Peluang Usaha

clicksor

sitti

Anda Pengunjung ke

Kamis, 16 Desember 2010

Contoh PKM

Download Disini : http://www.ziddu.com/download/12987381/CONTOHPKMP.doc.html

1. JUDUL PENELITIAN
Seleksi Tungau Predator Amblyseius deleoni Muma et Denmark Resisten terhadap Pestisida yang Dipergunakan di Perkebunan Teh Tambi, Wonosobo, Jawa Tengah
2. LATAR BELAKANG MASALAH
Tanaman teh (Camellia sinensis ) merupakan salah satu jenis tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia, terutama di daerah dataran tinggi. Tanaman teh tersebut, sebagaimana tanaman lainnya, tidak luput dari serangan hama. Jenis hama utama yang menyerang tanaman teh antara lain dari golongan tungau. Beberapa spesies tungau yang telah diketahui banyak menyerang perkebunan-perkebunan teh di Indonesia adalah Acaphylla theae, Polypagotarsonemus latus, Calacarus carinatus dan Brevipalpus phoenicis (Nuraini, 2001).
Di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera, tungau jingga (Brevipalpus phoenicis) merupakan tungau hama tanaman teh yang sangat merugikan (Cranham, 1966). Tingkat kerugian ekonomi tersebut dicapai apabila dalam setiap daun teh berisi 24 tahap telur, larva, nimfa dan dewasa B. phoenicis (Oomen, 1982). Kerugian yang ditimbulkan meliputi kerusakan areal perkebunan hingga sekitar 50% dan menurunnya pertumbuhan pucuk daun teh yang mencapai 30% (Sudoi et al., 1991). Di Kenya, tungau jingga bahkan dikatakan sebagai tungau hama utama tanaman teh yang menimbulkan kerugian yang sangat besar (Sudoi et al., 1994).
Besarnya tingkat kerugian produk teh dapat menjadi lebih meningkat apabila perkebunan teh hanya mengandalkan penggunaan berbagai jenis pestisida dalam upayanya mengendalikan berbagai jenis jamur, serangga dan tungau. Dampak penggunaan pestisida meliputi dampaknya terhadap produk teh itu sendiri serta lingkungan. Kontaminasi pestisida dalam dosis tinggi akan menurunkan kualitas produk teh dan kualitas tanah, air dan berbagai komoditas disekitarnya, baik komoditas yang dikonsumsi setempat maupun komoditas eksport selain teh. .
Telah dikemukakan bahwa penggunaan pestisida berdampak terhadap produk teh dan lingkungannya. Selain itu, pestisida yang telah lama dipergunakan oleh perkebunan teh dapat mempengaruhi hubungan alamiah mangsa-pemangsa. Pada umumnya, kemampuan mentoleransi pestisida dan tingkat resurjensi tungau hama termasuk tungau jingga (mangsa), sangat tinggi (McMurtry dan Croft, 1997). Sebaliknya, A. deleoni yang merupakan predator tungau jingga, sangat rentan terhadap berbagai pestisida yang diaplikasikan (Chouinard dan Brodeur (1996). Mortalitas yang besar pada A. deleoni menyebabkan pengendalian hayati alamiahnya terganggu dan menurun drastis. Akibatnya, pada suatu saat tertentu, populasi tungau jingga akan sangat meningkat (resurjensi), sedangkan populasi tungau predatornya, A. deleoni sangat rendah.
Dharmadi (1996) telah mengemukakan bahwa A. deleoni Muma et Denmark merupakan tungau predator spesies lokal (“Indigenous spesies”) yang tinggi kelimpahannya dan merupakan tungau predator bagi tungau hama yang menyerang tanaman teh di perkebunan teh Gambung, Jawa Barat. Tungau predator ini aktif mencari dan memangsa tungau hama dengan cara berjalan yang tampak kuat dan lincah serta didukung oleh sepasang chelicerae dan palpus yang senantiasa merunduk ke bawah dalam mencari mangsa.
Hasil penelitian Lengkong (2001) menunjukkan bahwa tungau predator A. deleoni berpotensi besar sebagai tungau predator bagi tungau B. phoenicis. Dikemukakan keduanya bahwa tungau predator A. deleoni lebih banyak memilih tahap telur dari tungau hama B. phoenicis dibandingkan tahap hidup tungau hama lainnya, dengan rata-rata 5 butir telur selama 24 jam. Meskipun demikian, tahap larva tungau hama menjadi pilihan predasi ke 2 dengan rata-rata predasi mencapai 3 individu, sedangkan tahap nimfa dan dewasa juga dipredasi dengan rata-rata masing-masing mencapai 2 dan 1 individu selama 24 jam.
3. PERUMUSAN MASALAH
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa pengendalian hayati alamiah terhadap tungau-tungau hama diperkebunan teh dilakukan oleh tungau predator Amblyseius deleoni. Telah pula dikemukakan bahwa penggunaan pestisida yang telah lama dipergunakan oleh perkebunan teh dapat mengganggu efektifitas dan efisiensi pengendalian hayati alamiah tersebut. Oleh karena itu, untuk mengurangi penggunaan pestisida di perkebunan teh, maka perlu dikembangkan teknologi pengendalian hama yang baru ataupun dimodifikasi, khususnya pengendalian hama yang lebih ramah terhadap agroekosistim
Seleksi A. deleoni yang resisten terhadap berbagai pestisida yang telah lama dipergunakan di perkebunan teh, merupakan upaya mengatasi penurunan pengendalian hayati alamiah oleh tungau predator tersebut. Pengendalian hayati yang effektif akan meningkatkan kualitas produk teh oleh karena pemakaian pestisida hanya dilakukan pada saat-saat tertentu saja.
Seleksi tungau predator yang dimaksud di sini adalah upaya memilih sifat-sifat resisten dari individu-individu dalam populasi. Sifat resisten tersebut secara fenotipik muncul sebagai kemampuan individu-individu untuk tetap lulus hidup dan berkembang meskipun terdedah dalam bahan beracun (pestisida). Dengan demikian, pendedahan berulang menggunakan pestisida akan menurunkan kompetisi intraspesies dan membunuh individu-individu rentan yang menjadi penyusun utama suatu populasi, sehingga jumlah individu dengan sifat toleran ataupun yang resisten akan cepat bertambah dan pada akhirnya menjadi komponen penyusun utama populasi tersebut (Dent, 1991). Cepat atau lambatnya perubahan komposisi individu-individu menjadi resisten, sangat ditentukan oleh perbedaan tanggap resistensinya terhadap pestisida dan cara kerja pestisida itu sendiri (Bakker & Jacas, 1995).
Kemampuan mentoleransi beberapa spesies Amblyseius terhadap berbagai jenis pestisida telah dapat dibuktikan (Mochizuki, 1994, 1997; Momen, 1994, 1996; Thistlewood et al., 1995; Yue dan Tsai, 1996; Shipp dan van Houten, 1997; James, 1997; Zhang dan Sanderson, 1997). Namun, untuk A. deleoni belum diketahui kemampuan mentoleransinya terhadap berbagai pestisida yang dipergunakan perkebunan teh, khususnya perkebunan teh Tambi, Wonosobo, Jawa Tengah.
Hasil survai pendahuluan, menunjukkan bahwa perkebunan teh Tambi yang terletak pada ketinggian antara 700 sampai 1100 m di atas permukaan air laut, menggunakan semua jenis pestisida, khususnya pada pengembangan bibit tanaman teh. Pestisida baik insektisida, fungisida, herbisida dan akarisida dipergunakan untuk mengatasi berbagai hama yang menyerang blok Sedayu, Semilir dan Tanjungsari. Hasil survai pendahuluan juga menunjukkan bahwa penggunaan merk pestisida selalu mengalami perubahan yang diduga mengarah pada semakin meningkatnya tingkat resistensi hama, dan kemungkinan juga berdampak pada agen pengendali alamiahnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka seleksi tungau predator juga harus mempertimbangkan kondisi populasinya di lapang. Kondisi populasi yang dimaksud meliputi kemampuan reproduksinya di lapang, baik pada musim kemarau maupun hujan. Kemampuan reproduksi berkaitan dengan kemampuan memanfaatkan berbagai jenis pakan alternatif, yaitu berbagai pollen yang tumbuh di sekitar tanaman teh, sehingga introduksi tungau predator tidak harus berlangsung terus menerus. Kemampuan tumbuh dan reproduksi yang tinggi (tabel hidup), baik pada kondisi tanpa pestisida maupun saat perkebunan teh memutuskan untuk menggunakan pestisida, menjadi faktor yang menentukan efektifitas pengendalian tungau hama B. phoenicis. .
Selain kemampuan tumbuh dan reproduksi, seleksi suatu predator sebagai agen pengendali hayati hendaknya mempertimbangkan kemampuan predator dalam mengkonsumsi banyak mangsa (Momen, 1996), mempunyai preferensi mikrohabitat yang sama dengan mangsa (Skorupska, 1995) dengan laju oviposisi dan reproduksi yang tinggi serta kemampuan memencar yang tinggi pula (Yue dan Tsai, 1996; Gurr dan Wratten, 1999). Diduga, pendedahan pestisida terhadap tungau predator dapat menyebabkan perubahan perilakunya sebagai reaksi adaptif terhadap toksikan sehingga mengurangi laju kematiannya. Perubahan perilaku dapat berupa strategi menghindari senyawa toksikan atau memangsa tahap hidup tertentu dari mangsa yang akan mengurangi kehilangan energinya dalam mengatasi tekanan seleksi pestisida (Tian et al., 1992).
7. TINJAUAN PUSTAKA
Tungau predator yang telah dikenal sukses dalam pengendalian hayati adalah famili Phytoseiidae dan Stigmaiidae. Salah satu dari genera Phytoseiidae adalah genus Amblyseius yang potensial untuk digunakan sebagai agen pengendali hayati tungau hama tanaman teh (Puspasari et al., 2002). Menurut Dharmadi (1996), tungau predator tersebut memiliki kemampuan mencari mangsa yang baik, memiliki preferensi terhadap tungau B. phoenicis Geiijkes, Tentranychus urticae dan tungau lainnya, memiliki vorasitas tinggi dan dapat diproduksi secara masal dan relatif tahan terhadap pestisida.
A. deleoni Muma et Denmark berdasarkan morfologinya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. Ventral shield membulat, kaki ada 8 buah atau 4 pasang, tubuhnya transparan, tipe mulutnya pencucuk dan pengisap, mempunyai setae, di mana ada dua setae yang panjang dan 2 setae pendek di bagian posterior tubuhnya. Cheliceranya normal, jantan mempunyai sternogenital dan ventrianal shield, betina mempunyai epyginial dan vebtrianal shield. Ventrianal shield di dalamnya terdapat 8 setae dan 3 setae yang lain terletak pada bagian samping dan bawah anus, panjang tubuh keseluruhan yaitu gnatosoma dan idiosoma mencapai rat-rata 526,36 µm, untuk setae yang terletak di bagian posterior mencapai panjang rata-rata 372,4 µm ( Budianto, 2000).
Penelitian yang dilakukan Budianto dan Pratiknyo (2000) menunjukkan bahwa A.deleoni Muma et Denmark lebih memilih dan mempredasi B. phoenicis Geijskes serta memberi petunjuk adanya kemampuan memilih dan mempredasi jenis tungau hama lain yang diperoleh. Hal ini membuktikan bahwa A. deleoni Muma et Denmark predator A.deleoni Muma et Denmark juga akan memilih dan mempredasi jenis tungau lain apabila diberi pilihan berbagai jenis tungau (Kalshorst, 1992; Louis dan Hetterling, 1992; McMurtry, 1992; Budianto,200; Pratiknyo dan Budianto 2000). Kemampuan memilih dan mempredasi jenis tungau lain, selain B. phoenicis Geijskes menujukkan bahwa A. deleoni Muma et Denmark merupakan golongan predator generalis. (Sahajdak, 1995; Schausberger, 1997; McMurtry dan Croft, 1997).
Menurut McMurtry dan Croft (1997), kemampuan reproduksi genera Amblyseius tetap tinggi dengan pemberian pakan berupa pollen tanaman teh apabila dibandingkan dengan pemberian pakan tungau mangsanya. Lestari (2001) mendapatkan fakta bahwa fekunditas paling tinggi dan lama waktu perkembangan paling cepat pada A. deleoni Muma et Denmark dicapai dengan pemberian pakan alternatif jenis pollen kacang panjang (Vigna sinensis). Pemberian pakan alternatif jenis pollen kembang sepatu ( Hibiscus rosa-sinensis) menghasilkan kelulushidupan A.deleoni Muma et Denmark paling tinggi dibanding dengan pollen kacang panjang.
Salah satu faktor yang menentukan efektivitas predasi suatu predator adalah tahapan daur hidupnya (Budianto,2000). Evan dan Till (1996) mengemukakan bahwa dengan mengetahui daur hidup A. deleoni Muma et Denmark dapat ditentukan tahap hidup yang mana yang paling efektif dalam kegiatan predasinya. Menurut Dharmadi (1996), daur hidup A. deleoni Muma et Denmark diawali dengan peletakan telur, yang periode inkubasinya mencapai 2,5 hari sebelum menetas menjadi larva yang berkaki enam. Larva akan berganti kulit menjadi nimfa yang berkaki delapan setelah waktu 3,5 hari. Pergantian kulit untuk terakhir kali terjadi selama 6,5 hari kemudian menjadi tungau dewasa berkaki delapan. Daur hidup dari telur sampai dewasa memerlukan waktu 12,5 hari. Masa praoviposisi berlangsung selama 3,5 hari sehingga daur hidup dari telur ke telur memerlukan waktu 16 hari. Daur hidup ini diteliti pada kondisi temperatur kamar dengan pemberian jenis pakan alternatif yaitu pollen teh.
A.deleoni Muma et Denmark dapat hidup lebih dari 25 hari pada temperatur kamar dan pemberian pakan pollen teh, namun laju reproduksinya rendah dan cenderung terjadi kanibalisme. Pemberian pakan tungau jingga (B. phoenicis Geijskes) pada temperatur kamar menyebabkan predator dapat lulus hingga 42 hari dengan laju reproduksi yang tinggi dan jarang terjadi kanibalisme (Oemen, 1982).
Selain kemampuan predasi, tumbuh dan reproduksi, pemilihan suatu tungau predator sebagai agen pengendali hayati hendaknya mempertimbangkan kemampuan predator dalam mentolerir kondisi cuaca dan pestisida. Keberhasilan seleksi dalam mendapatkan generasi yang resisten terhadap insektisida permethrin telah diperoleh, namun pada jenis tungau predator yang berbeda yaitu Amblyseius fallacis. Seleksi generasi resisten ini melibatkan 55 generasi A. fallacis dan ternyata sifat resisten yang muncul melalui seleksi pestisida ini dapat diwariskan kepada keturunannya. Pada spesies yang lain, yaitu A. womersleyi didapatkan fakta bahwa tingkat resistensi terhadap permethrin dapat menurun setelah 20 bulan pendedahan pestisida yang terakhir.
Berdasarkan jenis pestisida yang banyak dipergunakan di perkebunan teh Tambi, Wonosobo, Jawa Tengah, maka dapat disimpulkan bahwa jenis pestisida yang dipergunakan termasuk kelompok “residual killing action”. Jenis pestisida tersebut meliputi insektisida, fungisida, akarisida dan herbisida. Kecuali fungisida dan herbisida, cara kerja insektisida dan akarisida yang dipergunakan termasuk kelompok pestisida yang menyebabkan gangguan respirasi pada tungau predator, yaitu menghambat kerja enzim kholinesterase. Berbeda dengan cara kerja insektisida dan akarisida, jenis fungisida yang dipergunakan di perkebunan teh Tambi, Wonosobo, Jawa Tengah termasuk dalam kelompok tembaga oksida yang menyebabkan gangguan permeabilitas kutikula. Fungisida tembaga oksida bersifat akumulatif yang nantinya akan berdisosiasi dan menghasilkan ion kupri yang bebas (Osborne, 1997). Ion bebas ini akan mengendapkan atau mendenaturasi protein (McMurtry, 1992). Diduga, jenis herbisida yang dipergunakan mempunyai cara kerja yang sama dengan cara kerja insektisida dan akarisida.
Reaksi adaptif suatu predator dalam merespons tekanan seleksi pestisida selain mempengaruhi efektivitas kemampuan predasi, juga berpengaruh terhadap tabel hidupnya (Rencken dan Pringle, 1998). Dikemukakan oleh Rencken dan Pringle (1998) perubahan waktu perkembangan yang sekecil apapun akibat reaksi adaptif tungau predator dalam merespons tekanan seleksi pestisida, berdampak pada pertumbuhan atau penurunan populasinya. Dengan demikian, diduga ada perubahan sebelum dan sesudah A. deleoni resisten terhadap pestisida. Perubahan tabel hidup tersebut meliputi kecepatan pertumbuhan populasi dalam satu generasinya (R0), perioda hidup rata-rata suatu populasi dalam satu generasinya (T), konstanta potensial reproduktif suatu populasi dalam satu generasinya (rm) dan kemampuan suatu populasi pada satu generasi untuk perbanyakan diri per satuan waktu (α). Kematian oleh tekanan seleksi pestisida dan berbagai faktor lain, yang terjadi pada setiap tahap daur hidup tungau predator merupakan informasi dasar dalam pengendalian hama yang bermanfaat dalam memperbaiki kefektifan predator sebagai agen pengendali hayati.
8. METODE PENELITIAN
1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan selama 5 (lima) bulan, yang akan dimulai pada bulan Juli tahun 2005 sampai dengan November 2005. Tempat percobaan adalah di Laboratorium Entomologi-Parasitologi, Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto dan di Perkebunan Teh Tambi, Wonosobo, Jawa Tengah.
2. Materi Penelitian
2.1. Bahan-bahan : tungau predator Amblyseius deleoni, tungau hama Brevipalpus phoenicis, insektisida suprasida, akarisida omite, herbisida round up, fungisida tembaga oksida (cupro-oksida), tanaman teh
2.2. Alat-alat : lem “tangle-foot”, nampan, busa, “black tile”, tissue tidak berparfum, sprayer, pot tanaman, kuas kecil dan besar, gelas ukur, cawan petri, gelas penutup, mikroskop binokuler, kaca pembesar, gelas piala, termometer, higrometer, mikropipet 1 ml.
3. Cara Kerja dan Rancangan Percobaannya
3.1. Pemeliharaan tungau predator Amblyseius deleoni
Metode pemeliharaan predator berdasarkan metode Overmeer et al., 1982 (dalam Klashorst, 1992).
Tempat pemeliharaan tungau terdiri dari nampan berisi air dengan busa didalamnya. Di atas busa, diletakkan “black tile” yang seukuran dengan busa, dengan bagian tepinya dialasi kertas tissue tidak berparfum yang tercelup hingga ke air dalam nampan. Pada sepanjang alas kertas tissue, dibuat tanggul dari lem “tangle-foot” untuk mencegah predator tidak lari dari wilayah pemeliharaan. Untuk tempat berlindung dan meletakkan telurnya, di bagian tengah “black tile” diletakkan sedikit kapas yang ditutup dengan penutup plastik berlekuk.
Untuk mendapatkan dan memperbanyak predator A. deleoni, sejumlah daun teh dari wilayah perkebunan teh yang memperlihatkan gejala serangan tungau jingga dipetik dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Di laboratorium, seluruh daun tersebut diperiksa di bawah mikroskop binokuler. A. deleoni yang diperoleh, dipindah ke tempat rearing (pemeliharaan). Jenis pakan yang diberikan dalam masa perbanyakan tungau predator adalah adalah telur tungau jingga dan polen teh.
Selain diperoleh tungau predator, biasanya telur tungau jingga juga terdapat di sekitar tungau predator tinggal. Sedangkan, untuk polen teh diperoleh langsung dari perkebunan teh dan disimpan dengan menggunakan metode Klashorst (1996). Dijelaskan dalam metoda ini, anthera bunga dari teh maupun berbagai jenis gulma diambil dengan kuas kecil, lalu disimpan dalam cawan petri. Cawan petri berisi anthera ini disimpan dalam inkubator pada suhu 600 C selama sekitar 12 jam untuk tujuan sterilisasi. Setelah itu, polen dipisahkan dari anthera menggunakan sikat halus dan dimasukkan dalam botol kecil, lalu dapat disimpan dalam lemari es. Polen dalam botol kecil ini tetap segar sampai satu tahun.
3.2. Seleksi A. deleoni resisten suprasida, omite, round up, tembaga oksida
Pestisida yang digunakan dalam penelitian ini adalah suprasida (insektisida), omite (akarisida), round up (herbisida) dan tembaga oksida (fungisida). Metode percobaan yang dipergunakan adalah metode terbuka (Louis dan Ufer, 1995) yang dimodifikasi. Modifikasi dilakukan pada susunan busa dalam nampan berisi air, yang langsung ditutup dengan kertas tissue tidak berparfum. Di atas kertas tissue yang ikut basah karena busanya basah, disusun dua buah gelas penutup yang telah dicelupkan ke dalam larutan pestisida yang dicobakan selama 40 detik. Susunannya dibuat berdampingan, namun dengan memberi celah untuk keluarnya air di antara ke dua gelas penutup tersebut. Setelah itu, dibuat tanggul lem “tangle-foot” mengelilingi gelas penutup untuk mencegah predator melarikan diri dari arena uji.
Seleksi dilakukan melalui empat tahapan yang berurutan dengan metode pendedahan yang sama sebagaimana dijelaskan di atas. Tahap 1, melakukan seleksi A. deleoni resisten suprasida; tahap 2, seleksi A. deleoni resisten suprasida + omite; tahap 3, seleksi A. deleoni resisten suprasida + omite + herbisida round up; tahap 4, seleksi A. deleoni resisten suprasida + omite + herbisida round up + fungisida tembaga oksida.
Pada tahap 1, konsentrasi suprasida yang didedahkan pada A. deleoni adalah 0 (kontrol), 0,01, 0,1, 10 dan 100%. Konsentrasi ini didedahkan populasi tungau predator hasil perbanyakan di laboratorium. Setiap konsentrasi yang dicobakan melibatkan 10 individu predator untuk satu kali ulangan, yang diulang sebanyak enam kali. Tahap 1 akan diperoleh tungau predator generasi F1 A. deleoni yang lulus hidup terhadap suprasida. Tungau ini diperbanyak kembali untuk percobaan tahap 2.
Pada tahap 2, generasi F1 A. deleoni resisten suprasida didedahkan lagi dengan Omite. Konsentrasi omite yang dicobakan adalah sama dengan konsentrasi suprasida. Konsentrasi ini didedahkan pada populasi tungau predator F1 yang lulus hidup terhadap suprasida hasil perbanyakan di laboratorium. Setiap konsentrasi yang dicobakan melibatkan 10 individu predator untuk satu kali ulangan, yang diulang sebanyak enam kali. Hasil pendedahan tahap 2 akan diperoleh F2 A. deleoni resisten suprasida dan omite.
Untuk tahap 3 dan 4, konsentrasi herbisida round up dan fungisida tembaga oksida yang dicobakan sama dengan sebelumnya. Demikian pula dengan banyaknya individu dan ulangan yang dipergunakan. Diharapkan akan diperoleh generasi F1 yang resisten terhadap suprasida, omite, tembaga oksida dan herbisida.
Lama waktu pendedahan baik pada tahap 1, 2, 3 dan 4 adalah 24 jam. Kriteria seleksi adalah tingkat resistensi tungau predator (nilai LC50/24 jam) Tungau predator yang lulus hidup dipindah ke tempat pemeliharaan yang bebas pestisida, untuk diperbanyak kembali dan kemudian didedahkan lagi (generasi F1).
3.3. Tabel Hidup A. deleoni sebelum dan sesudah resisten dengan 4 pestisida pada jenis pakan B. phoenicis dan polen teh, kelembaban dan temperatur kamar
Metoda yang dipergunakan dalam penentuan tabel hidup adalah metode Rencken dan Pringle (1998). Dalam metoda ini rasio kelaminnya adalah 3 jantan berbanding 16 betina, sebelum dan sesudah A. deleoni resisten ke 4 jenis pestisida yang dipergunakan. Pemberian jenis pakan yang baku untuk penelitian ini adalah telur B. phoenicis pada kelembaban dan temperatur kamar.
Telur B. phoenicis diletakkan pada tempat pemeliharaan tungau A. deleoni. Pada percobaan 1, A. deleoni yang belum resisten pestisida dengan rasio 3 jantan dibanding 16 betina, diberi 76 butir telur B. phoenicis, dengan asumsi tiap individu A. deleoni memerlukan 4 butir telur mangsa dalam 24 jam. Percobaan 2, menggunakan A. deleoni resisten 4 pestisida yang dipergunakan dalam penelitian ini, dalam rasio dan jumlah telur mangsa yang sama dengan percobaan 1.
Selain pakan telur B. phoenicis, akan pula dicoba pemberian polen teh terhadap tabel hidup A. deleoni sebelum dan sesudah resisten 4 pestisida pada temperatur dan kelembaban berbeda. Pemberian pakan polen teh berlebih, sedangkan penyediaan polen the mengacu pada metode Klashorst (1996) sebagaimana telah dijelaskan pada subbab 3.1.
Dicatat lama waktu peletakkan telur, persentase kematian tahap telur, saat menetas dan lama waktu tahap larva, persentase kematian tahap larva, saat pergantian kulit menjadi nimfa dan lama waktu tahap nimfa, persentase kematian tahap nimfa, saat pergantian kulit menjadi dewasa dan lama waktu tahap dewasa serta persentase kematian tahap dewasa A. deleoni baik yang belum resisten maupun yang resisten 4 pestisida. Data yang diperoleh dimasukkan dalam tabel hidup yang akan memberikan nilai T, rm , dan α A. deleoni.
3.4. Efektivitas kemampuan predasi A. deleoni sebelum dan resisten 4 pestisida pada Brevipalpus phoenicis skala laboratorium
Rancangan percobaan yang dipergunakan adalah rancangan acak lengkap, dengan perlakuannya adalah tahap telur, larva, nimfa dan dewasa B. phoenicis yang diberikan pada A. deleoni sebelum dan sesudah resisten 4 pestisida yang dipergunakan. Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali.
Jumlah tahap telur, larva, nimfa dan dewasa B. phoenicis yang diberikan untuk setiap individu A. deleoni adalah 6 buah, yang diinokulasikan pada daun teh yang sebelumnya dikontaminasi dengan 4 pestisida secara berturut-turut, yaitu dengan menyemprot daun tersebut. Sebagai kontrolnya adalah daun teh yang tidak disemprot, namun diionokulasi dengan A. deleoni yang belum resisten dan resisten 4 pestisida. Pada kontrol, juga diinokulasi setiap tahap hidup tungau jingga. Daun teh ini ditanam dalam spon terendam air, yang bagian pangkal daunnya telah diberi lem “tangle-foot” agar predator tidak lari dari arena uji. Seluruh percobaan ini dilakukan pada kelembaban dan temperatur kamar.
Inokulasi baik B. phoenicis maupun A. deleoni, masing-masing dilakukan pada bagian ujung daun yang berlawanan dan dilakukan setelah daun tidak basah oleh pestisida. Dicatat lama waktu mencari, mengenali dan menangani mangsa untuk setiap individu predator. Dicatat pula banyaknya individu setiap tahap yang dipredasi oleh A. deleoni dalam 24 jam waktu pengamatan.
Berdasarkan uraian di atas maka desain teknologi yang akan dilakukan sebagai berikut.
Desain Teknologi Seleksi A. deleoni resisten berbagai pestisida yang dipergunakan diperkebunan the Tambi, Wonosobo, Jawa Tengah
Rearing A. deleoni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar