Peluang Usaha

clicksor

sitti

Anda Pengunjung ke

Selasa, 19 Oktober 2010

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM
Oleh : Muhammad Fattakhy Ulinnuha
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Pendahuluan
Hukum waris dalam Islam adalah bagian dari Syariat Islam yang sumbernya diambil dari
al-Qur'an dan Hadist Rasulullah SAW, kemudian para ahli hukum. Islam, khususnya para
mujtahid dan fuqoha mentranformasi melalui berbagai formulasi kewarisan sesuai dengan
pendapatnya masing-masing.
Yang sama pengertiannya dengan dengan waris adalah faroid yang
menurut bahasa adalah kadar atau bagian, oleh karena itu hukum waris sama
dengan hukum faroid. Dalam tulisan ini, akan dibahas "Azas-azas Hukum waris
dalam Islam" yang bersumber dan pendapat para ulama' dan pakar hukum Islam termasuk yang
diambil dari berbagai Undang-undang yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan hukum
waris Islam seperti Hukum Kewarisan yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. I
tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991), adanya ketentuan hak opsi yang dipergunakan dalam
menyelesaikan pembagian warisan sebagaimana kita jumpai dalam Penjelasan Umum Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama angka 2 alinea keenam, “ sehubungan
dengan hal tebut, para pihak yang berperkaradapat mempertimbangakanuntuk memilih
ukumapa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan” dinyatakan dihapus oleh UU No.
3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Dalam penjelasan pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan Waris adalah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta
peninggalan tersebut serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan
siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Dari hal-hal tersebut di atas maka dalam pelaksanaan pembagian waris tidak dapat
dipisahkan dengan azas-azas hukum waris Islam yang meliputi :
2
1. Azas Integrity : Ketulusan
Integrity artinya : Ketulusan hati, kejujuran, keutuhan. Azas ini mengandung
pengertian bahwa dalam melaksanakan Hukum Kewarisan dalam Islam diperlukan ketulusan
hati untuk mentaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini kebenarannya. Hal ini
juga dapat dilihat dari keimanan seseorang untuk mentaati hukum Allan SWT, apalagi
penjelasan umum angka 2 alinea keenam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama memberi hak opsi kepada para pihak untuk bebas menentukan pilihan
hukum waris mana yang akan dipergunakan- dalam menyelesaikan pembagian waris, telah
dinyatakan dihapus oleh UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama. Penghapusan tersebut berarti telah membuka pintu bagi
orang Islam untuk melaksanakan hukum waris Islam dengan kaffah yang pada ahirnya
ketulusan hati untuk mentaati hukum waris secara Islam adalah pilihan yang terbaik,
landasan kesadarannya adalah firman Allah SWT surat Ali Imran ayat 85 :
”Barang siapa menuntut agama selain Islam, maka tiadalah diterima dari
padanya, sedang dia di akhirat termasuk orang-orang merugi”
2. Azas Ta' abbudi : Penghambaan diri
Yang dimaksud azas Ta'abbudi adalah melaksanakan pembagian waris secara hukum
Islam adalah merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT, yang akan berpahala bila
ditaati seperti layaknya mentaati pelaksanaan hukum-hukum Islam lainnya. Ketentuan
demikian dapat kita lihat, setelah Allah SWT menjelaskan tentang hukum waris secara
Islam sebagaimana dijelaskan dalam surat an-Nisa' ayat 11 dan 12, kemudian dikunci
dengan ayat 13 dan 14 :
”Demikianlah Batas-Batas (peraturan) Allah. Barangsiapa mengikut (perintah)
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkan dia ke dalam surga yang
mengalir air sungai di bawahnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan
itulah kemenangan yang besar" (an-Nisa'-13).
“Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melampaui Batas-Batas
(larangan)-Nya, niscaya Allah memasukkan dia ke dalam neraka, serta kekal di
dalamnya, dan untuknya siksaan yang menghinakan" (an-Nisa'- 14).
3
3. Azas Hukukul Maliyah : Hak-hak Kebendaan
Yang dimaksud dengan Hukukul Maliyah adalah hak-hak kebendaan, dalam arti
bahwa hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan saja yang dapat diwariskan kepada
ahli waris, sedangkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-hak
dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan, keahlian dalam suatu
ilmu dan yang semacamnya tidak dapat diwariskan. Kewajiban ahli waris terhadap
pewaris diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 175 yang berbunyi :
a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk
kewajiban pewaris maupun menagih piutang;
c. Menyelesaikan wasiat pewaris;
d. Membagi harta warisan diantara anti waris yang berhak
4. Azas Hukukun Thabi’iyah : Hak-Hak Dasar
Pengertian hukukun thabi’iyah adalah hak-hak dasar dari ahli waris sebagai
manusia, artinya meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang
sudah sakit menghadapi kematian sedangkan ia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia,
begitu juga suami istri yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka
dipandang cakap untuk mewarisi. Hak-hak dari kewarisan ini ada empat macam penyebab
seorang mendapat warisan, yakni : hubungan keluarga, perkawinan, wala dan seagama.
Hubungan keluarga yaitu hubungan antar orang yang mempunyai hubungan darah (genetik)
baik dalam garis keturunan lurus ke bawah (anak cucu dan seterusnya) maupun ke samping
(saudara)..
Kebalikan dari ketentuan tersebut, hukum Islam menentukan beberapa macam
penghalang kewarisan yaitu Murtad, membunuh dan hamba sahaya, sedangkan dalam
Kompilasi Hukurn Islam penghalang kewarisan kita jumpai pada pasal 173 yang berbunyi:
“Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :
4
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada
pewaris;
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat”.
5. Azas Ijbari : Keharusan, kewajiban
Yang dimaksud Ijbari adalah bahwa dalam hukum kewarisan Islam secara otomatis
peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya
sesuai dengan ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik
pewaris maupun ahli waris. Unsur keharusannya (ijbari/compulsory) terutama terlihat dari
segi di mana ahli waris (tidak boleh tidak) menerima berpindahnya harta pewaris
kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu orang
yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencanakan penggunaan
hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis
hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan bagian yang sudah dipastikan. Azas Ijbari
ini dapat juga dilihat dari segi yang lain yaitu
a. Peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia.
b. Jumlah harta sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris.
c. Orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah ditentukan dengan pasti
yakni mereka yang mempunyai hubungan darah dan perkawinan.
6. Azas Bilateral
Azas ini mengandung makna bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua
belah pihak yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan.
Azas bilateral ini dapat dilihat dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 7 :
”Untuk laki-laki ada bagian dari peninggalan ibu bapak dan karib kerabat yang
terdekat, dan untuk perempuan-perempuan ada bagian pula dari peninggalan
ibu bapak dan karib yang terdekat, baik sedikit ataupun banyak, sebagai bagian
yang telah ditetapkan” (an-Nisa'-7).
5
Dalam surat an-Nisa' ayat 11 :
”Allah mewasiatkan kepadamu tentang (bagian) anak-anakmu, untuk seorang
laki-laki seumpama bagian dua orang perempuan. Kalau anak-anak itu
perempuan saja lebih dari dua orang, untuk mereka dua pertiga dari
peninggalan, dan kalau perempuan itu seorang saja, maka untuknya seperdua.
Untuk dua orang ibu bapak, untuk musing-masingnya seperenam dari
peninggalan, jika ia (mayat) mempunyai anak. Kalau mayat tiada mempunyai
anak dan yang mempusakai hanya ibu bapak saja, maka untuk ibunya sepertiga,
tetapi jika mayat mempunyai beberapa orang saudara, maka untuk ibunya
seperenam, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutanghutangnya.
Bapak-bapakmu dan anak-anakmu tiadalah kamu ketahui,
siapakah di antara mereka yang terlebih dekat manfa'atnya kepadamu. Inilah
suatu ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana” (an-Nisa'-11 ).
Selanjutnya surat an-Nisa' ayat 12 :
”Untukmu seperdua dari peninggalan isterimu, jika ia tidak beranak, tetapi
jika ia beranak, maka untukmu seperempat dari peninggalannya, sesudah
dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutangnya. (Kalau kamu
meninggal) untuk mereka (isteri-isterimu) seperempat dari peninggalanmu,
jika kamu tiada mempunyai anak, kalau kamu mempunyai anak, maka
untuk mereka seperdelapan dari peninggalanmu, sesudah dikeluarkan wasiat
yang kamu wasiatkan atau hutang-hutangmu. Kalau laki-laki atau perempuan
yang diwarisi tiada beranak atau berbapak dan baginya ada seorang saudara
seibu laki-laki atau perempuan, maka untuk masing-masing seperenam.
Kalau mereka (saudara seibu) lebih dari seorang maka mereka berserikat
pada sepertiga, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutanghutangnya,
tanpa memberi mudharat (kepada ahli warisnya) sebagai wasiat
(perintah) dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”(an-Nisa'-
12).
Dalam surat yang sama ayat 176 :
“Mereka itu minta fatwa kepada engkau (ya Muhammad) katakanlah: Allah
memfatwakan kepadamu tentang kalalah. Jika seorang manusia meninggal tak
ada baginya anak dan ada baginya saudara perempuan, maka untuk saudara
perempuan itu seperdua dari pada peninggalannya. Saudara laki-laki juga
mempusakai saudara perempuannya, jika tak ada anak bagi saudara perempuan
itu. Jika saudara perempuan dua orang maka untuk keduanya dua pertiga dari
peninggalannya saudaranya. Jika mereka itu beberapa orang saudara, laki-laki
dan perempuan, maka untuk seorang laki-laki seumpama bagian dua orang
perempuan. Allah menerangkan kepadamu, supaya kamu jangan tersesat.
Allah Maha mengetahui tiap-tiap sesuatu (an-Nisa'-176).
6
7. Azas Individual : Perorangan
Azas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing masing ahli
waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan
dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang
berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Azas Individual ini dapat
dilihat dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 7 :
“Untuk laki-laki ada bagian dari peninggalan ibu bapak dan karib kerabat yang
terdekat, dan untuk perempuan-perempuan ada bagian pula dari peninggalan
ibu bapak dan karib yang terdekat, baik sedikit ataupun banyak, sebagai
bagian yang telah ditetapkan” (an-Nisa'-7).
Dalam surat an-Nisa ayat 8 :
“Apabila datang waktu pembagian pusaka, karib kerabat (yang tidak
mendapat bagian), anak-anak yatim dan orang orang miskin, berilah mereka
itu sekedamya dan katakanlah kepada mereka perkataan yang baik (an-Nisa'-
8)
Kemudian surat an-Nisa' ayat 33 :
“Untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) kami adakan ahli waris dari
peninggalan ibu dan bapak dan karib kerabat yang terdekat dan orang-orang
yang telah bersumpah setia kepada kamu, maka hendaklah kamu berikan kepada
mereka bagiannya masing-masing. Sesungguhnya Allah menjadi saksi atas tiatiap
sesuatu” (an-Nisa'-33).
Begitu juga surat an-Nisa' ayat 11 :
”Allah mewasiatkan kepadamu tentang (bagian) anak-anakmu, untuk seorang
laki-laki seumpama bagian dua orang perempuan. Kalau anak-anak itu
perempuan saja lebih dari dua orang, untuk mereka dua pertiga dari
peninggalan, dan kalau perempuan itu seorang saja, maka untuknya seperdua.
Untuk dua orang ibu bapak, untuk masing-masingnya seperenam dari
peninggalan, jika ia (mayat) mempunyai anak. Kalau mayat tiada mempunyai
anak dan yang mempusakai hanya ibu bapak saja, maka untuk ibunya sepertiga,
tetapi jika mayat mempunyai beberapa orang saudara, maka untuk ibunya
seperenam, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutanghutangnya.
Bapak-bapakmu dan anak-anakmu tiadalah kamu ketahui,
siapakah di antara mereka yang terlebih dekat manfa'atnya kepadamu. Inilah
suatu ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menngetahui lagi Maha
Bijaksana (an-Nisa'-11 ).
7
Surat an-Nisa' ayat 12 :
“Untukmu seperdua dari peninggalan isterimu, jika ia tidak beranak, tetapi
jika ia beranak, maka untukmu seperempat dari peninggalannya, sesudah
dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutangnya. (Kalau kamu
meninggal) untuk mereka (isteri-isterimu) seperempat dari peninggalanmu, jika
kamu tiada mempunyai anak, kalau kamu mempunyai anak, maka untuk
mereke seperdelapan dari peninggalanmu, sesudah dikeluarkan wasiat yang
kamu wasiatkan atau hutang-hutangmu. Kalau laki-laki atau perempuan yang
diwarisi tiada beranak atau berbapak dan baginya ada seorang saudara seibu
laki-laki atau perempuan, maka untuk masing-masing seperenam. Kalau
mereka (saudara seibu) lebih dari seorang maka mereka berserikat pada
sepertiga, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutanghutangnya,
tanpa memberi mudharat (kepada ahli warisnya) sebagai wasiat
(perintah) dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun (an-
Nisa'- 12).
Surat An-Nisa ayat 176 :
”Mereka itu minta fatwa kepada engkau (ya Muhammad) katakanlah : Allah
memfatwakan kepadamu tentang kalalah. Jika seorang manusia meninggal
tak ada baginya anak dan ada baginya saudara perempuan, maka untuk
saudara perempuan itu seperdua dari pada peninggalannya. Saudara laki-laki
juga mempusakai saudara perempuannya, jika tak ada anak bagi saudara
perempuan itu. Jika saudara perempuan dua orang maka untuk keduanya dua
pertiga dari peninggalannya saudaranya. Jika mereka itu beberapa orang
saudara, laki-laki dan perempuan, maka untuk seorang laki-laki seumpama
bagian dua orang perempuan. Allah menerangkan kepadamu, supaya kamu
jangan tersesat. Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu (an-Nisa'-1.76).
8. Azas Keadilan yang Berimbang
Azas ini mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang
diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang
harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat bagian yang sebanding
dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab dalam kehidupan keluarga,
mencukupi keperluan hidup anak dan isterinya sesuai (QS.2:233) dengan kemampuannya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 233 :
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan pernyusuan. Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang itu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum
8
dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada
dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan” (Qs. 2:233)
Begitu juga pada surat At-Talaaq ayat 7 :
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan
orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Qs. 65:7)
Tanggung jawab tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, terlepas dari
persoalan apakah isterinya mampu atau tidak, anak-anaknya memerlukan bantuan atau tidak.
Berdasarkan keseimbangan antara hak yang diperoleh dan kewajiban yang harus ditunaikan,
sesungguhnya apa yang diperoleh seseorang laki-laki dan seorang perempuan dari harta
warisan manfaatnya akan sama mereka rasakan.
9. Azas Kematian
Makna azas ini adalah bahwa kewarisan baru muncul bila ada yang meninggal dunia.
Ini berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Menurut ketentuan
hukum Kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan
terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia, artinya harta seseorang
tidak dapat beralih kepada orang lain (melalui pembagian harta warisan) selama orang
yang mempunyai harta itu masih hidup, dan segala bentuk peralihan harta-harta
seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik langsung maupun yang akan
dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan
menurut hukum Islam.
Dengan demikian, kewarisan Islam adalah kewarisan yang menurut Kitab Undangundang
Hukum Perdata (BW) disebut kewarisan ab intestato dan tidak mengenal kewarisan
atas dasar wasiat yang disebut testamen.
9
10. Azas Membagi Habis Harta Warisan
Membagi habis semua harta peninggalan sehingga tidak tersisa adalah azas dari
penyelesaian pembagian harta warisan. Dari menghitung dan menyelesaikan pembagian
dengan cara : Menentukan siapa yang menjadi Ahli waris dengan bagiannya masingmasing,
membersihkan/memurnikan harta warisan seperti hutang dan Wasiat, sampai
dengan melaksanakan pembagian hingga tuntas.
Begitu juga apabila terjadi suatu keadaan dimana jumlah bagian dari semua ahli waris
lebih besar dari masalah yang ditetapkan, atau sebaliknya terjadi suatu keadaan dimana
jumlah bagian dari semua ahli waris yang ada lebih kecil dari asal masalah yang ditetapkan,
telah diatur hingga harta warisan habis terbagi sesuai dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam tentang Aul dan Rad pasal 192 berbunyi :
Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris Dzawil Furud
menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari pada angka penyebut dinaikkan
sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan dibagi secara aul
menurut angka pembilang.
Pada pasal 193 berbunyi : Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli
waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih.kecil dari pada angka
penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka angka pembagian harta warisan
tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedangkan
sisanya dibagi secara berimbang diantara mereka.
Penutup
Dari sepuluh azas Hukum Kewarisan dalam Islam tidak terdapat yang berkaitan dengan azas
perdamaian, walaupun memang Hukum Kewarisan Islam pada dasarnya bersifat mengatur
(regelen), tidak bersifat mutlak (dewingend) dalam arti para pihak dimungkinkan untuk
membagi warisan di luar ketentuan itu, tentunya sepanjang kesepakatan dan kehendak masingmasing.
Akan tetapi karena ketentuan hukum waris dalam Islam dalam pelaksanaannya
merupakan pengabdian kepada Allah SWT dan sebagai salah satu bentuk ibadah, maka
penyimpangan terhadap ketentuan waris secara Islam semestinya tidak terjadi, sebab bila
terjadi, maka termasuk orang yang merugi.
10
Jalan keluarnya agar kita tidak merugi adalah : selesaikan dahulu pembagian waris secara
Islam, kemudian setelah kita terima bagiannya atau sekurang-kurangnya sudah tahu bagian
kita, barulah kita serahkan kepada pihak lain bagian itu baik kepada orang tua, saudara atau
lainnya dalam bentuk shadaqoh, hibah atau hadiah. Dengan demikian kita sudah melakukan
dua macam ibadah kepada Allah SWT dalam objek yang sama; yaitu dengan cara membagi
waris secara Islam dan memberi shadaqoh kepada orang lain. Keduanya merupakan bagian dari
ibadah kepada Allah SWT.
Demikian, semoga Allah SWT selalu membimbing kepada kita semua. Amin.
Yogyakarta, 8 Juli 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar