Peluang Usaha

clicksor

sitti

Anda Pengunjung ke

Jumat, 26 November 2010

PENGARUH SISTEM PERPAJAKAN YANG KONDUSIF TERHADAP DUNIA USAHA

Download Disini : http://www.ziddu.com/download/12695281/sadhasuardika.pdf.html

I. PENDAHULUAN
Seperti diketahui bersama bahwa sampai saat ini persepsi masyarakat
khususnya dunia usaha mengenai pajak masih negatif. Pajak masih menjadi
momok bagi banyak orang. Hal ini dipicu oleh trauma masa lalu, yaitu pada
zaman penjajahan di mana masyarakat umum beranggapan bahwa pembayar pajak
hanya dijadikan sapi perahan oleh penguasa. Sebaliknya, mereka tidak menyadari
bahwa kontribusi pembayaran pajak yang dihimpun oleh pemerintah adalah untuk
kepentingan bersama melalui pelayanan umum seperti membiayai pendidikan,
memperbaiki fasilitas kesehatan, fasilitas keamanan, dan banyak lagi hal lainnya
yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat (Judisseno, 1997). Di samping itu,
2
dilihat dari pandangan kebanyakan orang yang menilai pajak dari sisi aparatnya
adalah sebagai hantu yang ditakuti, bahkan orang cenderung enggan untuk
berurusan dengan mereka (Media Indonesia, 2005). Di sisi lain fiskus terjerat
dalam melakukan berbagai upaya demi pemasukan pajak yang lebih besar
terkadang menciptakan kesan terlalu mengada-ada dan tidak mengindahkan
peraturan yang ada. Di samping itu, produk peraturan di bawah undang-undang
beberapa kali dibuat/diubah yang kesannya hanya untuk kepentingan sepihak.
Akibat langsung yang dirasakan oleh masyarakat khususnya dunia usaha
sebagai Wajib Pajak dari kondisi tersebut di atas adalah terjeratnya mereka dalam
kebingungan yang tiada henti. Wajib Pajak harus mengalokasikan dana yang tidak
sedikit untuk membayar utang pajaknya (Judisseno, 1997). Secara tidak langsung
keadaan ini berakibat pada membengkaknya biaya perusahaan, yang pada
akhirnya membuat perusahaan kalah bersaing, bahkan tidak menutup
kemungkinan bahwa perusahaan terancam kelangsungan hidupnya.
Riset Transparasi Internasional Indonesia terhadap 900 pengusaha
menyimpulkan bahwa kebocoran pajak sampai 60%. Angka kebocoran ini tentu
besar, tetapi kebocoran ini tidak hanya monopoli aparat Direktorat Jenderal Pajak
yang tidak terpuji. Kebocoran ini juga disebabkan oleh adanya faktor ketidakjujuran
Wajib Pajak dalam melaporkan kewajiban perpajakannya (Media
Indonesia, 2005). Selain itu, memang ada hal lain di luar kekuasaan Direktorat
Jenderal Pajak, yaitu trust kepada pemerintah tentang pajak itu sendiri secara
menyeluruh. Artinya apakah pajak yang telah disetorkan sudah sampai ke kas
negara dan optimalkah pemanfaatannya dalam pembangunan untuk kepentingan
3
umum. Di sisi lain fiskus tidak percaya apakah Wajib Pajak telah dengan jujur
menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya. Jadi, di sini terjadi distrust,
yaitu rasa saling tidak percaya antara Wajib Pajak sebagai pembayar pajak dan
Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi pajak. Di samping itu, muncul dugaan
adanya indikasi KKN antara aparat pajak dengan Wajib Pajak.
Hal ini tentu ironis akibat sikap yang muncul dari segelintir aparat
pemerintah/pajak termasuk Wajib Pajak yang tidak terpuji. Kesan ini jelas akan
menyulitkan pihak fiskus dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini
merupakan kondisi yang sulit karena di satu sisi aparat pajak dihujat habis-habisan
dan di sisi lain pemerintah terus meminta agar penerimaan pajak meningkat.
Kondisi inilah yang menimbulkan gagasan perlunya reformasi perpajakan.
Gagasan ini telah digulirkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sejak tahun 1983
untuk mengantisipasi serangkaian perubahan dinamis masyarakat secara
keseluruhan, termasuk dunia usaha yang berimplikasi betapa pentingnya
seperangkat aturan perpajakan yang mengikat warga negara untuk mematuhinya
(Cahjono, 2000). Selanjutnya, sejak lima tahun yang lalu telah dilakukan
modernisasi sistem perpajakan seiring dengan perkembangan masyarakat,
khususnya dunia usaha yang makin modern (Media Indonesia, 2005).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa ada dua pihak yang
mempunyai kepentingan yang berbeda, yaitu fiskus dalam hal ini Direktorat
Jenderal Pajak dan masyarakat sebagai Wajib Pajak. Fiskus/Direktorat Jenderal
Pajak berusaha untuk memaksimalkan penerimaan pajak yang dapat ditarik dari
masyarakat berdasarkan kewenangannya sesuai dengan peraturan yang berlaku
4
(Darussalam dkk., 2006) dengan menggulirkan kebijakan perpajakan dengan
nama ”Modernisasi Sistem Perpajakan”. Sebaliknya, Wajib Pajak sebagai
masyarakat/dunia usaha berusaha untuk mengoptimalkan kewajiban pajaknya
sesuai dengan sifat manusiawi manusia (Indonesia Tax Review, 2003) atau prinsip
ekonomi dari suatu usaha. Jadi, permasalahan yang dihadapi dalam rangka
modernisasi sistem perpajakan yang melibatkan jajaran Direktorat Jenderal Pajak
dan masyarakat/dunia usaha sebagai wajib pajak adalah bagaimana menciptakan
pengaruh yang kondusif terhadap dunia usaha atas pelaksanaan sistem perpajakan
yang digagas oleh Direktorat Jenderal Pajak saat ini.
II. KAJIAN TEORITIS
Timbulnya Pungutan Pajak
Dalam hidup bermasyarakat manusia tidak pernah lepas dari interaksi
antara satu dengan yang lainnya dan termasuk dengan lingkungannya. Interaksi ini
biasanya melahirkan suatu norma yang disepakati dan dipatuhi secara bersama
untuk mengatur dan menjamin keharmonisan hidupnya. Dengan kata lain,
manusia dalam bersosialisasi di lingkungannya tidak boleh melakukan perbuatan
semaunya sendiri, tetapi harus menjunjung tinggi nilai dan kepentingan bersama
agar harmonisasi hidup dapat terealisasi. Jadi, pada hakikatnya dalam kehidupan
manusia selalu terikat pada aturan-aturan yang membatasi ruang gerak langkahnya
demi suatu kebutuhan dan kepentingan bersama, seperti kebutuhan akan rumah
peribadatan, keamanan, sekolah, kebersihan lingkungan, dan fasilitas-fasilitas
umum lainnya untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur.
5
Aturan-aturan tersebut biasanya tertuang dalam norma hukum yang mengatur
falsafah hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Norma hukum ini di
Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama tersebut negara
tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya. Sehubungan dengan itu,
peran serta aktif masyarakat sebagai warga negara sangat dibutuhkan untuk
memberikan iuran kepada negaranya dalam bentuk pajak sehingga segala
keperluan pembangnan dapat dibiayai. Jadi, timbulnya pungutan pajak merupakan
suatu hal yang logis dalam hidup bermasyarakat dan bernegara (Judisseno, 1997).
Hal ini tertuang dalam pasal 23, ayat 2, Undang-Undang Dasar 1945 yang
berbunyi ”Pengenaan dan pemungutan pajak (termasuk bea dan cukai) untuk
keperluan negara hanya boleh terjadi berdasarkan undang-undang”. Lebih lanjut
dijelaskan ...... oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk
menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban
kepada rakyat, seperti pajak dan lain-lainnya harus ditetapkan dengan Undang-
Undang, yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Arti Penting Pajak bagi Negara dan Masyarakat
Dari sudut pandang ekonomi, pajak adalah salah satu primadona
penerimaan negara yang paling potensial. Bahkan, saat ini sektor pajak
memberikan kontribusi yang terbesar dalam APBN. Penerimaan dari sektor pajak
ini merupakan penerimaan dalam negeri dan penerimaan sektor lainnya
selanjutnya digunakan oleh negara untuk membiayai pembangunan sarana dan
6
prasarana kepentingan umum bagi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa
betapa pentingnya pajak bagi negara karena pajak merupakan sumber dana yang
diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran negara/pemerintah yang
disebut sebagai fungsi budgeteir (Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, 2003).
Seperti diuraikan di atas bahwa pajak merupakan kontribusi masyarakat
untuk ikut berperan aktif dalam membangun negaranya, yaitu membangun sarana
dan prasarana kepentingan umum bagi masyarakat itu sendiri. Dengan kontribusi
ini masyarakat berhak untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah (Judisseno,
1997). Di pihak lain, tidak boleh dilupakan bahwa pajak memang merupakan
bentuk tanggung jawab masyarakat sebagai warga negara dalam menjalankan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sinilah letak pentingnya pajak bagi
masyarakat sebagai Wajib Pajak.
Pihak dan Aspek yang terkait dalam Sistem Perpajakan
Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak dan masyarakat
pembayar pajak sebagai Wajib Pajak merupakan pihak-pihak yang terkait
langsung dalam sistem perpajakan. Jalinan kedua belah pihak ini harus harmonis
di dalam pelaksanaan pemungutan pajak yang optimal. Pemerintah mempunyai
fungsi penting dalam sistem perpajakan, yaitu sebagai pemrakarsa terjalinnya
hubungan antara masyarakat/Wajib Pajak dan pemerintah/Direktorat Jenderal
Pajak dalam pemungutan pajak.
Bentuk jalinan hubungan antara pemerintah/Direktorat Jenderal Pajak dan
masyarakat/Wajib Pajak diatur dalam Undang-Undang Perpajakan agar tiap-tiap
7
pihak mempunyai interpretasi yang sama mengenai sistem perpajakan yang
sedang dijalankan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Ciri-ciri umum
jalinan antara pemerintah/Direktorat Jenderal Pajak dan masyarakat/Wajib Pajak
dalam sistem perpajakan (Judisseno, 1997) adalah sebagai berikut.
1. Adanya peralihan kekayaan dari pihak masyarakat kepada kas negara
2. Tidak ada jasa balik dari negara secara langsung
3. Digunakan untuk kepentingan umum
4. Diatur dalam undang-undang.
Undang-undang yang mengatur tentang pajak adalah Undang-Undang
Perpajakan. Dalam penyusunan Undang-Undang Perpajakan ini secara umum
selalu diperhatikan beberapa aspek sebagai berikut.
1. Adanya jaminan pelaksanaan pemungutan pajak oleh negara yang berjalan
lancar.
Acuan yang paling utama dalam pemungutan pajak pada era modern
saat ini adalah mempertimbangkan masalah bukti nyata dan praktisnya
pelaksanaan pemungutan pajak. Hal ini bukan berarti mekanisme
pemungutannya tidak memperhatikan teori dan asas pemungutan pajak
secara universal dalam rangka pencapaian tujuan pemungutan pajak
tersebut. Teori-teori yang berkenaan dengan pemungutan pajak adalah
teori asuransi, teori kepentingan, teori bakti (teori kewajiban pajak
mutlak), teori daya pikul, dan teori asas daya beli (Cahjono dkk., 2000).
Sebaliknya, asas-asas yang berkenaan dengan pemungutan pajak adalah
8
asas equality, asas certainty, asas convennience, dan asas economy
(Waluyo dkk., 2003).
2. Adanya jaminan hukum yang tegas bagi para Wajib Pajak.
Kepastian hukum mutlak diperlukan sebagai jaminan keadilan yang
sifatnya dua arah, yaitu jaminan keadilan bagi masyarakat dan jaminan
keadilan bagi negara.
3. Adanya jaminan kerahasiaan mengenai orang pribadi ataupun badan
sebagai Wajib Pajak.
Walaupun pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak
mempunyai wewenang untuk memeriksa sesuai dengan pasal 29, ayat 1,
Undang-Undang No. 6, Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.
16, Tahun 2000, kerahasiaan orang pribadi ataupun badan sebagai Wajib
Pajak harus tetap dijaga agar tidak terjadi suatu hal yang merugikan Wajib
Pajak tersebut.
Kendala-kendala Penerapan Sistem Perpajakan
Kendala-kendala yang timbul dalam suatu sistem perpajakan adalah
bagaimana menciptakan sistem yang dapat menghasilkan suatu pengertian yang
baik antara masyarakat sebagai pembayar pajak/wajib pajak dan pemerintah
selaku pembuat peraturan dan Undang-Undang Perpajakan (Judisseno,1997).
Pemerintah selaku fiskus pajak merencanakan dan menggodok Undang-Undang
Perpajakan atas dasar dan prinsip perpajakan yang seadil-adilnya, yang memiliki
9
nilai dan manfaat, baik bagi masyarakat maupun bagi negara itu sendiri. Dalam
melaksanakan tugasnya selaku perancang dan pembuat Undang-Undang
Perpajakan, pemerintah harus membuat peraturan itu sedemikian rupa sehingga
mudah dimengerti dan dapat ditafsirkan secara jelas. Jika produk peraturan yang
dibuat sulit dimengerti oleh masyarakat, otomatis akan timbul suatu bentuk
perlawanan pajak, yang cara, bentuk, dan dalihnya bisa bermacam-macam.
Pemerintah juga wajib memberikan pengertian kepada masyarakat,
memberikan bimbingan dan penyuluhan, serta menerbitkan buku-buku, peraturan,
prosedur, perhitungan pajak, dan informasi lainnya tentang perpajakan. Dalam hal
program bimbingan dan penyuluhan sering timbul kendala sedikitnya aparat yang
dapat melakukan/menanganinya. Hal ini sering dimanfaatkan oleh para usahawan
untuk menyelenggarakan berbagai seminar perpajakan dengan mengundang pakar
di bidang ini. Akan tetapi, sangat disayangkan biasanya produk seminar semacam
ini sangat mahal sehingga tidak dapat dijangkau oleh kalangan tertentu.
Penyebaran informasi tentang pajak harus seluas-luasnya dengan biaya
yang semurah-murahnya. Tujuan utama penyebaran informasi pajak adalah untuk
memberikan pengertian dan kesadaran bagi masyarakat luas sehingga masyarakat
sadar untuk berpartisipasi aktif dalam membayar pajak. Ada hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam penyampaian informasi tersebut, yaitu jangan sampai ada
kesan bahwa perpajakan adalah suatu hal yang eksklusif dan mahal, melainkan
perpajakan adalah suatu kewajiban moral yang harus segera dipenuhi dengan
kesadaran yang tinggi, baik oleh aparat pajak maupun masyarakat sebagai
pembayar pajak/wajib pajak demi pembangunan bangsa dan negara yang adil dan
10
sejahtera. Di samping itu, penyampian informasi dapat dilakukan dengan cara
mengadakan dan memperbanyak buku panduan perpajakan bagi masyarakat
secara gratis atau kalaupun dijual harganya mesti dapat dijangkau oleh masyarakat
banyak. Agar cara ini betul-betul dapat bermanfaat, usahakan agar bahasa,
ungkapan, serta terminologi khusus yang digunakan dalam buku panduan
perpajakan dapat mudah dimengerti oleh pembacanya. Dengan perkembangan
teknologi informasi seperti sekarang ini informasi juga dapat disampaikan dengan
mudah dan cepat melalui teknologi informasi tersebut.
III. PEMBAHASAN
Untuk menciptakan pengaruh yang kondusif terhadap dunia usaha, perlu
diterapkan strategi tertentu dalam sistem perpajakan. Strategi yang dimaksud di
sini adalah suatu kumpulan perilaku dan seperangkat tindakan yang dibutuhkan
untuk mencapai sasaran dengan cara-cara yang sistematis, efektif, dan efisien.
Sasaran itu sendiri memberikan pengertian tentang sesuatu yang dituju atau
sesuatu yang hendak dicapai (Judisseno, 1997). Pencapaian sasaran perpajakan
harus memperhatikan sisi fiskus sebagai pelaksana pemungutan pajak dan sisi
Wajib Pajak selaku pembayar pajak.
Seperti telah diuraikan di atas bahwa tujuan suatu negara memungut pajak
adalah agar negara memiliki kemampuan untuk membiayai berbagai
keperluannya, baik keperluan negara maupun keperluan masyarakatnya yang
diwujudkan dalam pembangunan nasional. Negara dalam pelaksanaan
pemungutan pajak masih banyak menghadapi permasalahan yang perlu diatasi.
11
Permasalahan yang terbesar yang dihadapi saat ini di sektor perpajakan adalah
distrust, yaitu adanya saling ketidakpercayaan atau tidak harmonisnya jalinan
hubungan antara Wajib Pajak selaku pembayar pajak dan fiskus sebagai pemungut
pajak. Jika hal ini tidak segera diatasi, tentu akan mempunyai pengaruh yang tidak
kondusif terhadap dunia usaha. Secara normatif dapat dikatakan bahwa sebaik apa
pun sistem perpajakan yang digulirkan oleh pemerintah/fiskus akan mubazir jika
tanpa diiringi oleh jalinan hubungan yang harmonis antara Wajib Pajak selaku
pembayar pajak dan fiskus sebagai pemungut pajak karena Wajib Pajak dan fiskus
berada dalam satu sistem.
Untuk mengatasi masalah ini perlu diambil langkah-langkah yang positif
untuk menyusun suatu strategi yang dapat menciptakan harmonisasi antara Wajib
Pajak selaku pembayar pajak dan fiskus sebagai pemungut pajak, yang nantinya
akan dapat memberi pengaruh yang kondusif terhadap perkembangan dunia
usaha. Adapun langkah-langkah yang harus diambil sebagai suatu strategi yang
dapat menciptakan harmonisasi antara Wajib Pajak selaku pembayar pajak dan
fiskus sebagai pemungut pajak, yang pada gilirannya dapat memberi pengaruh
yang kondusif terhadap dunia usaha, antara lain sebagai berikut.
1. Fiskus mesti menawarkan sesuatu yang terbaik untuk Wajib pajak.
Tawarkanlah kepada masyarakat suatu representasi dan manfaat yang
besar dari pajak dengan cara memberikan keterbukaan laporan mengenai
kontribusi pajak terhadap pembangunan sehingga masyarakat merasa
terlibat secara langsung dalam pembangunan. Bukti nyata lainnya atas
pemanfaatan pajak terhadap pembangunan nasional, seperti fasilitas umum
12
dan sosial yang lebih baik dan merata, terbukanya kesempatan kerja,
kesejahteraan yang meningkat secara nyata di berbagai sektor, dan lainlainnya.
2. Berikan kepastian hukum.
Kepastian hukum mutlak diperlukan sebagai jaminan keadilan yang
sifatnya dua arah, yaitu jaminan keadilan bagi masyarakat dan jaminan
keadilan bagi negara.
3. Fiskus harus memberikan kemudahan untuk tumbuh kembangnya dunia
usaha.
Dunia usaha perlu dibina dan diberikan kemudahan-kemudahan serta
fasilitas yang memadai sehingga mereka mampu bertumbuh dan
berkembang yang pada gilirannya akan mempunyai kemampuan untuk
memperluas usahanya dan akhirnya memberi kemampuan untuk
membayar pajak.
4. Lakukan komunikasi informasi dua arah secara berkesinambungan untuk
saling melengkapi antara Wajib Pajak selaku pembayar pajak dan fiskus
sebagai pemungut pajak.
Peraturan dan perundang-undangan perpajakan selalu dinamis dalam
rangka mengikuti laju perkembangan dunia usaha. Oleh karena itu, fiskus
perlu mengkomunikasikan dan mensosialisasikan secara
berkesinambungan tentang perubahan-perubahan peraturan tersebut.
Begitu juga Wajib Pajak seyogianya secara aktif mencari informasi
tentang aturan perpajakan yang diterapkan oleh fiskus.
13
5. Tegakkan hukum secara konsekuen dalam pelaksanaan pemungutan pajak.
Tumbuhkan rasa saling percaya antara Wajib Pajak selaku pembayar
pajak dan fiskus selaku pemungut pajak, yang selama ini masih terlihat
dipermukaan. Untuk itu, hukum harus dijunjung tinggi dan harus
ditegakkan secara konsekuen dan konsisten, baik oleh Wajib Pajak
maupun oleh aparat pajak/fiskus di dalam pelaksanaan sistem pemungutan
pajak.
6. Tumbuhkan kesadaran masyarakat akan kewajibannya sebagai warga
negara bahwa pajak merupakan tanggung jawab bersama.
Masyarakat harus sadar akan keberadaannya sebagai warga negara
yang senantiasa selalu menjunjung tinggi Undang-Undang Dasar 1945
sebagai dasar hukum penyelenggaraan negara. Dengan demikian, mereka
harus sadar akan kewajibannya membayar pajak tanpa rasa ada beban.
IV. SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa sistem
perpajakan yang diberlakukan akan mempunyai pengaruh yang kondusif terhadap
dunia usaha jika hamonisasi jalinan hubungan antara Wajib Pajak selaku
pembayar pajak dan fiskus selaku pemungut pajak tercapai. Jadi, hamonisasi
antara Wajib Pajak selaku pembayar pajak dan fiskus selaku pemungut pajak akan
dapat menciptakan pengaruh yang kondusif terhadap dunia usaha.
Saran yang dapat disampaikan dalam pembahasan ini adalah lakukan
harmonisasi secara keseluruhan antara Wajib Pajak selaku pembayar pajak dan
14
fiskus selaku pemungut pajak untuk dapat mencapai keseimbangan dalam rangka
pelaksanaaan sistem pemungutan pajak secara modern. Hal itu pada akhirnya akan
dapat memberi pengaruh yang kondusif terhadap dunia usaha.
DAFTAR PUSTAKA:
Cahjono, Achmad dan Muhammad Fakhri Husein. 2000. Perpajakan, Edisi
Kedua. Yogyakarta: Penerbit UPP AMP YKPN.
Darussalam dan Danny Septriadi. 2006. Membatasi Kekuasaan untuk
Mengenakan Pajak. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Indonesia Tax Review. 2003. “Smart Taxes Series”. Tax Planning. Jakarta.
Judisseno, Rimsky K. 1997. Pajak dan Strategi Bisnis, Suatu Tinjauan tentang
Kepastian Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
Soewarno, Guntoro. 12 Desember 2005. “Mendirikan Bangsa dengan Reformasi
Pajak”. Media Indonesia. Suplemen Khusus.
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas. 2003. Perpajakan Indonesia, Pembahasan Sesuai
dengan Ketentuan Perundang-undangan Perpajakan dan Aturan
Perpajakan Terbaru. Jakarta : Salemba Empat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar