan lelaki dari masa lalunya itu, meringkuk di depan rukonya. Tapi suara motor anaknya yang pulang tengah malam, menghalangi langkahnya untuk beranjak.
Dari balkon, jelas sekali, lelaki itu menghampiri anaknya.
"Ridha, kamu jangan mau disentuh olehnya!" teriaknya dari atas balkon.
Anaknya hanya tersenyum. Untuk yang pertama kalinya dia meragukan ketulusan hati mamanya. Biasanya, mamanya yang selalu mengajarkan dia untuk tidak sombong apalagi bersikap angkuh pada siapa pun. Atau orang gila dan gelandangan adalah pengecualian? Anaknya yang tak tahu masalah, hanya menggeleng.
Wanita itu berlari dari balkon, turun untuk meleraikan anaknya dari pegangan lelaki kumal itu.
"Masuk cepat! Kamu tidak jijik melihat dia? Kamu bisa tertular penyakit gilanya. Cepat cuci tangan yang bersih, kulihat kamu tadi menyambut uluran tangannya."
Prakkk!
Pintu ruko tertutup keras. Lelaki kumal itu tersentak. Anaknya keheranan. Di matanya, perlakuan mamanya lebih gila dari lelaki tak waras tadi.
***
Bulan mengintip. Bintang mengintai. Tentulah malam remang. Wanita itu gamang. Ragu. Tapi dia tak ingin mengubah keputusannya. Sebuah apel merah, yang telah disuntikkan racun tikus, dibuangnya ditempat sampah. Tentu saja, bukan untuk dimakan tikus, tapi untuk lelaki yang pernah masuk dalam kehidupannya itu. Pikirnya, kalaupun mati tepat di depan rukonya, orang tak akan curiga. Paling juga orang berpikir, mati karena sakit. Lagi pula, siapa yang akan mengurus dan memperdulikan orang gila seperti dia, untuk diotopsi, diselidiki kematiannya. Keluarganya? Dia takkan gila jika masih punya orang yang peduli padanya. Pemerintah? Negeri ini masih banyak urusan. Kematiannya bahkan dianggap mengurangi sedikit masalah.
Sebenarnya dia tak keberatan, lelaki kumal itu menjadikan emperan tokonya sebagai rumah, seandainya tak ada ikatan masa lalu antara mereka. Dia tak keberatan mantan suaminya itu mengetuk kembali pintu hati yang telah dibantingnya keras, andai lelaki kumal itu tak pernah menelantarkan cintanya. Sulit. Luka cinta memang selalu sulit untuk disembuhkan, teramat sulit untuk dimaafkan.
Dia merapatkan telinga di pintu rukonya saat sebuah langkah terdengar dari luar. Lelaki bejat itu, pikirnya. Saat terdengar suara seperti mengigau. Dia mulai berani menggedor pintu, pikirnya.
"Ini yang terkahir kalinya kamu menggedor pintu rumahku! Aku punya apel merah kesukaanmu dulu. Itu untukmu. Pengantar tidurmu!" lanjut batinnya, penuh benci.
"Ma, buka pintu!"
Mama? Bencinya semakin membuncah. Seperti minuman bersoda dalam kaleng, dikocok lalu dibuka tutupnya. Muncrat! Tapi dia mempertahankan bencinya untuk tidak meluncur dulu. Dia biarkan terkocok oleh suara-suara igauan lelaki dari balik pintu rukonya.
Suara igauan itu, kini reda. Berganti suara sampah kertas yang berserakan.
"A-apel me-merah...."
Wanita itu tersenyum. Senyum pengantar kematian buat lelaki yang selama ini dicintainya.
"Sedikit pahit, tapi enak!"
Dasar gila! umpat batinnya, masih tersenyum, sambil berlalu ke tempat tidur. Dia butuh istirahat yang cukup untuk perannya sebagai orang yang tak tahu apa-apa, besok pagi, saat tubuh lelaki itu didapatkan kaku di depan rukonya.
***
Pintu rukonya ramai digedor orang. Dia masih menyempatkan diri bercermin. Melatih wajahnya untuk tak menampakkan muka gugup, tanpa dosa. Merasa telah menghayati peran, dia beranjak. Begitu pintu terkuak, orang-orang yang berkerumun, memberi jalan untuknya. Seorang lelaki terbujur kaku, meski sangat mirip, tapi dia yakin jika dia bukan lelaki sasaran racun tikusnya. Dia meradang, saat lelaki yang ingin dibunuhnya semalam, kini berdiri di seberang jalan, dengan mata sembab.
Mayat lelaki yang di depannya kini, adalah putra tunggalnya. Semalam pulang dari pesta minuman keras. Mabuk. Mengingau. Melahap apel merah untuk papanya, saat mamanya tak membukakan pintu untuknya.
Lelaki di seberang jalan, masih menatapnya tajam. Seolah dia menunggu di sana. Di dunia lain. Dunia para orang gila. Kehilangan putra tunggalnya, akan mengantar dia ke dunia itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar