Download Disini : http://www.ziddu.com/download/13303679/ruukjogjabolot.docx.html
Sultan HB X.
AKHIRNYA draft Rancangan Undang-undang Keistimewaan Jogjakarta (RUUK Jogja) sampai di DPR RI. Setelah sampai di pimpinan DPR, selanjutnya draft RUU yang terdiri dari 12 bab dan 40 pasal itu akan dibahas Komisi II DPR.
"Kami telah menerima draft tersebut dan sudah diteruskan ke pihak Sekjen DPR. Nanti akan diserahkan ke komisi II untuk dibahas bersama pemerintah," ucap Ketua DPR RI Marzuki Alie di gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (16/12).
Yang pasti, dalam RUU itu posisi Sultan Hamengkubuwono (HB) X dan Pakualam (PA) IX tidak otomatis menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Tak berbeda dengan konsep lama yang mengusung istilah parardya, pemerintah dalam RUUK yang diusulkan ke DPR mengusulkan Sultan HB sebagai Gubernur Utama dan Pakualam sebagai Wagub Utama yang berfungsi sebagai simbol pelindung, penjaga budaya, pengayom dan pemersatu masyarakat DIY.
Karenanya dalam ruusan RUUK Jogja dari pemerintah, di DIY ada tiga penyelenggara Pemda yang terdiri dari Gubernur dan Wakil Gubernur Utama, DPRD, serta Gubernur DIY beserta perangkatnya.
Pada pasal 9 draft RUUK Jogja ditegaskan, Sultan HB dan PA yang bertakhta karena kedudukannya ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Utama. Penetapan itu dilakukan dengan Keputusan Presiden.
Usulan pemerintah di RUUK, Sultan HB dan PA juga tetap dimungkinkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY asalkan melalui pemilihan. Namun dalam hal Sultan sebagai Gubernur Utama tidak merangkap Gubernur DIY, maka Gubernur terpilih harus mengikuti arahan umum dan kebihakan Gubernur Utama. Gubernur DIY juga wajib berkonsultasi dengan Gubernur Utama dalam hal urusan pemerintahan.
Sementara Gubernur DIY, sebagaimana tertuang di pasal 20 RUUK, dipilih oleh DPRD. Mekanismenya, Penyelenggara Pilkada Provinsi menyerahkan daftar calon Gubernur ke DPRD Provinsi. Selanjutnya, DPRD Provinsi melakukan pemilihan terhadap calon Gubernur yang diusulkan.
Calon Gubernur yang memperoleh suara 50 persen lebih plus 1, ditetapkan sebagai pemenang. Namun jika tidak ada pemenang yang meraih suara 50 persen plus 1, maka dilakukan pemilihan suara putaran kedua yang diikuti oleh dua pasang calon peraih suara terbanyak. Dari pemilihan itu, DPRD mengusulkan pasangan terpilih ke Presiden untuk disahkan.
Masih di pasal 20 RUUK juga diatur, jika Sultan HB dan PA yang bertakhta menjadi pasagan calon gubernur maka DPRD Provinsi melakukan musyawarah mufakat dalam menetapkan dan mengusulkannya kepada presiden guna disahkan sebagai Gubernur dan Wagub DIY.
Lantas bagaimana jika Gubernur yang dijabat Sultan berhalangan tetap atau diberhentikan sebelum berakhirnya masa jabatan? Pasal 20 RUUK menyebutkan bahwa Presiden menetapkan Wagub sebagai Penjabat Gubernur. Sementara dalam hal Gubernur bukan Sultan diberhentikan atau berhalangan tetap, maka Presiden menunjuk penjabat Gubernur dari PNS yang memenuhi persyaratan sesuai UU.
Meski demikian jika Sultan dan Pakualam terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, maka keduanya tidak terkena aturan pembatasan 2 kali masa jabatan. Di Pasal 22 ayat (3) disebutkan, masa jabatan Gubernur adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Namun di pasal 22 ayat (4) ditegaskan, pembatasan masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan dua masa jabatan tidak berlaku bagi Sultan dan Pakualam apabila keduanya terpilih sebagai Gubernur dan Wagub.
Namun soal opsi-opsi yang ditawarkan pemerintah itu tidak akan disetujui begitu saja oleh DPR. Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan, RUUK Jogja itu masih akan dibahas bersama oleh DPR dan Pemerintah. “Kita tunggu saja bagaimana pandangan masing-masing fraksi terhadap draft usulan pemerintah tersebut,” ujar Marzuki Alie. (ara/jpnn)
RUUK YOGYAKARTA
Pemerintah Diminta Tidak Paksakan Kehendak
YOGYA MELAWAN. Masyarakat Yogyakarta dari berbagai elemen menggelar aksi damai menentang sikap pemerintah terkait Keistimewaan Yogyakarta, Senin 13 Desember. (FOTO HERMITIANTA/RADAR YOGYA)
MAKASSAR -- Pemerintah kukuh merombak sistem pergantian Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, menegaskan bahwa pemerintah tetap pada draf awal Rancangan Undang-Undang Keistimewaaan (RUUK) Yogyakarta. Yaitu, pergantian Gubernur DIY melalui mekanisme pemilihan DPRD, bukan penetapan.
Sikap pemerintah itu dinilai menentang arus besar aspirasi masyarakat Yogyakarta yang kemarin tumpah ruah ke alun-alun Yogya. Pada saat bersamaan, DPRD Yogya juga menggelar paripurna menobatkan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Gubernur Yogya dan Sri Paku Alam IX sebagai Wakil Gubernur Yogya.
Realitas yang saling bertolak belakang itu mendapat perhatian berbagai kalangan. Tidak terkecuali para akademisi di Sulsel. Di antaranya Dr Muhammad Alhamid dan Dr Adi Suryadi Culla.
"Seharusnya pemerintah tidak memaksakan kehendak terkait Keistimewaan Yogya. Apalagi, keistimewaan itu telah berlangsung lama dan dinikmati mayoritas masyarakat Yogya," ucap Muhammad malam tadi.
Menurut mantan ketua Panwaslu Sulsel 2009 ini, sikap pemerintah untuk kukuh mengubah sistem pergantian kepemimpinan di Yogya, bisa menjadi bumerang. Bahkan akan dicap sebagai pengkhianatan terhadap suara rakyat.
"Hal ini akan berdampak terhadap kekuasan SBY. Bisa jadi akan berdampak luas dan terus berkembang pada pemerintahan SBY nantinya," Muhammad mengingatkan.
Pada kesempatan terpisah, Adi Suryadi Culla mengingatkan substansi demokrasi adalah bagaimana membuat masyarakat nyaman menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karenanya, meski sistem demokrasi yang dianut masyarakat Yogya beraliran lain, yaitu berbentuk monarki, pemerintah tidak sepantasnya mengutak-atiknya.
"Saat ini telah terjadi kecenderungan demokrasi yang kuantitatif. Pemerintah dipilih berdasarkan jumlah suara, bukan dari kualitas perilaku yang mencerminkan keteladanan pemerintah terhadap masyarakatnya. Sebaliknya di Yogya, proses demokrasi telah terbentuk sejak lama dan sangat harmonis antara Sri Sultan dengan masyarakatnya," jelas Adi.
Karena itu, dia menyarankan agar pemerintah tidak merasa benar sendiri. Sebab jika mengabaikan aspirasi mayoritas masyarakat Yogya, bakal berdampak pada pembangkangan nasional. "Persoalan ini harus diselesaikan dengan cara mempertemukan kedua belah pihak, yaitu SBY dan Sri Sultan," tandasnya. (yuk)
POLITIK - LEGISLATIF
Minggu, 19 Desember 2010 , 07:36:00
DPD Siap Gugat RUUK Jogja di MK
JOGJA -- Pemerintah terus mendapatkan tekanan agar segera merealisasikan penetapan Sultan Hamengku Buwono (HB) X dan Paku Alam IX sebagai gubernur dan wakil gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ). Kali ini anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) siap pasang badan menggugat UU Keistimewaan Jogja jika kelak mekanisme pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur tidak melalui penetapan.
"Kami siap mengajukan uji materiil ke MK (Mahkamah Konstitusi)," kata anggota DPD Denty Eka Widi Pratiwi saat menyerap aspirasi masyarakat terkait RUUK Jogja di lantai 2 gedung DPRD DIJ kemarin (18/12). Menurut anggota DPD asal Jateng itu, gugatan tersebut diajukan karena pemilihan gubernur dianggap bertentangan dengan konstitusi. Terutama pasal 18 huruf b UUD 1945 yang mengakui eksistensi daerah yang bersifat istimewa.
Senator asal Temanggung itu menambahkan, secara kelembagaan DPD telah menyetujui suksesi jabatan gubernur dan wakil gubernur DIJ dilakukan dengan cara penetapan, bukan pemilihan. Sikap itu tecermin dari RUUK Jogja versi DPD yang telah diserahkan ke DPR. Selain itu, DPD sudah menerima sikap politik DPRD DIJ yang berisi hal yang sama. Denty merasa ikut sakit hati saat mengetahui aspirasi yang dihasilkan dalam sidang rakyat tak didengar pemerintah pusat. Karena itu, bila aspirasi penetapan tetap diabaikan, DPD akan siap mengambil langkah hukum.
Di hadapan ratusan warga yang berasal dari berbagai elemen, secara bergantian anggota DPD dari berbagai provinsi itu memberikan dukungan penuh terhadap aspirasi penetapan. Sikap itu disuarakan Bambang Susilo (Kaltim), Bachrum Manyak (NAD), dan Paulus Yohannes Sumino (Papua). "Kami sepakat dengan penetapan. Rakyat Papua mendukung penuh," kata Paulus. Baginya, DIJ merupakan putra sulung NKRI dan Papua adalah anak bungsu. "Kalau anak sulung diganggu, anak bungsu tentu akan bersikap," tegas Paulus.
Kunjungan kerja DPD ke Jogja tersebut batal dihadiri dua pimpinan DPD, yakni GKR Hemas dan Laode Ida. Rombongan yang beranggota tujuh orang itu dipimpin Ketua Komite I Dani Anwar yang berasal dari DKI.
Dalam keterangannya, Dani menyatakan bahwa dengan keterbatasan kewenangan yang dimiliki, DPD akan berbuat maksimal untuk mengegolkan RUUK Jogja sesuai dengan aspirasi masyarakat Jogja. Dani mengatakan, lembaga DPD seolah masih dikerangkeng oleh konstitusi. DPD tidak diberi kebebasan membahas RUUK dengan DPR. Lembaga senator itu hanya mendapatkan kesempatan pembahasan dalam tahap pertama dengan DPR. "Karena itu, kita akan berjuang habis-habisan untuk penetapan," ucapnya. Lebih dari tiga jam delegasi dari DPD tersebut mendengarkan berbagai dukungan dan curhat masyarakat yang menginginkan penetapan segera diwujudkan.
Sementara itu, mantan Rektor UGM Sofian Effendi menilai, keberadaan RUUK Jogja diperlukan untuk memenuhi rasa keadilan. Munculnya pergolakan di Aceh pada 1950-an terjadi karena wilayah Aceh yang bersifat istimewa tiba-tiba masuk karesidenan bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Setelah ada gejolak, pemerintah menetapkan Aceh sebagai daerah istimewa terpisah dari Sumut.
"Hak keistimewaan DIJ tidak hanya diberikan kepada pemimpinnya, tapi juga untuk daerah dan rakyatnya," ungkap Sofian. Sayangnya, pemerintah berupaya mereduksi keistimewaan hanya penetapan atau pemilihan kepala daerah.
Berbicara soal demokrasi, Sofian juga mengingatkan sebetulnya terletak pada sistem pemerintahan yang disenangi rakyatnya sehingga rakyat patuh kepada pemerintah. Namun, dalam praktiknya ada kekeliruan di Indonesia. Demokrasi Indonesia tidak berakar pada budaya bangsa sendiri, tapi langsung mengadopsi budaya asing. "Mengapa harus memakai demokrasi cara Londo (Barat)," kritik Sofian.
Adik HB X, GBPH Joyokusumo, mengatakan bahwa pengorbanan yang ditunjukkan HB IX tidak hanya atas nama pribadinya, tetapi juga atas nama institusi keraton yang saat itu merupakan negara yang memiliki pemerintah dan rakyat sendiri. Pengorbanan HB IX itu ditunjukkan saat membantu pemerintahan RI ketika Jogja menjadi ibu kota. "Rumah dinas wakil presiden saat itu menempati bangunan milik keraton. Sekarang digunakan kantor makorem (markas komando resor militer) di Jalan Reksobayan," kenangnya.
Praktisi hukum Achiel Suyanto SH MBA menegaskan, gagasan gubernur utama yang ditawarkan pemerintah dalam RUUK Jogja tidak punya pijakan yuridis. Istilah gubernur utama tak ada dalam konstitusi. "Kalau pemerintah nekat, bisa kena impeachment," ingatnya. (kus/jpnn/c4/agm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar