Peluang Usaha

clicksor

sitti

Anda Pengunjung ke

Rabu, 27 Oktober 2010

Asas Pemisahan Horizontal dalam Hukum Tanah Nasional

Dualisme Hukum Agraria Indonesia berakhir pada tanggal 24 September tahun 1960, melalui pembentukan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043) yang kemudian disebut sebagai Undang Undang Pokok Agraria (UUPA). Melalui Undang Undang ini dicapai adanya unifikasi Hukum Agraria. Tidak lagi dikenal berbagai macam hak atas tanah dan macam hukum yang mengaturnya, dalam artian tidak ada lagi hak atas tanah barat ataupun hak atas tanah adat , yang ada hanyalah hak atas tanah menurut UUPA yang pengaturannya berlaku bagi semua orang yang ada di wilayah Indonesia. Dengan demikian hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA agar tetap bereksistensi harus dilakukan konversi menurut tata cara yang diatur dalam peraturan perundangan untuk menjadi hak atas tanah menurut UUPA.

Dalam proses pembuatan UUPA, salah satu masalah yang menjadi bahan perdebatan adalah yang menyangkut dasar dan sumber pembentukan Hukum Agraria Nasional. Apakah dasar dan sumber yang dipergunakan tersebut berasal dari Hukum Barat, Hukum Adat, ataukah Hukum Islam, yang pada akhirnya disepakati Hukum Adat sebagai sumber dan dasar bagi pembentukan Hukum Agraria Nasional. Pasal 5 UUPA yang menyatakan :

”Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.

Selain ketentuan tersebut di atas, penyebutan Hukum Adat sebagai dasar pembentukan Hukum Agraria Nasional dalam UUPA juga dapat dijumpai dalam Konsiderans (dibawah perkataan berpendapat) huruf a, Penjelasan Umum angka III (1), penjelasan pasal 16, pasal 56, dan pasal 58. Ditentukannya Hukum Adat sebagai dasar atau sumber hukum agraria nasional seperti yang tersebut di atas dapat dimaklumi, mengingat Hukum Adat merupakan hukum asli serta sebagian besar Bangsa Indonesia mentaati dan mempergunakannya sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu ada juga keinginan untuk mengangkat kedudukan Hukum Adat untuk menjadi tuan di dalam negaranya sendiri, yang pada masa kolonial Hukum Adat tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah Kolonial dan terkesan diperlakukan secara diskriminatif.

Mencermati kedudukan Hukum Adat dalam Hukum Agraria Nasional, Boedi Harsono menyebut adanya hubungan fungsional diantara keduanya. Hubungan seperti ini menempatkan hukum adat sebagai sumber utama dan pelengkap dalam pembentukan Hukum Agraria Nasional.[1] Sebagai sumber utama, menempatkan Hukum Adat bukan sebagai satu-satunya sumber dalam pembentukan Hukum Agraria Nasional. Artinya manakala Hukum Adat mampu menampung dinamika masyarakat, maka menjadi kewajiban untuk menggunakan Hukum Adat sebagai sumber dalam pembentukan Hukum Agraria (tertulis). Apabila terjadi sebaliknya, pembentukan Hukum Agraria (tertulis) dapat menggunakan sumber lainnya, yaitu hukum asing. Penggunaan hukum asing dilakukan untuk memperoleh lembaga-lembaga baru yang belum dikenal dalam Hukum Adat guna memperkaya dan memperkembangkan Hukum Nasional, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang Undang dasar 1945.[2] Penggunaan hukum asing sebagai sumber dengan syarat bahwa ketentuan hukum (serta lembaga hukum) tersebut telah mapan di negaranya serta mampu memberikan manfaat dalam menyelesaikan masalah. Mekanisme penggunaan hukum asing sebagai sumber, bisa dilakukan melalui mekanisme adoption within adaptation seperti yang pernah terjadi dalam perkembangan madzab historis.[3]

Hukum Adat yang dipergunakan sebagai sumber seperti yang diuraikan di atas bukan Hukum Adat seperti yang dimaksudkan oleh Snouck Hurgronye yang mengartikannya sebagai konsep sosial yang didasarkan pada pengalaman empiris, sehingga hasilnya lebih menekankan pada zeden en gewoonten (tatakrama dan kebiasaan), tetapi sebagai Hukum Adat dalam konsep aslinya yang metaphysic, berwujud sebagai prinsip, bersifat normatif, serta bersifat kategoris.[4] Hukum Adat yang demikian ini adalah hukum aslinya golongan rakyat pribumi, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.[5] Dari Hukum Adat ini diperoleh bahan-bahan untuk pembentukan hukum agraria nasional berupa konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaga hukumnya untuk dirumuskan menjadi norma-norma hukum yang tertulis, yang diisusun menurut Sistem Hukum Adat.[6] Salah satu asas yang diambil dari Hukum Adat dalam pengaturan Hukum Tanah Nasional, adalah asas pemisahan horisontal.

Penerapan asas pemisahan horisontal dapat dilihat dalam Pasal 4 yat 2 UUPA yang menentukan wewenang pemegang hak atas tanah untuk menggunakan tanahnya, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang Undang ini dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi. (garis bawa dari saya). Kata sekedar diperlukan dalam pasal tersebut, menunjukan bahwa kewenangan untuk menggunakan tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya tidak serta merta tapi harus terkait dengan penggunaan tanahnya. Oleh karena itu jika di tubuh buminya terdapat kekayaan alam, maka tidak menjadi bagian dari hak yang dimilikinya tapi menjadi kewenangan negara untuk mengaturnya, seperti yang ditentukan dalam pasal 8 UUPA. Pasal ini menentukan bahwa atas dasar hak menguasai negara, diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa. Pasal ini yang kemudian menjadi pangkal bagi lahirnya pengaturan di bidang pertambangan.. Selain itu, penerapan asas pemisahan horisontal juga dapat dijumpai dalam Pasal 35 ayat 1 UUPA yang menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri. dalam waktu tertentu. Tanah yang bukan miliknya sendiri bisa berupa tanah negara, tanah milik orang lain, ataupun tanah dengan Hak Pengelolaan. Apabila jangka waktu berlakunya itu habis, tanahnya akan kembali pada asalnya, yang tanah negara akan kembali menjadi tanah negara demikian pula terhadap tanah hak milik orang lain. Terhadap bangunan yang berdiri di atas tanah bekas HGB yang berasal dari tanah negara ditentukan dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan. Ketentuan ini menyatakan apabila HGB masa berlakunya habis, dan tanahnya kembali menjadi tanah negara, maka bangunan dan benda lain yang ada di atasnya harus dibongkar dalam waktu satu tahun setelah masa berlakunya hak tersebut habis. Jika hal itu tidak dilakukan , bangunan tersebut akan dibongkar oleh Pemerintah dengan biaya yang dibebankan kepada pemilik bangunan. Apabila bangunan tersebut masih diperlukan, kepada pemilik bangunan tersebut mendapatkan ganti rugi yang bentuk dan besarnya didasarkan pada kesepakatan para pihak. Ketentuan ini secara mutatis mutandis juga berlaku terhadap bangunan yang berdiri di atas tanah milik orang lain maupun di atas tanah dengan Hak Pengelolaan. Kewajiban untuk menyerahkan tanahnya dalam keadaan kosong kepada pemilik tanahnya, diatur dalam Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar